Tema besar “Diberkati Agar Menjadi Berkat” yang menaungi beberapa program pelayanan GKI Pondok Indah selama Paska, Bulan Peduli dan HUT GKI Pondok Indah telah memberi inspirasi kepada Panitia Bulan Peduli agar dapat menjadi berkat, bukan hanya di sekitar pulau Jawa saja, tetapi juga di beberapa daerah di Nusa Tenggara Timur, khususnya Kupang dan Sumba, di mana terdapat juga gereja-gereja Tuhan dan sekolah-sekolah Kristen.
Dalam rangka kepedulian terhadap saudara-saudara kita di Kupang dan Sumba inilah Pdt. Tumpal Tobing dan Pnt. Sutedjo diutus untuk mengunjungi beberapa tempat di sana selama 7 hari dari tanggal 14 sampai 21 April 2009.
Perjalanan di Kupang
Kami berangkat dari Jakarta menuju Kupang dengan pesawat Lion pukul 16.55 WIB, transit di Surabaya 30 menit dan dilanjutkan lagi hingga tiba di bandara El Tari, Kupang pukul 23.45 WIT. Setiba di sana kami dijemput oleh Pdt. Yosafat Manu dan Sdr. James dengan mobil yang dipinjami oleh Bupati Soe dan langsung menuju ke Desa Oebobo di Kecamatan Batu Tulis. Perjalanan selama kurang lebih satu jam itu ditempuh dengan menikmati pemandangan yang gelap gulita dan jalan yang tidak terlalu lebar (pas untuk 2 mobil) serta berkelok-kelok sebagaimana layaknya jalan di perbukitan.
Akhirnya kami tiba di Desa Oebobo dan disambut oleh wakil ketua Majelis dan keluarga jemaat Efata Tubunain yang telah menyediakan makan malam pukul 01.00 WIT, ketika hari sudah menjelang pagi. Setelah makan sup dan sayuran yang menghangatkan dan menyegarkan badan, kami sempat berbincang-bincang tentang keberadaan jemaat, dan tentu saja juga tentang pengalaman menarik Pdt. Yosafat Manu. Saya tahu bahwa jebolan S2 Universitas Satya Wacana Salatiga ini dulu aktif di GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) dan sekaligus pembicara ulung di kalangan mahasiswa di Jogjakarta. Ia bercerita bahwa pada penghujung masa vikariatnya (masa memasuki dan mempersiapkan diri menjadi pendeta jemaat) di GMIT (Gereja Masehi Injili Timor), ia mendapat tawaran dari Sinode GMIT untuk memilih apakah ingin melayani di Flores pada suatu lembaga gereja yang menangani masalah pluralitas agama, atau terjun dalam pelayanan di desa. Ia memutuskan untuk melakukan pelayanan di Desa Oebobo ini, yang sampai saat ini telah berjalan hampir 4 tahun.
Menjelang pukul 02.00 pagi kami pun dipersilahkan untuk beristirahat: yang satu di rumah jabatan Pdt.Yosafat Manu (ketua Majelis) dan yang lain di rumah wakil ketua Majelis. Pagi hari pukul 05.30 kami dikejutkan oleh suara katak yang mengalun seperti bass betot, saling bersahutan dan cukup keras, sehingga membangunkan kami dari kepulasan tidur. Ternyata suasana di luar sudah terang-benderang dan ayam pun beterbangan dari pohon. Pemandangan “ayam terbang” ini tampaknya cuma ada di Desa Oebobo. Ayam-ayam bertengger di pohon dan pada pagi hari turun untuk mencari makan. Ketika bertelur, induk ayam dan telurnya digantung di atas. Induk itu hanya turun apabila lapar dan terbang lagi ke atas untuk mengerami telurnya setelah kenyang.
