Perjamuan Kudus Pada Ibadah Minggu

Perjamuan Kudus Pada Ibadah Minggu

7 Komentar 9389 Views

Kebanyakan (atau bahkan seluruh) Gereja-gereja Protestan di Indonesia hanya melakukan Perjamuan Kudus sebanyak empat kali dalam setahun. Padahal, dalam sejarah perkembangannya, para reformator (Calvin, khususnya) menginginkan Perjamuan Kudus dilakukan pada setiap berlangsungnya ibadah Minggu. Apakah lalu jadi mirip dengan umat Katolik. Jadi berapa kali sebenarnya Perjamuan Kudus harus dilakukan?

Perayaan dan Makna Perjamuan Kudus pada Ibadah Gereja Perdana

Gereja perdana merayakan dua perjamuan (menurut perkiraan C. J. den Heyer). Pertama, yaitu Perjamuan Kudus (bersinonim dengan Perjamuan Tuhan, Perjamuan Suci, Liturgi Meja, Pelayanan Meja, Perjamuan Malam, atau Ekaristi). Kedua, yaitu Perjamuan Agape (Perjamuan Kasih/Perjamuan Persaudaraan), artinya pertemuan yang dilakukan setiap hari di rumah salah satu murid, di mana mereka mengadakan ritual ‘memecah roti’ dan makan bersama (seperti khabura: pertemuan kecil sahabat untuk melakukan ibadah atau untuk tujuan sosial). Hal ini merupakan kebiasaan yang dilakukan Yesus dengan pengikutnya.

Selanjutnya, Perjamuan Agape dan Perjamuan Tuhan menyatu dalam suatu ritual yang dirayakan setiap Hari Tuhan (yaitu hari Minggu, karena Kristus bangkit pada hari Minggu, lagi pula Yesus menampakkan diri kepada murid-murid-Nya pada hari Minggu juga). Awalnya, mereka mengadakan perjamuan yang sudah menyatu itu pada senja hari. Lalu, pemerintah Romawi melarang kegiatan tersebut. Akan tetapi, mereka tetap berusaha untuk merayakannya di saat lain, yaitu pada hari Minggu pagi. Hal ini merupakan tradisi umum di Roma tahun 150-an.

Menurut Gregory Dix, ahli liturgi Anglikan, tindakan-tindakan dalam Perjamuan Kudus dapat dikategorikan menjadi empat bagian: pengambilan roti dan anggur, pengucapan syukur, pemecahan roti, dan pembagian roti dan anggur untuk komuni. Keempat bagian itu kemudian menjadi tradisi gereja hingga saat ini. Bagian pertama diawali persembahan (offertorium) di mana anggota jemaat yang akan mengikuti Perjamuan Kudus akan membawa sedikit roti, anggur, buah atau bunga ke gereja dan diletakkan di atas meja. Pemimpin perjamuan berdoa mohon berkat dan bersyukur (berakha). Kemudian, roti segera dipecah-pecahkan dan dibagikan kepada yang hadir. Heron dalam buku Table and Tradition-nya, menuliskan bahwa roti–yang menjadi simbol tubuh Kristus–menjadi lambang persatuan yang mempersatukan banyak orang yang menerima dan memakannya, bahkan dengan kumpulan orang berdosa/pemungut cukai.

Perjamuan Kudus bermakna sebagai ekspresi iman gereja perdana, yaitu bahwa mereka memperoleh kehidupan baru di dalam Kristus dan mereka memiliki pengharapan apokaliptik akan kedatangan-Nya kembali. Dalam Perjamuan Kudus, mereka memperingati (anamnesis) hidup, karya, kesengsaraan, kematian, dan pengorbanan Yesus di kayu salib, tetapi juga masa depan yang berpengharapan akan kedatangan-Nya kembali (harapan apokaliptik dan parousia yang kuat). Anamnesis bermakna bukan hanya memperingati peristiwa pengorbanan Yesus, tetapi juga mengekspresikan suatu perasaan bahwa dalam mengulang tindakan ini, seseorang mengalami lagi realitas kehadiran Yesus sendiri.

