Patmos

Patmos

Belum ada komentar 115 Views

PATMOS… adalah nama sebuah pulau di Asia Kecil di mana Yohanes (bukan Yohanes Pembaptis, tapi salah seorang murid Yesus yang dikasihi) dibungkam dan diasingkan alias dibuang oleh kaisar Romawi karena dia mbalelo (bandel banget), tidak mau tunduk pada perintah Kaisar Domitianus agar seluruh warganegara menyembahnya dan memanggilnya sebagai Tuhan dan Allah. Yohanes dianggap sebagai provokator, karena memengaruhi umat Kristen supaya tetap berpegang teguh pada iman mereka. Itu terjadi pada akhir abad pertama, sekitar tahun 95 Masehi. Saat itu memang Patmos dikenal sebagai pulau pembuangan, kira-kira sama seperti Tebet pada tahun 1950-an ketika orang menyebutnya sebagai tempat ‘jin buang anak,’ atau juga Pondok Indah sebelum ada rumah/gedung bertingkat, belum ada PIM, belum ada jalan aspal, apalagi bus way. Juga belum ada GKI PI di mana kita dapat bersekutu dengan penuh kasih dan kepedulian.

Pada saat pembuangan itu, Yohanes mendapat wahyu dan ditulis dalam kitab Wahyu. Sebagian besar kitab ini terdiri atas beberapa rangkaian wahyu dan penglihatan yang arti dan maksudnya mudah dimengerti oleh orang-orang Kristen zaman itu. Akan tetapi hal ini sekarang sulit dimengerti karena memakai simbolisme yang rumit. Meskipun banyak perbedaan pendapat mengenai interpretasi yang terinci dari isi kitab ini, namun intisari pokok pikirannya jelas, yaitu bahwa “Yesus Kristus” akhirnya akan mengalahkan semua musuh-Nya, termasuk Iblis.

PATMOS… Di pulau ini jugalah Bang Yo mengirim surat kepada ketujuh jemaat-Nya yang waktu itu banyak menyimpang dari standar kebenaran-Nya, sehingga perlu ditegur. Ia menghimbau mereka supaya bertobat dan berbalik kepada kasih mereka yang semula (bagi jemaat yang di Efesus). Apabila kita melihat surat ini dari sudut pandang sejarah gereja, banyak gereja yang juga sudah kehilangan kasih yang semula dan beralih dari pelayanan penuh kasih menjadi institusi religius yang formal dan tanpa kasih. Gereja penuh dengan konflik dan argumentasi teologis.

Demikian juga jemaat yang di Laodekia, yang suam-suam kuku, tidak panas dan juga tidak dingin. Mereka tidak miskin, bahkan hidup berkecukupan. Namun mereka tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya miskin rohani, miskin kasih, miskin kepedulian, terlalu memikirkan diri sendiri, serakah dan bahkan (barangkali) tamak.

Seiring dengan berjalannya waktu, sejarah pemerintahan Romawi berubah

PATMOS… pun berubah. Untuk memperingati Yohanes, dibangunlah sebuah biara/seminari di puncak bukit. Tempat ini tepat untuk belajar karena udaranya segar dan bersih, bebas polusi. Pemandangannya pun luas, jauh menatap laut, dan suasananya masih tenang-aman dan alami. Pulau yang agak menjorok ke dalam ini, terlindung oleh pulau-pulau di sekitarnya, tidak seperti pulau Kreta (di mana Paulus pernah terdampar) yang langsung berhadapan dengan Laut Tengah yang luas dan terkenal dengan gelombang ganasnya.

PATMOS… pada abad sekarang ini dengan keadaan alam yang sangat mendukung, tidak luput dari serbuan pengusaha tour and travel. Sudah banyak kapal pesiar dari seluruh penjuru dunia dan dipenuhi dengan wisatawan, datang berlabuh dan menikmati segala fasilitas yang sudah disesuaikan sebagai layaknya tempat wisata, tidak kalah dengan salah satu tempat wisata Indonesia… Bali. Semua bisa diakses dengan teknologi canggih, serba komputer; memesan tempat di hotel, ikut tur, olah raga, tempat-tempat restoran dan seterusnya tinggal CLICK HERE.

Adakah surat dari PATMOS buat jemaat-Nya di GKI PI?

Kita tunggu surat dari Bang Yohanes? Kagak mungkinlah, yao! Beda 20 abad, lo! Sebenarnya masalahnya bukan surat dari Patmos atau dari Paulus atau dari Yohanes, namun lebih tertuju kepada diri sendiri. Dengan umur yang sudah lebih dari 25 tahun, GKI PI cukup matang untuk melakukan introspeksi. Coba, seandainya ada ‘e-mail‘ yang senada dengan surat Yohanes itu, yang intinya memuji keberadaan dan keberhasilan sebuah jemaat, tepatnya GKI PI, sekaligus mengkritik kekurangannya; sudah cukup dewasakah kita untuk menanggapinya dan bebenah diri atau bertobat? Akankah kita menepuk dada karena bangga atas pujiannya, lalu defensif bahkan marah dan menyalahkan pengkritiknya? Kan semuanya sudah ditata rapi, dikelola secara profesional, dan tinggal ikut program yang sudah disusun; dan… zero error! Sukses!