Pukul 09.00 setelah makan pagi yang agak di luar kebiasaan tapi sangat nikmat dengan sup, sayur dan Se i babi (babi panggang), kami disambut oleh Majelis Jemaat dengan upacara pengalungan selendang (semacam kain ulos) dari Kupang dan ucapan berkat dalam bahasa asli, sebagai tanda bahwa kami secara resmi telah diterima dan dengan demikian percakapan dapat dilanjutkan dengan sangat terbuka dan penuh kepercayaan. Budaya penerimaan semacam ini kami alami juga dalam setiap pertemuan dengan kumpulan jemaat yang ada di rayon-rayon (wilayah).
Dalam percakapan pendahuluan, Pdt Yosafat Manu memperkenalkan nama-nama penatua yang hadir dan dilanjutkan dengan penjelasan tentang keberadaan desa dan jemaatnya.
Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) adalah salah satu kabupaten di provinsi Nusa Tenggara Indonesia. Hampir 75% penduduk berprofesi sebagai petani, dan sisanya adalah PNS (Pegawai Negeri Sipil). Di kabupaten ini terdapat beberapa dataran yang sangat luas yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat setempat sebagai lahan pertanian atau sawah. Kota Kupang adalah ibu kota provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Luas wilayahnya 1.634 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 450.000 jiwa. Daerah ini terbagi atas 4 kecamatan dan 45 desa. Desa Oebobo adalah salah satu desanya dan terdiri atas 14 kelurahan. Desa ini terletak di kecamatan Batu Putih yang berpenduduk ± 25.000 jiwa, sedangkan jemaat Efata Tubunain berjumlah ± 1.000 jiwa/300 KK (kepala keluarga). Sebagian besar (99%) penduduknya petani dan hanya 6-10 orang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS).
Pendeta Yosafat Manu adalah pendeta pertama di sana. Sebelumnya gereja ini dipimpin oleh tokoh jemaat yang diangkat menjadi pimpinan, penanggung jawab dan sekaligus utusan Injil yang bertugas memimpin jemaat, seperti Bapak Falo, tokoh jemaat yang telah bertugas selama 15 tahun kemudian dilanjutkan oleh Bapak Selan selama 10 tahun dan saat ini menjabat sebagai wakil ketua Majelis.
Jumlah Majelis Jemaat seluruhnya 51 orang dan mereka bertanggung jawab atas 290 KK, atau 1.057 jiwa. Ibadah Minggu dilaksanakan 1 kali pada pukul 08.00 pagi dan kegiatan di gereja biasanya hanya diadakan pada hari Minggu atau hari-hari khusus seperti perayaan Paska, Natal dan tutup tahun (kunci tahun). Kegiatan-kegiatan gerejawi dan ibadah syukur, persekutuan doa dan pemahaman Alkitab diselenggarakan di rayon-rayon yang dipimpin oleh penatua, yang berperan sebagai ketua rayon.
Permasalahan yang muncul dari rayon-rayon tersebut sangat variatif, yang secara sederhana dapat disimpulkan sebagai berikut:
- Masalah ijon. Ada beberapa orang tengkulak yang punya modal besar dan sangat berpengaruh di masyarakat desa. Mereka meminjamkan modal kepada para petani yang mengalami kesulitan ekonomi dan mempunyai kebutuhan mendesak seperti dana untuk menyekolahkan anak, untuk menikahkan anak, untuk kebutuhan sehari-hari ketika musim kemarau panjang dan keperluan tak diduga lainnya. Cara pengembalian utang atau pinjaman tersebut dilakukan dengan menggadaikan hasil panen yang akan datang. Sebagian petani yang terlilit utang tidak dapat lagi menikmati hasil panen mereka karena harus segera diserahkan kepada tengkulak dengan harga sangat rendah dibandingkan harga pasar pada umumnya. Setelah mereka membayar utang, mereka terpaksa harus kembali meminjam uang untuk menutupi kebutuhan sehari-hari, termasuk keperluan sekolah anak-anak mereka.
- Ada kebiasaan berkompetisi untuk menunjukkan “gengsi”. Misalnya pada saat menyelenggarakan pesta pernikahan atau pesta lainnya. Mereka akan membandingkan dengan apa yang dilakukan tetangga pada pesta yang lalu. Kalau pada pesta yang lalu tetangga memotong 2 ekor kerbau dan 2 babi, maka pada pesta ini mereka harus melebihinya, yaitu dengan memotong 3 ekor kerbau dan 3 babi. Budaya bersaing yang tidak sehat ini menyebabkan berkurangnya jumlah binatang di daerah tersebut.
