Topik paling seru pada POTM kali ini adalah tentang Perjamuan Kudus bersama Anak (PKA).
Berbagai pertanyaan muncul ketika topik ini dibicarakan, misalnya:
- Apa yang menyebabkan GKI Pondok Indah “tiba-tiba” memutuskan untuk mengikutsertakan anak dalam Perjamuan Kudus?
- Bukankah anak-anak belum mengerti?
- Bukankah biasanya anak-anak itu justru malah membuat ibadah kurang khusyuk?
- Bagaimana kalau rotinya jatuh, atau anggurnya tumpah?
Ah… ada segudang pertanyaan lain yang berkecamuk dalam pikiran kita…
Berikut penjelasannya, diambil dari bahan persiapan POTM yang disusun oleh Pendeta Riani Josaphine:
Pada tanggal 10-11 Desember 2012, GKI Sinode Wilayah Jawa Tengah menyelenggarakan sebuah seminar tentang keikutsertaan anak dalam Perjamuan Kudus. Seperti kita ketahui, GKI dibagi 3 sinode wilayah (Sinwil): Jabar, Jateng dan Jatim. GKI Pondok Indah masuk dalam Sinwil Jateng.
Hasil dari seminar ini dibahas di persidangan sinode wilayah GKI SW Jateng tahun 2013 dan disetujui bahwa GKI akan mulai melaksanakan PK bersama anak.
1. Berdasarkan apa GKI Sinwil Jateng memutuskan hal itu?
Sejak tahun 1996 Reformed Ecumenical Council (REC) memutuskan agar gereja-gereja anggotanya mengikutsertakan anak dalam PK. Nah, GKI Jateng adalah salah satu anggotanya.
Sekalipun lambat, GKI Sinwil Jateng mau mempelajari alasan dan dasar teologis/psikologis dari keikutsertaan anak dalam PK.
2. Apa dasarnya?
Istilah PK tidak ada di dalam Alkitab. Yang ada adalah Perjamuan Tuhan (1 Kor. 11:20). Sedangkan PK terakhir sebelum Yesus disalibkan adalah Perjamuan Paska (Mat. 26:17).
Dalam sejarah, Perjamuan itu adalah Perjamuan Paska Yahudi, yang memperingati peristiwa keluarnya bangsa Israel dari Mesir. Perayaan Paska diadakan setiap tahun, yaitu pada hari ke-14 bulan Nisan selama 1 minggu (sampai hari ke-21).
Pada waktu itu ada anak-anak. Karena tujuannya meneruskan kisah kasih Tuhan dalam sejarah bangsa Israel, maka selain ayah dalam keluarga memimpin doa pengudusan, mereka juga makan sayur-mayur pahit sebagai kenangan penderitaan mereka di Mesir.
Sebelum mereka makan, ritus inti dimulai dengan pertanyaan seorang anak kepada ayahnya, “Apa arti semua ini?” Lalu ayah akan menceritakan makna dan berkat yang ada dalam Perjamuan Paska itu serta menceritakan ringkasan kisah Keluaran dari Mesir. Mereka bernyanyi dan minum dari cawan pengucapan syukur. Setelah itu berkat diberikan, lalu memecah-mecahkan roti tak beragi, dan akhirnya makan bersama.
Berdasarkan itulah GKI akhirnya memutuskan bahwa anak yang sudah dibaptis terlibat dalam Perjamuan Kudus.
3. Lalu, mengapa selama ini tidak dilakukan seperti itu dan baru diadakan sekarang?
Nah, rupanya dalam perkembangan sejarah gereja, kesadaran itu baru muncul. Ini akibat kesalahmengertian jemaat atas kata-kata Paulus dalam 1 Kor. 11.
Saat itu memang Paulus sedang melakukan kunjungan pastoral akibat pertengkaran yang terjadi di Jemaat Korintus. Berdasarkan tujuan itu, Paulus berinisiatif menggunakan Perjamuan Tuhan sebagai cara mendamaikan mereka. Sebelum Perjamuan Tuhan, Paulus mengajak jemaat untuk berjanji menjadi satu kesatuan darah Kristus. Sebagai orang yang bersatu di dalam Kristus, mereka diajak mengintrospeksi diri, mengaku dosa mereka.
Selain itu, Paulus juga hendak memperbaiki model Perjamuan Tuhan di Korintus. Karena yang terjadi, orang-orang makan dan minum sampai mabuk sepuasnya, tetapi melupakan sesama anggota jemaat yang lapar dan tidak punya makanan.
Itu sebabnya Paulus juga mengajak warga jemaat memeriksa diri mereka (1 Kor. 11:27-28) agar mereka mengingat kembali perjanjian Tuhan itu.
4. Adakah alasan lain?
Ada, tinjauan liturgi. Selama ini kita memisahkan sakramen baptis anak, konfirmasi/sidi dan Perjamuan Kudus. Padahal semuanya ini merupakan satu kesatuan.
Selama ini pikiran kita terpaku pada kasus jemaat Korintus, sehingga kita pikir hanya orang yang telah disidilah yang dapat mengintrospeksi diri dan dianggap layak untuk ikut Perjamuan Kudus. Padahal, orang yang dibaptis, sekalipun masih kanak-kanak, juga layak menerima anugerah keselamatan Tuhan. Dan otomatis, anak atau orang tersebut juga layak merayakan dan bersyukur atas anugerah keselamatan Tuhan itu dalam Perjamuan Kudus.
Jadi tidak saja yang sudah mengaku percaya (sidi) saja yang dapat merayakan dan bersyukur atas anugerah Tuhan.