Hanya saja, ada juga pelaksanaan perjamuan yang dicela oleh Paulus. Ia mencela perjamuan di jemaat Korintus yang dipengaruhi oleh gaya pesta makan malam masyarakat Greko-Romawi, di mana ada kesenjangan antara anggota jemaat yang kaya dan yang miskin. Padahal seharusnya, Perjamuan Kudus dijadikan sebagai sarana memelihara persekutuan jemaat sebagai tubuh Kristus. Roti dan darah dimaknai sebagai tubuh Kristus. Jemaat Allah yang menerimanya menjadi satu tubuh dalam persekutuan Kristus. Paulus dalam suratnya yang pertama kepada Jemaat Korintus menuliskan, “Karena roti adalah satu, maka kita, sekalipun banyak, adalah satu tubuh, karena kita semua mendapat bagian dalam roti yang satu itu” (1 Kor.10:17).

Landasan Biblis dan non Biblis Mengenai Perjamuan Kudus

Jika berbicara tentang sumber biblis mengenai Perjamuan Kudus, kita akan menemukannya di setiap cara hidup jemaat perdana, sebab liturgi bukanlah creatio ex nihilo. Informasi Alkitab tentang hal tersebut dapat kita lihat pada Kis 2:41-47. Memang tidak ada hal mendetail mengenai unsur-unsur ibadah, tetapi dari situ ada hal yang perlu menjadi perhatian, yaitu: baptisan, pengajaran, persekutuan, pemecahan roti, dan doa dalam gereja awal, baik di Bait Allah di Yerusalem, di rumah-rumah ibadah di luar Yerusalem, ataupun di rumah-rumah tangga.

Hal pemecahan roti pada hari Minggu kemudian diangkat lagi pada Kis 20:7 “Pada hari pertama dalam minggu itu, ketika kami berkumpul untuk memecah-mecahkan roti,…”. Jelas bahwa hari pertama yang dimaksudkan adalah hari Minggu. Bagi gereja perdana, hari pertama bermakna “penciptaan baru” (2 Kor 5:17). Peristiwa kebangkitan yang terjadi pada hari Minggu itu mensahkan dunia baru, sehingga disebut sebagai Paskah Mingguan, sebagai dasar dari perayaan Paskah Tahunan, yaitu untuk memperingati kebangkitan Kristus. Maka, hari Minggu harus dihormati dan dikuduskan, sehingga kelalaian atau sengaja tidak memenuhi misa/perjamuan hari Minggu dianggap dosa besar.

Selain itu juga, dalam 1 Kor. 11:17-34 dijelaskan bahwa ritus pemecahan roti dihubungkan dengan perjamuan malam. Mereka melakukannya pada Minggu pagi/subuh. Kadangkala juga waktu mereka berkumpul itu cukup larut (menurut waktu Yahudi, perjamuan sudah dilaksanakan sejak pukul 6 sore) dan para jemaat bertempat tinggal jauh sehingga harus melakukan perjalanan panjang melelahkan, sebagaimana ada kisah Eutikhus yang terjatuh dari tingkat 3 karena mengantuk dan hampir mati (Kis. 20:7-12).

Sumber yang lebih banyak justru ditemukan dalam Didakhe 14 (± 90-150) dan Justinus Martir (± 150/155) dalam Apologia I, 67, mengenai hari Minggu. Isinya antara lain berbunyi: Hari Tuhan ditetapkan untuk perjamuan malam Tuhan. Sejak mula, hari Minggu adalah hari pengenangan dari kebangkitan dan telah dihubungkan dengan Perjamuan Kudus.