- Pengadaan air bersih. Bagi kebutuhan rumah tangga juga sulit diperoleh beberapa rayon. Hal ini disebabkan oleh jarak tempuh pengambilan air yang cukup jauh sehingga mempengaruhi kebersihan lingkungan dan kesehatan.
- Perhatian terhadap kebutuhan anak sekolah sangat memprihatinkan. Sebagian penduduk tidak menganggap perlu untuk menyekolahkan anak mereka ke tingkat akademis yang lebih tinggi karena merasa cukup apabila mereka sudah bisa baca dan tulis. Akibatnya tingkat pengangguran terus bertambah. Ada banyak pemuda dan remaja yang tidak mempunyai ketrampilan bekerja, sehingga mereka mengambil jalan pintas dengan membeli motor secara kredit dan menjadi “tukang ojek”.
- Tantangan terbesar di desa ini adalah sumber daya manusia. Masalahnya terletak pada banyaknya pemuda yang meninggalkan desa dan tidak mau kembali lagi untuk membangun desa mereka.
- Lambannya pertumbuhan ekonomi jemaat berdampak pada pelayanan gereja. Misalnya, ketidakmampuan jemaat untuk merenovasi gedung gereja yang akan roboh karena merupakan bangunan lama, sehingga perbaikan berjalan sangat lambat.
- Kurangnya perhatian terhadap pendidikan, menyebabkan sangat sedikitnya pengadaan sekolah dan tentu saja jika ada, fasilitasnya kurang memadai, khususnya pengadaan materi pembelajaran.
Selain perkunjungan di Desa Oibobo ini kami juga sempat melakukan perjalanan ke Soe sebagai kota yang terdekat dengan desa ini. Beberapa sekolah tampak sungguh sangat memrihatinkan. Sebagian besar sekolah adalah milik gereja GMIT, namun karena kekurangan dana, gereja tidak lagi dapat berperan aktif mewarnai pendidikan di sana. Pemerintah mengambil alih sebagian besar warna pendidikan dengan membiayai beberapa guru dan kepala sekolah yang berstatus pegawai negeri. Akibatnya sangat sedikit sekolah yang sungguh-sungguh berpegang pada nilai-nilai Kristiani. Para guru juga perlu mendapat dukungan fasilitas karena sebagian besar masih berstatus “guru bantu dan guru kontrak” yang digaji oleh pemerintah atau orangtua murid setiap 6 bulan sekali, dengan imbalan antara 300-500 ribu rupiah.
Sungguh sangat memrihatinkan karena ternyata perhatian gereja terhadap generasi muda masih sangat kurang, mungkin karena terlalu sibuk dengan banyak urusan gereja lainnya.
Yang mengejutkan, ketika kami tiba di Kupang, kami sempat mengunjungi sebuah “sekolah unggulan” yang setiap tahun ajaran baru terpaksa menolak beberapa murid baru karena ketiadaan tempat lagi. Sekolah “Mercu Buana” ini milik seorang jemaat Gereja Sidang Jemaat Allah yang terpanggil untuk membangun sekolah yang didasarkan atas nilai-nilai Kristiani. Sekolah ini sangat peduli pada pembentukan karakter Kristiani para siswanya dan sangat memperhatikan mutu pendidikannya. Sekolah ini memegang teguh prinsip bahwa sekolah dibangun untuk memuliakan nama Tuhan dan semua guru dan karyawan harus merasa ikut memiliki sekolah tersebut.
Sebenarnya sekolah yang setiap ujian nasional selalu lulus 100% ini menjadi contoh yang baik bagi sekolah gereja lainnya, yang rata-rata lulusan ujian nasionalnya hanya di bawah 50%. Namun sayang bahwa kelihatannya belum ada kerjasama yang baik antar sekolah-sekolah milik gereja di sana.