5. Bagaimana secara pendidikan iman? Bukankah mereka belum tentu mengerti dan akhirnya mereka tidak bisa menghargai roti dan anggur itu?
Nah, itu tergantung pada pemahaman kita tentang Pendidikan Iman. Seorang pakar, Jack Seymour, memandang pendidikan kristiani bukan sekadar pelajaran menghafal dan mengulang-ulang sebuah kalimat iman, namun juga bagaimana seorang beriman memiliki gaya hidup, kebiasaan dan perjumpaan dengan tradisi imannya.
Sewaktu anak-anak kita mencontoh memegang anggur, memegang roti dengan hormat dan hati-hati, lalu makan dan minum dengan khusyuk, mereka sedang belajar sebuah tradisi iman yang juga perlu mereka hargai.
Memang tujuannya bukan semata-mata makan dan minum saja, namun anak belajar memahami makna Perjamuan Kudus. Jadi proses aksi-refleksi-aksi-refleksi bisa terjadi saat orangtua mendampingi anak-anaknya dalam PK.
6. Kalau begitu bagaimana caranya mendampingi anak dalam PK?
Nah ini yang sering kali dilupakan. Orangtua bisa jadi hanya terfokus pada cara ambil roti, cara pegang gelas. Jadi, kalau bisa orangtualah yang pegang supaya tidak tumpah. Padahal bukan ini fokus pelajaran imannya.
Pelajaran imannya adalah saat anak tahu, “Apa pelajaran dari PK ini?”
Jadi ada 3 langkah yang dapat orangtua lakukan dalam pendidikan iman anak melalui PK ini, khususnya bagi anak-anak yang sudah dapat diajak berinteraksi oleh orangtua mereka.
Langkah 1: Siapkan anak sebelum PK berlangsung.
Ceritakan bahwa PK ini adalah cara kita mengingat cinta Tuhan Yesus kepada kita.
Tuhan Yesus sayang kepada kita, itu sebabnya Dia datang dari surga untuk menjumpai kita. Belum cukup sampai di situ, Tuhan Yesus juga memilih untuk dihukum akibat dosa dan kesalahan kita.
Sambil mengangkat cawan anggur dan memecah-mecah roti, Dia mengingatkan murid-murid-Nya bahwa inilah tubuh dan darah Yesus yang diberikan dan dicurahkan agar kita berdamai dengan Allah yang penuh kasih.
Jadi, ceritakan bahwa dalam Perjamuan Kudus nanti, saat kita makan dan minum, itulah saat kita berbicara kepada Tuhan Yesus:
Doa Syukur kita, “Terima kasih, Tuhan Yesus untuk cinta-Mu yang besar itu!”
Janji kita, “Tuhan Yesus, aku berjanji menjadi murid-Mu yang setia.”
Kita dapat mengatakan apa saja kepada Tuhan Yesus selain kalimat doa di atas.
Langkah 2: Ingatkan anak tentang berdoa dan ber¬janji.
Langkah 3: Ceritakan pengalaman anak dan pengalaman orangtua setelah selesai mengikuti PK.
- Apa yang kita alami, lihat dan dengar pada waktu PK?
- Apa perasaan kita saat mengalami, melihat dan mendengarnya?
- Apa yang kita pelajari dari hal itu?
- Kira-kira apa pesan Tuhan?
- Apa yang akan kita lakukan setelah itu?
7. Mengapa orangtua yang mengajarkannya? Mengapa gereja tidak mengajarkannya?
Gereja atau Sekolah Minggu bisa juga mengajarkannya, Namun jangan lupa, bahwa saat kita membaptiskan anak-anak kita, kita juga berjanji untuk mendidik anak kita dalam iman kepada Tuhan. PK adalah salah satu cara agar orangtua dapat mendidik iman anak melalui pengalaman yang nyata.
Jadi bila orangtua duduk bersama anak dalam PK, itulah kesempatan yang sangat baik bagi anak untuk belajar dari orangtua.
8. Bagaimana jika anak saya tidak betah duduk dalam ibadah?
Beberapa orangtua terlihat memberikan aktivitas, khususnya saat khotbah. Anak-anak mencatat inti khotbah pendeta, menggambar atau mewarnai.
Carilah kegiatan yang membuat anak dapat berkonsentrasi selama sekitar 20 menit.
Atau mungkin juga orangtua dapat duduk di lantai 3 karena ada beberapa anak dan orangtua yang lebih nyaman duduk di sana. Anak kita dapat melihat anak lain yang duduk dengan tenang.
9. Bagaimana jika rotinya jatuh atau anggurnya tumpah?
Roti dan anggur adalah simbol. Kita dapat minta roti/anggur lagi kepada orang-orang yang bertugas tanpa memarahi anak. Namun juga ingatkan anak untuk menjaga roti dan anggurnya sendiri dengan baik.
Tentunya pada saat Perjamuan Kudus, liturgi, tema khotbah, dan cara berkhotbah pun, akan disesuaikan dengan anak-anak yang hadir, sehingga mereka mengerti dan merasa nyaman berada di Kebaktian Umum.
Yang mengharukan dan menyenangkan adalah ketika seorang ASM balita memaksa orangtuanya, bahkan sampai menangis, untuk ikut Kebaktian Anak di Sekolah Minggu setelah mengikuti Kebaktian PKA pertama di gereja. Akhirnya orangtuanya mengalah dan mereka semua ikut Kebaktian Anak lagi…
Marilah mengajak putra-putri untuk ikut serta pada PKA yang akan datang. Biarlah mereka juga menjadi bagian dari tubuh Kristus. Haleluya! •/ms
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.