Houdini adalah pesulap legendaris yang terkenal mampu meloloskan diri dari ruangan yang terkunci dari luar hanya dalam hitungan menit. Padahal, seluruh tangan dan kakinya dirantai dan digembok.
Pada suatu kesempatan, sebuah bank di London memberikan tantangan kepada Houdini untuk menjebol ruang khasanah yang telah dirancang agar mustahil dibobol. Pihak bank sangat yakin bahwa kali ini Houdini mendapat tantangan yang sepadan. Waktu yang diberikan adalah 3,5 menit.
Houdini adalah pesulap yang cerdik.la membuat kesepakatan dengan pihak bank bahwa sebelum ia menerima tantangan,ia terlebih dahulu boleh diberi kesempatan untuk mencium istrinya. Pada saat ciuman berlangsung,Houdini memindahkan kawat dari mulut istrinya ke mulutnya. Namun kali ini tantangan berat tersebut tidak mampu diakali dengan kawat.
Houdini menceritakan apa yang terjadi di ruang khasanah tersebut,”Setelah satu menit berlalu,saya belum mendengar bunyi klik dan saya langsung berpikir bahwa karier saya tamat. Semua wartawan menunggu hasilnya. Setelah dua menit berlalu,saya mulai mengeluarkan keringat dingin karena belum juga mampu membukanya.
Setelah 3,5 menit berlalu,dengan perasaan menyerah,saya menyeka keringat yang ada pada kening saya dan ketika melakukannya,badan saya bersandar pada pintu khasanah yang kokoh itu,dan ternyata pintu itu terbuka!” Saya baru menyadari bahwa selama saya di dalam brankas tersebut,pintunya tidak terkunci.
Houdini sangat yakin bahwa setiap tantangan yang diberikan semuanya terkunci. Hanya karena suatu “kebetulan” ia menyandarkan diri ke pintu tersebut,mengubah keyakinannya dan menyelamatkan kariernya (Diangkat dari buku”Fight Like A Tiger,Win Like A Champion”).
Houdini dan Maria Magdalena
Pengalaman Houdini di atas sesungguhnya membicarakan suatu kemustahilan yang tidak mustahil. Bagi seorang Houdini, mana kala belum mendengar”bunyi klik,” itu berarti merupakan kegagalan total. Saat ia berada di dalam ruang khasanah bank,bunyi itu tak kunjung terdengar, alias segala upaya dan perjuangannya tidak menghasilkan apa-apa. Namun dalam keputusasaannya, waktu ia bersandar pada pintu khasanah yang kokoh itu,pintu itu terbuka hanya karena disandarinya. Hal ini mengingatkan pengalaman Maria Magdalena yang pagi itu juga sedang merasa sangat sedih, kecewa dan putus asa. Segala keinginannya untuk bisa mengurapi mayat Tuhan gagal total sebab kubur itu sudah kosong, dan keberadaan mayat Gurunya itu tidak diketahui sama sekali. Tetapi saat Maria sudah tiba pada titik putus asa yang paling tinggi, tiba-tiba Guru dan Tuhannya itu muncul di hadapannya, menyapa namanya! Seperti halnya Houdini, keberhasilan Maria juga bukan karena upaya Maria.
Waktu itu Maria mengalami sukacita yang bertingkat, yaitu suatu kenyataan bahwa mayat Tuhan Yesus tidak hilang atau dicuri orang, dan terlebih lagi Guru dan Tuhannya telah bangkit dari kematian-Nya. Ketika Maria bersaksi, “Aku telah melihat Tuhan!” ia telah diizinkan Tuhan untuk menjadi orang pertama yang berjumpa, dan berkata-kata dengan Yesus Kristus setelah kebangkitan-Nya. Peristiwa itu sangat dahsyat dan merupakan goresan yang sangat mendalam bagi jiwa, hati dan seluruh kehidupan Maria Magdalena. Ia, yang pernah begitu terkesan oleh karya Kristus yang membebaskannya dari penjajahan tujuh setan, kini kembali mendapat kesan yang hebat dari perjumpaannya dengan Kristus yang telah berhasil membebaskan umat-Nya dari kuasa maut.
Perubahan Seperti Apakah yang Terjadi Setelah Maria dan Petrus Berjumpa Tuhan yang Bangkit?