Perjalanan di Sumba Timur
Tanggal 18 April kami tiba di Sumba Timur, tepatnya di kota Waingapu. Di sana kami dipandu oleh Pdt. Dominggus yang mempertemukan kami dengan Bupati Waingapu. Kami sempat berbincang-bincang tentang perhatian pemerintah terhadap permasalahan pendidikan dan perkembangan generasi muda di sana.
Kabupaten Sumba Timur merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur. Sumba Timur secara umum berada di daerah pesisir, landai sampai bergelombang dan berbukit (pegunungan). Lahan pertanian terutama di dataran pantai utara, yang memiliki cukup air di permukaan maupun sungai-sungai besar. Rangkaian pegunungan dan bukit-bukit kapur curam meliputi wilayah Desa Lewa tempat di mana kami berkunjung dan tinggal.
Amplitudo suhu yang tinggi mengakibatkan batu-batuan menjadi lapuk, tanah merekah dan terjadi seleksi alam terhadap tumbuhan dan hewan yang dapat hidup dalam kondisi demikian. Karena itu, jenis tumbuhan yang ada umumnya berupa tanaman keras seperti Jati, Kelapa, dan Aren; sementara hewan peliharaan umumnya adalah Sapi, Kerbau, dan Kuda yang telah menyesuaikan diri dengan keadaan alam Sumba yang berpadang rumput sangat luas (Sabana). Keadaan tanah di Sumba Timur mengandung pasir, kapur, dan batu karang. Keadaan ini sangat mempengaruhi perkembangan yang terjadi di Desa Lewa dan sekitarnya.
Jumlah penduduk Kabupaten Sumba Timur (2002) 190.214 jiwa, atau dengan kepadatan rata-rata 27 jiwa/km2. Kepadatan tertinggi di Kecamatan Waingapu, yaitu 1.049 jiwa/km2. Sekitar 39% beragama tradisional Marapu. Meskipun keadaan tanahnya kurang subur, lebih dari separuh penduduk kabupaten Sumba Timur ini petani dengan konsentrasi pada tanaman padi, jagung dan ubi kayu. Hasil pertanian lainnya ialah cengkeh, kapuk, kacang tanah, kelapa dan kemiri. Selain itu ada juga yang bekerja sebagai peternak, pegawai, buruh, nelayan dan lain-lain.
Selama di Desa Lewa, kami sempat mengunjungi ke SD Masehi di Waiwai, Kecamatan Lewa dan SD Praipaha, Desa Kaheri, Kecamatan Nggaha Ori Anggu. Keadaan sekolah-sekolah ini sangat memprihatinkan walaupun para murid mereka mempunyai semangat yang luar biasa untuk mengenyam pendidikan. Sebagian kecil guru adalah pegawai negeri demikian juga kepala sekolahnya, namun sebagian besar merupakan guru kontrak/guru bantu yang dibiayai oleh orangtua murid dan mendapatkan gaji 6 bulan sekali sebesar 200-500 ribu rupiah.
Keberadaan siswa sangat memprihatinkan, pakaian atau seragam mereka banyak yang sudah tidak layak pakai dan tidak sedikit yang masuk ke kelas tanpa sepatu. Banyak siswa yang tidak memiliki buku karena harganya yang terlalu mahal sedangkan biaya fotokopi pun mahal.
Peran dan perhatian gereja terhadap pendidikan sangat kurang, karena gereja tidak mampu membiayai fasilitas pendidikan dan gaji guru. Ketergantungan YUPENKRIS (lembaga gereja yang menangani pendidikan) pada bantuan pemerintah sangat besar. Dengan keadaan seperti ini tidak mengherankan apabila angka kelulusan nasional juga sangat minim.