Pelaksanaan Perjamuan Kudus Pada Masa Reformasi dan Permasalahannya

Martin Luther mengadakan reformasi bukan hanya dalam embel-embel (patung-patung, gambar orang kudus), tetapi juga menekankan bahwa setiap kali umat berkumpul harus ada pemberitaan firman (homili), doa, dan Perjamuan Kudus. Jadi, ia mengatakan Perjamuan Kudus menjadi sia-sia tanpa pemberitaan firman, dan sebaliknya. Tentu jelas bahwa setiap ibadah Minggu tetap perlu diadakan Perjamuan Kudus.

Lebih tegas diutarakan Johannes Calvin, yang liturginya disebut Liturgi Starssburg (diambil dari Martin Bucer), bahwa Perjamuan Kudus dirayakan seminggu sekali di gereja pusat dan sebulan sekali di jemaat-jemaat lain. Berbeda penekanannya seperti Luther, menurut Calvin, dalam pertemuan jemaat ada tiga penekanan: pemberitaan Firman, doa-doa bersama (termasuk nyanyian) dan pelayanan sakramen-sakramen (baptisan dan Perjamuan Kudus). Jika hanya ada pemberitaan firman, maka baru merupakan setengah ibadah atau ante-communio (ibadah sebelum Perjamuan Kudus).

Frekuensi empat kali dalam setahun ini bukanlah karena Calvin berubah pikiran, tetapi akibat praktik gerejawi di Belanda sesuai model Jenewa, yang sebelum kedatangan Calvin sudah dipengaruhi Zwingli dan Farel. Pemerintah kota Jenewa yang cukup berkuasa dalam kehidupan gerejawi pada saat itu memutuskan bahwa Perjamuan Kudus dirayakan tidak lebih dari hanya empat kali dalam setahun saja. Akhirnya, demi kedamaian, Calvin mengalah, walaupun dengan hati yang sedih.

Kesimpulan: Sebuah Refleksi

Dengan demikian, ibadah Minggu yang sampai saat ini dilakukan sebagai penerusan dari tradisi yang telah dilakukan jemaat/gereja perdana, sebaiknya selalu disertai Perjamuan Kudus. Perjamuan ini tentu (seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya) sebagai peringatan perjalanan hidup Yesus mulai dari sengsara, wafat, hingga kebangkitan dan kemuliaan Kristus ke surga, dan bersyukur atas penyelamatan-Nya. Selain itu, hari Minggu menjadi hari yang paling tepat untuk kita mendapat kenangan, berkat, kekuatan baru, persekutuan dengan Yesus, pengudusan, dan rekonsiliasi pembaruan janji dengan Allah, yaitu melalui Perjamuan Kudus.

Akhirnya, bagaimana kita sebagai GKI (khususnya GKI Pondok Indah)? Dengan perlahan: empat kali setahun, 10 kali setahun, dan seterusnya, rasanya bukan tidak mungkin pada akhirnya gereja kita merayakannya menjadi setiap Minggu. Lagi pula, Perjamuan Kudus tidak membuat kebaktian menjadi lebih lama, sebab kebaktian tetap dapat selesai dengan waktu cepat (selama penelitian saya di Gereja Katedral Jakarta, tidak pernah ibadah selesai lebih dari 1 jam). Hanya saja memang membutuhkan kerendahan hati bagi Pendeta untuk mengoptimalkan waktu berkhotbahnya dan juga mungkin bagi Paduan Suara agar mengurangi waktu khusus untuk mempersembahkan pujian (ada baiknya dimaksimalkan saja pada fungsinya sebagai kantoria), sekaligus anggaran yang mungkin akan bertambah untuk tiap ibadah dengan Perjamuan Kudus.