Masih ingat pada buku Peringatan 25 tahun GKI PI? Sebenarnya buku ini sarat dengan kritik namun disampaikan secara bijak sehingga diperlukan hati yang peka dan responsif. Misalnya program Komisi yang dibuat tiap tahun dengan hanya copas (copy and paste), KOMBAS yang terpencar namun belum memancar. Siapa yang berani mengkritik kepedulian kita yang sudah meliputi seluruh Nusantara, dari tsunaminya Aceh, gempa dan wedus gembelnya gunung Merapi sampai di ujung timur/Papua? Pendidikan untuk sesama? Ada GOTA. Kerjasama antar gereja? Ingat Operasi Katarak. Kesehatan? Ada poliklinik umum dan gigi. Kurang apa lagi, bukankah semua kepedulian sudah dirancang dan sedang berjalan dari tahun ke tahun? Bukankah “kasih semula” sudah ada dan tertuang dalam program?

Suatu hari, seperti biasa, salah satu kegiatan Komisi Perlawatan ialah berkunjung dan memberi bingkisan kepada warga jemaat yang dianggap kurang beruntung dalam kehidupan ekonominya. Di satu pihak, mereka yang dilawat tentunya menerima bingkisan itu dengan penuh rasa syukur. Hati pelawat/aktivis pun merasa ‘plong’ karena sudah dapat melaksanakan tugasnya. Namun, di pihak “hati,” bagaimana tidak sedih melihat saudara sepersekutuan tinggal di sebuah rumah yang kurang layak dihuni; atap yang (entah sudah berapa kali kunjungan) tetap bocor di sana-sini; dan setiap kali kunjungan kita hanya dapat menyampaikan “kepedulian” yang sesuai dan sejauh program. Adakah sesuatu yang dapat dan mampu kita lakukan lebih jauh, seperti orang Samaria yang baik itu, yang tuntas kepeduliannya? Inikah yang dimaksud dengan kasih yang semula itu?

Seperti Yesus, saat Ia harus menentukan pilihan, apakah “peduli Hari Sabat” atau “hati yang peduli sobat,” maka pilihan-Nya tetap merujuk pada sifat-Nya yang kasih agape, meski menyebabkan-Nya makin di’satroni’ dan dikecam oleh pejabat agama saat itu. Namun, di situlah Yesus tampil beda. Ia sama seperti manusia biasa namun… ada yang ilahi. Demikian juga gereja, yang juga adalah organisasi dunia, namun… bersifat rohani, ada karya Roh Kudus. Gereja di Efesus sangat sukses, tapi mulai kehilangan kasih yang semula, yang merupakan motivasi yang sangat penting dalam hidup kekristenan. Mana yang kita pilih: Peduli yang terprogram atau peduli yang agape? Apapun pilihannya, jangan sampai peduli yang agape itu tersisih hanya karena tidak ada di program! Organisasi gereja harus berbeda dengan organisasi dunia lainnya, harus tetap memancarkan terang dan menjadi garam.

We are free to choose and the choice is yours. Benar, kita harus bertanggungjawab pada kehidupan organisasi yang‘sehat; namun… juga tetap “peduli sobat.”

Have a right choice! Have a loving care to each other, sesama warga jemaat! Selamat membuat program gereja, gereja-Nya Tuhan, organisasi yang sehat sekaligus ilahi, yang masih mempunyai terang dan menjadi garam.

Salam Patmos.

Nia Gatugapan

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Antar Kita
  • WEEKEND PASUTRI
    WEP adalah singkatan dari Weekend Pasangan Suami Istri, suatu program belajar bersama selama 3 hari 2 malam untuk pasangan...
  • GKI ORCHESTRA: Kidung Pengharapan
    Sekilas tentang GKI Orchestra GKI Orchestra merupakan ruang bagi remaja-pemuda dari seluruh GKI untuk memberikan talenta dan kerinduannya dalam...
  • Mata Air Kasih-Nya
    Yesus adalah Raja, ya benar, tetapi Ia berbeda dari raja yang lain. Sebuah Kerajaan, memiliki bendera, apapun modelnya, bahkan...
  • BELAJAR MELAYANI SEDARI KECIL
    Ibadah Anak/Sekolah Minggu sudah selesai, tapi masih banyak Adik adik Sekolah Minggu yang belum beranjak meninggalkan sekolah Tirta Marta...