SD Masehi dan gereja di Praipaha yang terletak di dekat lembah Yordan ini berjarak ± 10 km dari kota. Kami sungguh kagum menyaksikan upaya misionaris awal yang berhasil membangun sekolah dan gereja di suatu tempat yang terpencil di perbukitan dan tanah yang gersang. Motivasi yang mendorong para penginjil untuk mendirikan sekolah dan gereja di tempat ini sangat memicu penduduk setempat untuk menyebarkan Injil di wilayah tersebut yang masih banyak menganut agama suku (Marapu) dengan cara mendirikan sekolah bagi anak-anak mereka. Sayang sekali, kini tempat ibadah atau pos PI yang biasa digunakan untuk ibadah hari Minggu bersama-sama dengan jemaat yang masih beragama suku itu sudah runtuh. Karena tidak memiliki cukup dana untuk membangun kembali, untuk sementara ibadah diselenggarakan di ruang sekolah yang tidak terlalu besar dan tidak cukup untuk menampung jemaat yang hadir. Mereka sangat berharap ada gereja yang mau membantu membangun kembali pos PI yang sudah runtuh ini, yang terletak di perbatasan pelosok yang dihuni oleh penduduk yang beragama suku (Marapu).
Pada sore harinya kami beristirahat sambil minum teh dan kemudian dilanjutkan dengan makan sore di rumah panggung bersama dengan ketua Majelis GKS (Gereja Kristen Sumba) Praipaha di Desa Lewa, beberapa penatua, calon pendeta Dominggus dan Pdt. emeritus yang telah berpuluh tahun melayani di gereja ini. Sambil makan sop babi dan sayuran pahit sebagai pasangannya, mereka menceritakan tentang pergumulan yang sedang dialami oleh gereja karena masih banyaknya orang-orang beragama suku yang hidup di sekitar mereka. Ciri utama agama-agama suku ini ialah upacara-upacara yang diadakan pada berbagai kesempatan dan berkaitan dengan siklus kehidupan dari kelahiran sampai kematian. Juga ada upacara-upacara lain yang berkaitan dengan berbagai kegiatan, seperti membangun rumah, menanam dan menuai. Apa yang disebut kurban, yang memainkan peranan penting dalam upacara ini, mempunyai dua maksud, yakni mencegah bahaya dan kesusahan dan mendapatkan belas kasihan dari para dewata. Ciri lain agama suku ini ialah kepercayaan akan roh-roh nenek moyang atau lainnya, yang berada di gunung, sungai, sawah, pepohonan dan lain-lain. Roh-roh ini dipercayai memiliki kekuatan-kekuatan yang berbahaya atau menguntungkan, tergantung pada sikap seseorang terhadap mereka.
Pada hari Minggu tanggal 19 April, kami sempat mengikuti ibadah bersama jemaat GKS Praipaha. Jemaat yang hadir ± 200 orang dan mengenakan pakaian yang unik, tetapi rata-rata tidak bersepatu atau hanya memakai sandal. Hal ini disebabkan karena sebagian berangkat dari sawah atau ladang dan selesai ibadah biasanya kembali lagi ke tempat kerja.
Usai ibadah kami mempunyai kesempatan untuk berbincang-bincang dengan jemaat dalam suasana akrab dan hangat. Mereka sangat antusias mendengarkan pergumulan gereja di Jakarta khususnya GKI Pondok Indah. Dari percakapan ini, kami dapat menyimpulkan beberapa hal:
- Sebagian besar penduduk hidup dari bercocok tanam atau bertani. Sebagai petani mereka berorientasi pada “masa kini,” tanpa memandang pada “masa depan,” artinya mereka tidak punya kemampuan untuk berpikir lebih jauh. Dari kisah-kisah yang mereka ungkapkan, mereka merindukan masa lampau yang mistis dan menganggap bahwa kisah-kisah mitologis masih bermakna penting dalam kehidupan sehari-hari. Mereka percaya bahwa kisah-kisah yang mereka dengar mampu memberikan kemakmuran kepada mereka. Alam tidak dipandang oleh para petani sebagai sesuatu yang berbahaya, asalkan mereka menyesuaikan diri atau menyelaraskan hidup dengan lingkungan. Bila mereka dapat menyesuaikan diri atau menyelaraskan hidup dengan lingkungan, pasti mereka akan hidup aman.