Yosafat Simatupang


DAFTAR PUSTAKA

Abineno, J.L. Ch. 1961. Ibadah Jemaat dalam Abad-abad Pertama. Jakarta: PT BPK Gunung Mulia.
Adam, Cf. Adolf. 1981. The Liturgical Year. New York: Pueblo.
de Jonge, Christian. 2000. Apa itu Calvinisme? Jakarta: BPK Gunung Mulia.
den Heyer, C.J. 1997. Perjamuan Tuhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
“Liturgi Hari Minggu” dalam Jurnal Penuntun, vol. 5 no. 18, 2002. Jakarta: GKI Jawa Barat.
Rachman, Rasid. 1999. Pengantar Sejarah Liturgi. Tangerang: Bintang Fajar.
___2005. Hari Raya Liturgi: Sejarah dan Pesan Pastoral Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Sutanto, Ester A. 2005. Liturgi Meja Tuhan: Dinamika Perayaan-Pelayanan. Jakarta: UPI STT Jakarta.
Thurian, Max and Geoffrey Wainwright. 1983. ed. Baptism and Eucharist: Ecumenical Convergence in Celebration. Geneva: WCC Publication.
Van den End. 2005. Harta Dalam Bejana: Sejarah Ringkas Gereja. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
___. 2000. Enam Belas Dokumen Dasar Calvinisme. Jakarta: BPK Gunung Mulia.
White, James F. 2005. Pengantar Ibadah Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

7 Comments

  1. Mila

    Sepengetahuan saya, hari yang dikuduskan di dalam Alkitab adalah hanya hari ke-7 (Sabat/Sabtu) bukan hr.Minggu dan yang harus dihormati adalah Perjamuan Kudusnya bukan harinya.,sebagai mahasiswa STT seharusnya lebih teliti/kritis dan objektip lagi tentang sejarah siapa yang memindahkan Sabat menjadi Minggu.

    Salam Damai sejahtera

  2. Yudi Handoko

    saya setuju dengan pemahaman Teologi yang anda tulis mengenai perjamuan kudus. namun setahu saya ketika saya memperdalam liturgi Calvinis, yang ditekankan oleh Calvin adalah kualitas Perjamuan Kudus itu sendiri. memang dalam buku “Apa Itu Calvinisme” tersirat bahwa Calvin menginginkan Perjamuan Kudus di setiap ibadah dengan istilahnya “Ante-Comunio”, tetapi Calvin juga menentang keras jika ibadah dilakukan sebagai ritual rutinitas, sehingga jemaat tidak merasakan “makna” ibadah. oleh karena itu ia habis-habisan menentang cara liturgi Katolik yang menggunakan bahasa latin (yang tidak dimengerti banyak jemaat). Calvin lebih menekankan nilai rohani suatu ibadah. akhirnya dari semua komentar saya, saya tidak melarang untuk melaksanakan Perjamuan Kudus pada setiap pelaksanaan ibadah, namun yang perlu kita pertimbangkan adalah potensi kurangnya/hilangnya makna Perjamuan Kudus karena rutinitas dilakukan dalam setiap ibadah. God Bless Us.

  3. yosafat simatupang

    Ibu mila:
    terima kasih atas kritiknya…
    betul apa yang ibu katakan hari “yang dikuduskan di dalam Alkitab adalah hanya hari ke-7 (Sabat/Sabtu) bukan hr.Minggu”…nah, tulisan saya justru tidak mengatakan PK itu diadakan pada hari yang dikuduskan, melainkan “pada hari pertama dalam minggu itu”…hari pertama adalah hari minggu….
    saya juga ingin mengkonfirmasi pernyataan “yang harus dihormati adalah Perjamuan Kudusnya bukan harinya”…apa yah maksudnya, bu? mungkin ibu juga bisa menunjukkan sumber-sumber yang berbeda dari pandangan saya…menurut saya, sebagai puncak perayaan Kristen, segala hal mengenai PK adalah penting, sehingga persiapannya pun sangat matang (makanya ada sensura morum), begitu pula pelaksanaannya, mulai dari: roti dan anggurnya, jemaaatnya, pemimpin PK, urutan PK, tata cara PK, dsb. benar-benar diperhatikan dengan baik….
    oiya, satu lagi, menurut ibu, kapan jadinya atau lebih tepatnya berapa frekuensi PK yang sebenarnya?

