Obat Nakal

“Obat Nakal”

Belum ada komentar 47 Views

BADAN Pengawasan Obat (BPOM) baru-baru ini menangkap 46 jamu berisi bahan kimia obat. Sejak lama disinyalir sejumlah obat palsu masih kedapatan beredar di pasar. Semua tahu ini bukan isu baru. Sudah lama publik menanggung dampak buruk jamu berisi obat selain obat palsu tanpa ada yang membela. Bila tak ingin rakyat bertambah sakit, diperlukan solusi menuntaskannya. Petaka kesehatan lebih mengerikan bakal terus ditanggung rakyat bila obat dalam jamu masih terus mereka konsumsi.

Dosa “obat nakal”

Jamu bukanlah obat. Manfaat jamu sebatas memelihara kesehatan. Perlu uji klinis supaya jamu mendekati fungsi obat (phytopharmaca). Namun karena ada jamu dicampur obat, ia pantas dilabel “obat nakal”. Begitu pula obat palsu. Dosa keduanya sama. Bikin rakyat jatuh rugi.

Jamu nakal diproduksi industri jamu rumahan, karena berisi obat, jamu berisiko merusak kesehatan. Apalagi kalau obatnya tergolong harus dengan resep dokter. Pemakaian obat Daftar G yang salah indikasi ini, bila berlangsung lama, buruk akibatnya terhadap tubuh. Jamu pegal linu dicampur corticosteroid, misalnya. Betul bikin badan enteng, tapi buruk bahayanya.

Yang kita saksikan sungguh mengerikan. Hampir tiap hari bertahun-tahun rakyat jelata di alun-alun kota minum jamu “nakal” pereda pegal linu, tanpa ada yang memberi tahu itu berbahaya. Di mata medis, bahan berkhasiat tak cukup hanya alasan bikin badan enak saja kalau tak aman dikonsumsi. Mencampur obat dalam jamu menyalahi sikap pengobatan (misused).

Jamu “nakal” nyatanya bisa bebas mencampurkan obat resep dokter jenis apa saja. Pertanyaannya bagaimana obat Daftar G bisa lolos ke industri jamu rumahan, itulah problematik yang perlu dicari solusi menuntaskannya. Rantai penyuplai obat keras perlu diputus agar kesehatan rakyat tidak semakin rusak dibuatnya.
Rutin mengonsumsi jamu dicampur corticosteroid tak perlu waktu lama bikin tulang keropos (osteoporosis), haid terganggu, mencetuskan darah tinggi, kencing manis memberat, sistem hormonal tubuh kacau, bisa jadi memunculkan serangan jantung juga.

Serupa pula dampak buruknya dengan obat palsu. Obat palsu bisa berarti tiga. Isinya kosong, takaran obatnya dikurangi, atau memalsukan merk (me-too) belaka. Obat palsu tanpa bahan berkhasiat punya dua dosa. Ongkos berobat masyarakat terbuang sia-sia, dan penyakit gagal sembuh karena isi obatnya cuma tepung.

Obat palsu hanya tepung, tidak menyembuhkan. Penyakit gagal terkendalikan karena obatnya palsu, berujung komplikasi kalau bukan kematian. Penyakit sudah berkomplikasi perlu ongkos lebih besar. Tak tercatat berapa banyak rakyat korban obat nakal.

Berefek ganda

Minum jamu nakal menyimpan bahaya ekstra. Obat antidiabetes, dan antihipertensi sering dicampur dalam jamu nakal. Bahaya muncul bila waktu minum jamunya pasien minum juga obat dokter berefek sama. Efek obat jadi berlebihan. Gula darah dan tensi bisa anjlok. Selain berisiko bikin syok (irreversible shock), stroke bisa juga terjadi.
Rakyat perlu tahu seringan apa pun obat warung tetap menyimpan efek samping. Terlebih obat resep dokter. Perlu tepat alamat, benar takaran, dan jangka waktu terbatas, selain butuh pengawasan dokter juga. Mengonsumsi jamu berisi obat, menyimpang dari sikap berobat yang rasional.

Jamu atau herbal yang menjanjikan bisa menyembuhkan kanker, dan hasilnya nihil, hanya buang-buang waktu berobat. Kasus kanker di Indonesia sering terlambat diobati dan batal sembuh akibat stadiumnya melanjut lantaran mampir-mampir dulu di orang pintar, atau memilih terapi alternatif.

Tidak semua terapi alternatif keliru. Namun tidak serta-merta karena bersifat alternatif maka dianggap aman. Hanya terapi alternatif tergolong complementary alternative medicine (CAM) diterima dunia medis (WHO).

Swamedikasi

Mengobati sendiri (swamedikasi) sudah mentradisi dalam masyarakat kita. Tidak sepenuhnya buruk. Namun bila wawasan obat masyarakat dan pilihan berobat masih rendah, itu mengapa pemakaian obat dan pilihan berobat jadi merugikan karena salah kaprah. Perlu sosialisasi pemakaian obat. Hanya bila manfaat obat lebih besar dari masalahatnya, obat baru dipakai. Tidak bila sebaliknya.

Kasus iatrogenic, misalnya. Menjadi sakit karena keliru dalam berobat atau diobati, di negara sedang berkembang terus meningkat. Juga di kita. Penyebabnya karena serampangan mengobati sendiri.

Tingginya permintaan obat di kita pun lantaran obat apa saja masih bisa dibeli bebas tanpa resep. Belanja obat pribadi di kita lebih besar dari belanja obat pemerintah. Karena permintaan obat tinggi, obat yang laris di pasar gelap, bukan yang ditebus di apotek, yang sering dipalsukan.

Kurang kritis selain gampang percaya pada obat maupun cara penyembuhan (healing), sosok lain kelemahan berobat masyarakat kita. Itu maka produsen jamu nakal makin merajalela. Tangan pemerintah tak cukup panjang melakukan pengawasan. Maka solusi strategisnya rakyat dibuat cerdas menyikapi obat selain memahami cara berobat yang benar.

Memberi obat murah bukan solusi. Hanya bila rakyat cerdas dan kritis dalam berobat, jamu nakal atau obat palsu tidak lagi mereka pilih. Bila permintaan berkurang, jamu nakal dan obat palsu gulung tikar. Demikian pula bila permintaan penyembuhan tak masuk akal medis makin tak dicari karena pasien sudah cerdas berobat.

Namun sayang, tayangan iklan obat, herbal, pengobatan alternatif di semua program televisi nasional kian membingungkan masyarakat bagaimana berobat yang benar. Tanpa diimbangi sosialisasi eloknya berobat, informasi menyesatkan itu berpotensi bikin rakyat tak lagi teguh hanya memilih obat, dan berobat yang rasional.

| Dr Handrawan Nadesul

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Kesehatan
  • MINDFUL EATING
    Alasan terutama untuk menjadi mindful adalah dengan menyadari bahwa tubuh ini adalah bait Allah yang perlu kita syukuri dan...
  • Demam Berdarah Bisa Dicegah
    Demam berdarah dengue (DBD) diberitakan berjangkit di sejumlah daerah sekarang ini. Penyakit ini buat kita dianggap jamak. Apakah memang...
  • Menunda Proses Menua
    Menua itu pasti, tetapi ilmu dan teknologi medis bisa menundanya. Berumur panjang itu pilihan, bukan menerima keadaan, melainkan memilih...
  • Nasib Kita Di Hadapan COVID
    Sekarang ini makin banyak orang gelisah, galau, khawatir, takut, dan fobia di tengah ingar bingar informasi yang “mis” maupun...