Belakangan perasaan keselarasan ini diperhalus dengan kebiasaan untuk menerima apa adanya, bahkan ketika terjadi sesuatu yang menyedihkan. Mereka berusaha untuk sabar, dengan keyakinan bahwa nasib baik akan datang. Sabar bukanlah suatu sikap yang pasif dan pasrah. Sebaliknya, sikap sabar menuntut pengendalian diri yang terpusat. Ikhlas mencerminkan nilai keselarasan dengan lingkungan. Konsep ini konon menunjukkan pelenyapan diri, dalam arti melepaskan diri dalam kebesaran alam. Nasib bukan sesuatu yang pasif. Sebaliknya, hal ini membutuhkan konsentrasi agar mampu melenyapkan diri. Karena itu, hidup bersama dengan Kristus dengan melenyapkan kehidupan yang lama bukanlah hal yang baru bagi mereka, sebab mereka sudah terbiasa hidup tidak mementingkan diri sendiri dan selalu berserah kepada apa pun yang diberikan oleh alam semesta.
Sebagai kesimpulan dapat kita katakan bahwa dalam konteks Sumba dan Kupang, makna kata ‘penyerahan diri’ bukanlah kata yang bersifat pasif dan pasrah, melainkan terus-menerus aktif melakukan perubahan-perubahan bersama dengan Tuhan Yesus. - Permasalahan lainnya yang cukup serius adalah kurangnya sumber daya manusia. Hal ini disebabkan banyaknya generasi muda yang senang merantau ke kota-kota besar kemudian tinggal dan bekerja di sana. Akibatnya pertumbuhan ekonomi jemat dan tentu saja juga berdampak pada perkembangan ekonomi pedesaan.
Untunglah pada hari yang terakhir kami sempat berjumpa dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dipimpin oleh calon pendeta (Vikar-sebutan di sana) Dominggus sendiri. LSM “Kristen” yang mendapat sebutan “Stube Hemat” ini bertujuan memberdayakan para mahasiswa, agar mereka memahami permasalahan yang ada di sekitar mereka, baik masalah etika dan moral, masalah lingkungan seperti kemiskinan, atau pendidikan politik dan pertanian organik.
Program-program yang dijalankan memotivasi para mahasiwa untuk kembali ke kampung halaman mereka dan membangun desa mereka masing-masing. LSM ini mendapat bantuan dari Brot fuer die Welt Jerman dan sudah berjalan selama ± 2 tahun. Sebelumnya, selama bertahun-tahun Bapak Vikar Dominggus mengikuti program Stube Hemat di Jogjakarta dan menjadi salah satu pembina di sana.
Kami sangat senang karena mendapat kesempatan yang indah untuk melakukan perjalanan selama 7 hari di Kupang dan Sumba. Ada banyak pengalaman baru dan sekaligus keprihatinan ketika menyaksikan perjuangan gereja-gereja dan jemaat-jemaat di sana dalam menghadapi tantangan perkembangan dunia yang begitu cepat namun tak mampu mengejar ketinggalan mereka. Pertanyaannya: Siapakah yang akan dan mau peduli kepada mereka? Saudara-saudara kita di Kupang dan Sumba sungguh merasa bahagia dan penuh harapan ketika mendapat kunjungan dan perhatian dari jemaat GKI Pondok Indah yang mau peduli dan meluangkan waktu untuk memahami kesulitan mereka dalam mengelola perkembangan gereja dan sekolah/pendidikan di masa mendatang.
Demikianlah beberapa catatan yang perlu mendapatkan perhatian dalam rangka Bulan Peduli GKI Pondok Indah.
Pdt. Tumpal Tobing dan Pnt. Sutejo.
[nggallery id=5]
1 Comment
Tony Ronaldo
Agustus 26, 2009 - 8:52 pmPetualangan yang sangat menarik dan suatu perjumpaan kepedulian yang bermakna. Semoga ada kelanjutan dan ada banyak orang yang tergerak membantu saudara-saudara nun jauh di sana khususnya terkait dengan dunia pendidikan yang nampaknya masih sangat tertinggal.
Semoga Tuhan Yesus memberkati upaya saudara. Amin.