Maria telah melihat Yesus tersalib (Yohanes 19:25), juga melihat Yesus dikuburkan (Markus 15:47), maka begitu berjumpa Yesus yang sudah bangkit, lenyaplah segala kesedihan hatinya, digantikan sukacita yang besar. Kekristenan yang mengutamakan kebangkitan Kristus haruslah bertitik tolak dari sukacita besar yang akan dapat mewarnai seluruh aktivitas dan perjuangan hidup. Segala macam problem dalam hidup kita, kejahatan dan kemerosotan moral yang terjadi di dunia ini, tidak seharusnya mampu melunturkan sukacita kita selaku umat yang sudah diselamatkan.
Karena menjadi orang pertama yang berjumpa Tuhan setelah kebangkitan-Nya, maka Maria Magdalena jugalah yang menjadi orang pertama yang memberitakan Injil Kebangkitan Kristus. Fresh from the oven ketika ia bersaksi, “Aku telah melihat Tuhan.” Semangatnya itu patut kita warisi, walaupun kita tidak memiliki pengalaman unik Maria. Tapi kita juga sudah “melihat” dan “berjumpa” Tuhan di dalam hidup kita, ketika Tuhan menyapa kita melalui Firman-Nya, melalui peristiwa-peristiwa menggetarkan, melalui orang-orang yang Ia utus untuk menghubungi kita, dan melalui kehidupan sehari-hari yang indah ini.
Yesus Kristus yang sudah menjumpai kita satu per satu, kini menghendaki agar kita juga menjumpai sesama kita, untuk memperkenalkan Dia kepada mereka. Mari kita persilakan sesama kita melihat dan merasakan perubahan-perubahan yang positif setelah kita berjumpa dengan Tuhan Yesus.
Di kemudian hari Petrus yang sudah dimatangkan imannya setelah kebangkitan Kristus itu, semakin mantap pelayanannya. Lihatlah khotbahnya yang berapi-api pada Hari Raya Pentakosta, dan juga dalam perjumpaannya dengan Kornelius dan kawan-kawannya yang non-Yahudi itu. Sesudah Roh Kudus turun atas mereka, maka Petrus pun membaptiskan mereka. Satu hal yang menarik ketika Petrus memberikan pandangannya tentang bangsa yang non-Yahudi, ialah kata-katanya, “Sesungguhnya aku telah mengerti, bahwa Allah tidak membedakan orang. Setiap orang dari bangsa mana pun yang takut akan Dia dan yang mengamalkan kebenaran berkenan kepada-Nya.” (Kisah Para Rasul 10:34,35).
Jika Ada Orang yang ke Gereja Hanya Dengan Tujuan Mencari Pacar, Bagaimanakah Sikap Kita?
Alm Pdt. Poerbowijogo, mantan dosen saya berkata, “Biarkan saja mereka itu jangan dilarang, sebab nanti Tuhan akan meluruskan motivasinya.” Maksud beliau, sesudah berada di dalam lingkungan kita, sesudah mendengar pelajaran Tuhan, oleh pekerjaan Roh Kudus maka kita berharap nanti akan terjadi perubahan-perubahan yang positif dalam dirinya. Bukankah setiap anak Tuhan sebenarnya juga masih perlu dibenahi pengertiannya tentang Tuhan, sifat dasarnya yang melenceng, imannya yang labil?
Bukankah Tuhan Yesus berkata, “Orang sehat tidak memerlukan tabib, hanya orang yang sakit?” Lihatlah niat hati Maria Magdalena dan kawan-kawan, mereka pergi ke kubur hanya mau menengok jenazah Guru mereka, hal itu sebenarnya sangat mengecewakan hati Tuhan yang pernah berjanji bahwa sesudah Ia mati, Ia akan bangkit kembali pada hari yang ketiga (Markus 8:31). Yang lebih menyakitkan hati adalah Saulus yang dengan semangat berkobar-kobar pergi ke Damsyik hanya akan “merusak” Tubuh Kristus, tetapi oleh kasih karunia-Nya Saulus yang kemudian terkenal dengan nama Paulus itu, justru telah mendapatkan panggilan agung menjadi rasul Tuhan.
Apa yang Dialami Saulus, yang Disebut Paulus Itu Sesudah Perjumpaannya Dengan Kristus?
Ia seperti menjadi seorang rasul yang minder sebab ia berkata, “Karena aku adalah yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul, sebab aku telah menganiaya Jemaat Allah” (1Korintus 15:9). Namun dalam ayat berikutnya ia begitu percaya diri ketika berkata, “Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras daripada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertaiku.”
