Orang pintar akan sulit mendapatkan pekerjaan. Itu kata guru bisnis saya Januar Darmawan. Dan ia bersungguh-sungguh. Ia tidak sedang bergurau. Ia membuat saya berpikir keras. Bagaimana mungkin orang yang pintar justru sulit mendapatkan pekerjaan? Bukankah perusahaan-perusahaan terkemuka selalu membuka lowongan bagi orang-orang pintar tersebut?
Sudah amat jelas bahwa ”orang pintar” yang dimaksudkan oleh guru bisnis saya itu tidak mengarah kepada kaum paranormal, apalagi dukun dan sebangsanya. Yang dimaksud adalah kaum terpelajar-cerdas dengan keahlian-keahlian khusus. Mereka adalah alumnus dari sekolah-sekolah terbaik di Indonesia atau di manca negara dengan gelar formal strata-2 (master) dan strata-3 (doktoral). Mereka menekuni bidang-bidang tertentu yang sangat terspesialisasi. Sebagian juga memperoleh spesialisasinya dengan mengambil program-program sertifikasi di bidang tertentu, entah yang berkaitan dengan teknologi informasi, finansial, neurosains, pengembangan sistem, penataan budaya organisasi, dan sebagainya. Kehadiran mereka dalam jumlah yang terus meningkat di tanah air, menimbulkan konsekuensi tertentu.
Umumnya, kaum terpelajar-cerdas ini sangat diperlukan oleh perusahaan untuk mengerjakan hal-hal yang spesifik. Misalnya, memperbaiki sistem informasi atau sistem administrasi, membantu standarisasi proses tertentu, membantu meredefinisi budaya organisasi, mengajarkan proses pengelolaan keuangan untuk mencapai kebebasan finansial, memberikan terapi untuk menata sikap dan perilaku buruk, dan sebagainya. Namun, mereka ini sebenarnya hanya diperlukan untuk periode waktu tertentu saja, umumnya dalam hitungan bulan. Setelah periode tersebut, keahlian mereka yang spesifik itu tidak dibutuhkan lagi.
Pada titik inilah fenomena munculnya para konsultan jenis baru di Indonesia bisa dijelaskan. Orang-orang terpelajar-cerdas ini tidak mudah untuk memperoleh pekerjaan tetap (full-time job) dalam sebuah perusahaan karena dua alasan, yakni: pertama, perusahaan tidak mampu membayar sesuai dengan kemauan mereka, karena perusahaan memang tidak membutuhkan mereka dalam rentang waktu yang panjang; kedua, mereka sendiri sulit memperoleh kepuasan profesional kalau hanya berkiprah di dalam satu perusahaan saja, karena mereka akan merasa terkurung dan kurang dihargai sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, orang-orang terpelajar-cerdas ini lebih baik mendirikan usaha sendiri, menjadi konsultan yang melayani berbagai perusahaan saja. Ini solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Sebab dari sisi perusahaan, menggunakan jasa para konsultan ahli ini secara hitungan jangka panjang biayanya menjadi relatif murah. Jauh lebih murah dibanding mereka harus mempekerjakan tenaga ahli secara sepenuh waktu sebagai karyawan tetap bergaji tinggi. Ini menjadi bagian dari proses mengurangi biaya tetap dan meningkatkan laba perusahaan. Perusahaan juga tidak perlu memikirkan apakah konsultan ahli ini memiliki kultur dan nilai-nilai yang sejalan dengan perusahaan atau tidak, sebab yang dibeli oleh perusahaan adalah keahliannya. Keahliannya itu yang ingin diambil oleh sebagian karyawan perusahaan yang terkait dengan bidang tugas tertentu, agar perusahaan bisa berjalan sesuai dengan harapan pemilik dan manajemen puncak perusahaan.
Pada sisi lain, kaum terpelajar-cerdas yang dikontrak dalam jangka pendek ini dapat melayani klien yang lebih luas, sehingga baik secara finansial maupun secara kepuasan profesional, semuanya lebih besar. Mereka bisa memberikan kontribusi yang lebih besar kepada masyarakat karena tidak terbelenggu oleh satu organisasi tertentu.
Begitulah salah satu kecenderungan yang terjadi di Indonesia dewasa ini. Kecenderungan ini sejalan dengan sejarah tenaga kerja di Eropa maupun di Amerika. Sebab pada tahun 2000 saja, jumlah tenaga kerja yang bekerja secara kontraktual di Eropa tercatat lebih dari 50% tenaga kerja, dan di Amerika lebih dari 43% tenaga kerja. Mereka ini adalah tenaga kerja dengan spesialisasi keahlian yang spesifik dan karenanya tidak mampu dipekerjakan oleh perusahaan formal yang selalu mencari cara untuk mengurangi biaya dan memaksimalkan keuntungan. Akibatnya, mereka mendirikan usaha konsultansi sendiri dan melayani klien yang beraneka ragam.
Jadi kecenderungan ini menunjang usaha-usaha perusahaan untuk reducing cost and maximizing profit. Ini tidak mungkin bisa dihalang-halangi. Akan makin banyak orang terpelajar-cerdas yang sulit mencari pekerjaan tetap dan harus mendirikan perusahaannya sendiri.
Apakah semua orang pintar akan mendirikan usaha sendiri? Tidak juga. Sebagian lagi memilih untuk masuk ke pasar dunia. Mereka tidak lagi melihat Indonesia sebagai sebuah ”pembatas”, karena bagaimana pun teknologi informasi telah membuat dunia menjadi borderless, tanpa batas yang tegas. Sejumlah pilot Indonesia memilih bekerja di perusahaan penerbangan Thailand. Sejumlah insinyur hebat memilih Malaysia sebagai tempat berkarya. Dan sejumlah dosen yang mumpuni, mengajar di universitas-universitas terkemuka sekitar Asia Tenggara dan Australia.
Lalu apa yang ”tersisa” di perusahaan-perusahaan saat ini? Apakah tidak ada karyawan terpelajar-cerdas yang masih menjadi orang gajian?
Nampaknya masih ada dua kelompok besar yang bertahan menjadi karyawan di perusahaan-perusahaan kita. Kelompok pertama adalah mereka yang memiliki kecerdasan rata-rata saja. Meski pun mereka lulus dengan indek prestasi komulatif di atas 2,75, kecerdasan mereka tidak nampak dalam dunia kerja. Mereka hanya senang disuruh dan diperintah. Mereka tidak menunjukkan proaktivitas yang memadai untuk memperkembangkan diri lewat proses belajar berkelanjutan dari situasi-situasi kehidupan kerja sesehari. Inilah kelompok karyawan mayoritas yang jumlah populasinya mungkin 80% dari total karyawan.
Kelompok kedua adalah sarjana-sarjana cerdas-berbakat yang hanya menggunakan sebagian saja dari kecerdasannya dalam bekerja. Pada satu sisi mereka tidak memiliki pemimpin visioner yang mau mempercayai dan memberdayakan mereka untuk mengerjakan tugas-tugas yang lebih menantang, seperti merintis unit bisnis yang diperkirakan cocok dengan potensinya (dengan risiko gagalnya, tentu). Dan pada sisi lain mereka sendiri tidak menumbuhkan keberanian yang cukup untuk keluar dari zona kenyamanannya, sehingga bersedia menerima imbalan finansial yang lebih kecil asal ”pasti”. Mereka mengorbankan kecerdasan dan bakat mereka untuk kenyamanan semu yang memabukkan.
Benarkah demikian? Bagaimana pendapat Anda?
Andrias Harefa, Trainer dan Penulis 30 Buku Laris
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.