KASUS bayi “ditahan” 4 bulan oleh rumah sakit karena tak sanggup bayar, satu dari bisa jadi lebih seratusan kasus serupa yang kebetulan masuk ruang publik. Belum tentu sebab sikap bengis RS. Bukan pula pasti kesalahan pasien. Menilik duduk perkaranya, kasus tak elok begini tak perlu terjadi kalau saja pasien tak sesat memilih alamat berobat. Pasien sesat berobat, wajib kita bela.
Sistem rujukan tak bekerja
Di luar hak melaba, kewajiban RS mengemban fungsi sosial juga. Sudi menyisihkan 25 persen tempat tidur buat pasien tak mampu. Namun wajar pula kalau RS perlu berhitung agar tak merugi. Itu juga alasan tak mungkin RS menampung kalau semua pasien tak mampu bayar. Jangan pula RS swasta, RS pemerintah pun perlu berhitung titik-impas agar bisa bertahan hidup.
Pasien kita ada dua. Pasien “jalur lambat” yang tak selalu bisa berobat setiap kali sakit, dan pasien “jalur cepat” yang bisa merdeka memilih ke mana mau berobat. Lebih 80 persen masyarakat kita berada di layanan “jalur lambat”.
Di layanan “jalur lambat” rakyat berbondong-bondong berpikir menjadi haknya untuk dilayani setiap kali sakit. Namun oleh karena lebih banyak pasien yang tak selalu mampu berobat setiap kali perlu masuk RS, di titik itu muncul kasus tak akurnya hubungan pasien-RS.
Pasien papa betul wajib dibela. Tapi apa semua pasien tak mampu yang perlu masuk RS betul selalu berada pada posisi wajib dibela mengingat sistem layanan kesehatan kita masih bayar dulu baru dilayani (paid for services), dan belum semua rakyat dicakup asuransi?
Kalau pasien papa wajib dilayani melebihi 25 persen tempat tidur RS, siapa wajib membantu? Kalau pasien tak mampu tak dicakup asuransi, dan tak punya uang muka, siapa mesti menalangi? Sudah memadaikah kehadiran RS tingkat kecamatan dan kabupaten menjadi rujukan? Tak cukup kebiasaan responsif baru kalau kasus pasien terlantar terangkat ke muka publik.
Layanan medis kita menganut sistem rujukan (referral system) yang umumnya tak dimanfaatkan pasien “jalur cepat”. Ada regulasi Puskesmas menjadi pintu pertama alamat berobat apa pun penyakit pasien. Puskesmas merujuk ke RS tingkat kecamatan bila tak mampu menangani. RS tingkat kecamatan merujuk ke RS tingkat kabupaten, dan selanjutnya dirujuk lagi jika memerlukan fasilitas RS Provinsi. Begitu selanjutnya, rujukan RS puncak rujukan (top referral), yakni RSCM Jakarta, diperlukan bila di RS tingkat puncak kasusnya bisa ditangani.
Yang masih terjadi, masyarakat tak tahu kalau boleh sesuka hati ke mana memilih alamat berobatnya. Akibat sistem rujukan belum memasyarakat, ketepatan dan efisiensi berobat tak optimal. Pasien apa pun berbondong-bondong ke RS, sehingga RS kita mirip pasar malam.
RSCM dijejali kasus sederhana yang sebetulnya bisa ditangani oleh Puskesmas, atau RS di tingkat lebih bawah. Dampak buruk kelebihan bobot kerja RS memeriksa pasien, bakal merugikan pihak pasien. Kasus malapraktik dan misconduct (dokter judes, lekas gusar, tak ramah), tak professional, utamanya sebab dokter kelebihan bobot kerja.