Yang sangat menarik dari ayat ini adalah bahwa sampai tiga kali Paulus menyebut-nyebut “kasih karunia.” Dapat kita katakan bahwa ia seorang yang rendah hati, tapi saya yakin bahwa ini bukanlah basa-basi rohani semata. Menjadi seorang rasul, pendeta, penatua, bahkan anggota biasa yang berhasil menjadi saksi Kristus, hanya dimungkinkan jika ada kasih karunia dari Tuhan!
Hal kedua yang juga menarik dari pengakuan Paulus, adalah meskipun ia mendapatkan kasih karunia dari Tuhan, namun ia juga telah bekerja lebih keras daripada yang lainnya.
Tadi malam, ketika saya memimpin Pemahaman Alkitab, saya mengajukan pertanyaan, “Di antara para rasul Tuhan, siapakah yang paling hebat?” Langsung beberapa orang menjawab, “Paulus!” Jika dilihat dari pengakuannya, maka kasih karunia Tuhan itulah yang mendorongnya untuk bekerja lebih keras daripada yang lainnya, sehingga ia menjadi yang paling hebat.
Semakin kita dapat menyadari seberapa banyak dan besarnya kasih karunia Tuhan di dalam hidup kita ini, maka semua itu akan menjadi pendorong yang ampuh bagi kita untuk berkarya di dalam Kerajaan-Nya di dunia ini. Dan itu tidak berarti hanya pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan di dalam lingkup gereja Tuhan saja, tetapi juga mengenai karier atau pekerjaan kita masing-masing di luar lingkup gereja. Pekerjaan itu kita yakini sebagai pemberian Tuhan yang harus kita geluti dengan penuh rasa tanggung jawab kepada Tuhan. Dengan demikian kita telah tampil sebagai saksi Kristus di dunia kita masing-masing.
Di sini ada suatu uraian tentang Indahnya Bekerja dari buku “Be A Winner Like Me,” karya Imelda Saputra: Seorang bapak tua sedang memikul kayu bakar dengan tergopoh-gopoh melewati sebuah desa. Seorang pemuda melihatnya, dan iseng bertanya, “Pak, berapa beban terberat yang pernah Bapak angkat?” Sambil merenung sejenak, Bapak itu menjawab, “Beban terberat yang pernah saya pikul adalah ketika saya tidak memikul apa-apa.”
Terkejut mendengar jawaban itu, pemuda itu bertanya lagi, “Mengapa?” “Ketika tidak memikul beban sama sekali, Anda berarti telah menyia-nyiakan karunia tenaga yang diberikan Tuhan kepada Anda dan tidak memberikan yang terbaik bagi keluarga Anda,” jawab sang Bapak. Ya, beban terberat dalam hidup adalah saat kita tidak memunyai hal yang harus dipikul, yaitu tanggung jawab untuk bekerja. Karena itu bersyukurlah bila Anda memiliki sebuah pekerjaan. Itu berarti Tuhan memercayakan Anda sebuah tanggung jawab dan tugas-tugas yang harus Anda selesaikan.
Selain itu, kita juga diberi kesempatan untuk menyalurkan hobi, talenta, dan kemampuan kita. Bekerja memang melelahkan dan menuntut banyak risiko—melakukan kesalahan, ditegur atasan, bahkan di-PHK. Namun, tidak bekerja adalah hal yang lebih berat lagi. Benarlah apa yang dikatakan oleh seorang bijak bahwa lebih baik aus daripada berkarat. Lebih baik lelah karena seharian bekerja daripada lelah karena tidak memiliki pekerjaan. Theodore Roosevelt pun mengatakan, “Tawaran paling berharga dalam hidup adalah kesempatan bekerja pada suatu pekerjaan yang berarti.” Hari ini, sudahkah Anda berterima kasih kepada Tuhan untuk pekerjaan yang Anda miliki? Nilai hidup harus diukur dengan garis yang lebih mulia, yaitu kerja dan bukannya usia (Richard Brisney Sheridan).
“Aku tidak akan mati, tetapi hidup, dan aku akan menceritakan perbuatan-perbuatan Tuhan.” (Mazmur 118:17). Biarlah perjumpaan kita dengan Tuhan memiliki daya tarik yang kuat bagi orang lain untuk datang mendekat kepada-Nya.
Pdt Em . Daud Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.