    terima kasih

  4. yosafat simatupang

    pak yudi:

    terima kasih komennya….
    saya setuju bahwa makna itu penting, tetapi frekuensi pun menjadi penting pak….
    begitu juga Calvin…menurut saya, dia tetap berpegang bahwa frekuensinya ialah tiap Minggu, tetapi disertai pemaknaan mendalam.
    saya juga tidak berani mengatakan bahwa dengan tiap Minggu dilakukan, maka maknanya pun lebih mendalam…di saat yang sama, saya juga tidak dapat mengatakan bahwa 4 tahun sekali PK dilakukan, maknanya lebih mendalam juga….pilihan saya terhadap PK pada tiap hari Minggu adalah sesuai dengan apa yang diteladankan Yesus dan jemaat perdana….
    begitu menurut saya

    terima kasih

  5. Ari Siagian

    YA, seharusnyalah Perjamuan Kudus itu dilaksanakan setiap Ibadah Minggu……

  6. arie

    sya stuju banget PK di laksanakn stiap pertemuan,sperti halnya dlm gereja mula-mula.. tnpa mempersalaahkn rutinitas atau tdk nya,sbab siapakah yg tahu?Tuhan Yesus sndiri tntunya yg tahu. ad baik nya kita lihat di Yoh6:25-66 utk di renungkan. klo sja makanan jasmani bgitu penting,terlebih makanan rohani kita. Yesus katakan nenek moyang kita makan Roti Mana(luar biasa langsung turun dari sorga) tpi mereka mati. Yesus lgi berkata: Inilah roti yang turun dari sorga: Barangsiapa makan dari padanya, ia tidak akan mati, lebih Luarbiasa!

    bukankah Tubuh&Darah Nya lebih dari apapun juga!! sesering mungkin kita melaksanaknya sesering juga kita bersekutu dngan Tubuh&DarahNya. tnpa mengurangi makna nya “PERJAMUAN KUDUS”

    Ayat 55: Sebab daging-Ku adalah benar2 makanan dan darah-Ku adalah benar2 minuman. =mkanan biasa dimakan tiap waktu,lebih2 lgi kta perlu makanan Rohani.
    trimakasih Yesus,Buat Tubuh dan Darah Mu, Jb us

  7. jhonny

    mungkin saya salah…namun menurut saya PK sudah dilakukan sebagai tanda dan meterai bagi umat percaya, bahwa penyelamatan hanya di lakukan oleh Tuhan Yesus melalui kematian-Nya, maka PK tidak lagi harus dilakukan sebagai soal makan dan minum roti ataupun anggur yang menandakan daging dan darah Yesus, namun adalah menjadi sikap orang percaya (gereja) untuk hidup saling berbagi dan menuntun dalam mengerjakan keselamatan yang sudah kita terima, sehingga PK bukan lagi sebagai upacara, tetapi sebagai wujud dalam perilaku dalam kehidupan orang percaya.
    salam,,,,

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Liturgi
  • Perjamuan Kudus di GKI
    Perjamuan Kudus di GKI
    Perayaan Perjamuan Kudus sebenarnya telah dilakukan oleh gereja perdana. Dalam kehidupan bergereja, PK diterima sebagai sakramen yang diperintahkan...
  • Epifania
    Epifania
    Sebelum abad IV, Hari Epifania (bahasa Yunani: penampakan diri) dirayakan sebagai hari kelahiran Kristus, yaitu pada tanggal 6 Januari...
  • Pemberitaan Firman II:  Pengakuan Iman dan Doa Syafaat
  • Pemberitaan Firman I: Doa sampai dengan Saat Hening
  • Berita Anugerah
    Berita Anugerah
    Berita Anugerah = Kabar Gembira Bagi Umat yang Lemah Ketika dinyatakan sebagai berita anugerah, maka ini merupakan pernyataan bahwa...