Tersasar berobat
Tidak semua pasien kita berobat ke dokter. Suburnya praktik nonmedis di kita bukan semuanya harus diharamkan. Namun masyarakat perlu diberi tahu bahwa tidak semua terapi atau kesembuhan (healing) nonmedis, apakah cara tradisional, alternatif, orang pintar, betul terbilang ilmiah. Siapa menginsafi gara-gara tak tepat berobat, pasien merugi untuk dua hal. Tak sembuh, atau kehilangan peluang sembuh, selain kerugian ekonomis yang sering-sering tak sedikit.
Media massa kiwari kurang selektif beriklan dan menayangkan aneka praktik terapi serta penyembuhan yang di mata medis tak bertanggung jawab. Kasus pasien gagal sembuh dan tak efisiennya berobat banyak muncul akibat tak tepat memilih alamat berobat.
Kasus kanker yang masih mungkin disembuhkan ketika masih stadium awal, terlambat ditolong lantaran mampir-mampir dulu ke orang pintar. Tugas pemerintah wajib memandu masyarakat pasien kita yang kebanyakan masih kuat keniscayaan magisnya supaya tak sesat berobat. Bantu meniscayai tak semua penyakit ke praktik alternatif alamat menyembuhkannya.
Masyarakat perlu tahu kesembuhan yang tak masuk nalar medis sebetulnya bersifat sugesti (placebo effect). Itu alasan tak semua yang tergolong terapi nonmedis laik diniscayai. Hanya yang tergolong complementary alternative medicine (CAM menurut WHO) yang laik diterima nalar medis, antara lain akupunktur, homeopathy, naturopathy, chiropractic. Bukannya asal praktik alternatif serta-merta diniscayai. Lain dari itu, praktik CAM hanya diposisikan penunjang medis, dan bukan berjalan sendiri.
Hakekatnya suatu obat atau tindakan medis baru diterima medis bila secara signifikan menyembuhkan semua pasien berdiagnosis sama. Sedang kesembuhan nonmedis bukan CAM galibnya tak menyembuhkan semua pasien. Pada nalar medis, kesembuhan yang tidak terjadi pada semua pasien, tak bisa diterima sebagai terapi.
Pasien praktik alternatif yang mengaku sembuh sesungguhnya bukan sembuh sejati, melainkan “merasa” sembuh. Jumlah pasien begini bisa dihitung jari. Segelintir pasien merasa sembuh yang umumnya berpromosi mulut ke mulut ihwal mujarabnya kesembuhan nonmedis, dan itu yang menambah keniscayaan publik. Yang gagal sembuh, yang mayoritas, diam seribu basa. Hemat kita, kesembuhan berkat mukjizat saja bisa kita terima berada di luar nalar medis.
Menertibkan alamat berobat masyarakat
Di mana-mana masyarakat pasien membutuhkan pengayaan, bukan pemiskinan. Tak elok kalau masyarakat makin miskin informasi dan pilihan alamat berobatnya. Lalu supaya optimal mengenyam layanan medis yang benar, sistem rujukan perlu kembali dibangun. RS menegakkan regulasi agar menerima pasien hanya yang dirujuk Puskesmas, atau RS tingkat lebih bawah saja. RS kecamatan dan kabupaten ditambah, dan direvitalisasi. Opini kasus bayi di atas muncul lebih karena pasien tersasar tak menempuh jalur sistem rujukan lewat Puskesmas.
Agar masyarakat tepat alamat dan tak terkecoh berobat, pemerintah wajib juga menertibkan iklan, tayangan TV, siaran radio ihwal praktik terapi dan penyembuhan yang tak bisa diterima nalar medik. Sungguh tak elok menunggu sampai rakyat menangis.
Bila tak tepat alamat berobat, itu yang bikin ongkos berobat rakyat jadi boros. Lebih dari itu, akibat tak berhasil disembuhkan pun berisiko menyisakan kecacatan kalau bukan korban kematian yang sebetulnya tak perlu. Kasihan sudah terlalu lama rakyat kita terlunta-lunta mencari pintu berobatnya yang benar, dan kita belum mengantarkannya.
Dr Handrawan Nadesul
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.