Mencari atau meminta nasihat dari orang yang bijaksana adalah sebuah cara belajar di sekolah kehidupan. Sepanjang hati kita terbuka untuk diberi pelajaran dan ada kesediaan untuk menguji cara pandang kita yang mungkin keliru dalam menilai sesuatu hal, maka sebuah nasihat sederhana bisa mencerahkan batin dan tak mudah dilupakan.
Setidaknya itulah salah satu kesimpulan awal yang saya tarik dari sebuah riwayat yang dituturkan oleh Qasim Mathar, dosen Universitas Negeri Makassar, saat memberikan siraman rohani di Kantor Biro Kompas Makassar belum lama ini. Sebagaimana dikutip oleh penulis Tajuk Rencana harian nasional tersebut, Pak Dosen menuturkan kisah berikut:
Diriwayatkan sebuah masa di zaman kejayaan Irak. Wilayah Irak ketika itu bukanlah seperti yang kita kenal sekarang, tetapi terbentang luas mulai dari Afrika hingga daratan Asia. Pada masa Irak dipimpin oleh Khalifah Harun Al Rashid, hidup pula seorang ulama besar bernama Shihab. Ulama itu begitu terkenal karena nasihat-nasihatnya yang mencerahkan dan memberi tuntunan hidup yang lurus.
Suatu hari, ulama Shihab dilaporkan singgah ke Kota Baghdad. Khalifah Harun Al Rashid sangat antusias untuk bisa bertemu ulama ternama itu. Secara khusus ia kemudian menjamu sang ulama untuk bersantap di istananya. Seusai jamuan makan, Khalifah Harun Al Rashid memohon ulama Shihab untuk memberikan nasihat kepada dirinya dalam memimpin Irak.
Sederhana saja cerita yang disampaikan sang ulama. Ia membawa sang khalifah berpetualang ke sebuah gurun yang kering dan tandus. Sinar matahari yang begitu terik dan panas membuat sang khalifah suatu saat kehausan dan membutuhkan betul air untuk bertahan hidup.
Sang ulama kemudian bertanya, kalau di depan khalifah tiba-tiba ada orang yang memberi segelas air, hadiah apa yang hendak diberikan khalifah kepada orang yang menyelamatkan hidupnya itu? Khalifah menjawab bahwa apa saja yang diminta orang itu akan ia penuhi.
“Apakah kalau orang itu meminta sebagian wilayah Irak, Khalifah akan penuhi?” tanya Shihab.
Sang khalifah menjawab lagi, apa pun permintaan-nya akan ia penuhi.
Kemudian sang ulama mengajak sang khalifah melanjutkan perjalanannya. Di tengah perjalanan, sang khalifah kemudian diperhadapkan kepada situasi yang sama ketika kehausan di tengah padang pasir. Kemudian datang lagi seseorang yang membawakannya segelas air.
“Apakah yang akan Khalifah hadiahkan kepada orang itu?” tanya sang ulama.
Khalifah menjawab, ia akan memberikan apa pun yang diminta orang yang menolongnya.
“Apakah kalau orang itu meminta setengah wilayah Irak yang masih tersisa akan juga Khalifah berikan?” tanya ulama lagi.
Sang khalifah menjawab, apa pun yang diminta akan diberikan.
Begitu sang khalifah menyelesaikan jawabannya, sang ulama segera mengatakan bahwa kekuasaan dan wilayah yang begitu luas yang dimiliki sang khalifah ternyata harganya tidak lebih dari dua gelas air. Oleh karena itu, ulama Shihab mengingatkan Khalifah Harun Al Rashid untuk tidak silau terhadap kekuasaan.
Kekuasaan itu ternyata bukanlah segala-galanya. Kekuasaan itu ternyata tidak pernah abadi. Dengan mudahnya kekuasaan itu bisa hilang dari tangan kita. Oleh karena itu, ketika berkuasa, pergunakanlah kekuasaan itu sebaik mungkin, sebijaksana mungkin. Pergunakan kekuasaan itu untuk membawa kebaikan dan manfaat bagi banyak orang. Jangan lupa, pada akhirnya kekuasaan yang didapatkan di dunia ini pasti akan dimintakan pertanggungjawabannya.
Berulang kali kita memang diingatkan pula tentang noblesse oblige. Bahwa kehormatan itu membawa tanggung jawab. [Sumber: Kompas, 22 November 2003; hlm. 4].
Bagi penulis Tajuk, riwayat di atas dijadikan pijakan untuk menyatakan keprihatinan atas cara-cara memperoleh kekuasaan dengan menggunakan kekuatan uang dan kekerasan. Juga atas perkembangbiakan praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang disinyalir makin gila-gilaan di tahun-tahun terakhir ini. Dan atas penjungkirbalikan nilai-nilai luhur yang berlaku di tengah masyarakat tentang kejujuran, kebaikan, kesabaran, kerukunan, dan kehormatan. Kekayaan menjadi tujuan hidup dan keserakahan mengubah yang salah menjadi benar, yang haram menjadi halal.
Namun, melampaui semua itu, penulis Tajuk mengajak kita semua untuk tetap memegang teguh keyakinan bahwa semua itu masih bisa diperbaiki. Kita tidak boleh apatis, putus asa, dan hanya diam berpangku tangan. Kita harus mengusahakan perbaikan, dari segala arah, untuk membangun kembali harkat dan martabat kita sebagai bangsa.
Dari kaca mata pembelajaran di sekolah kehidupan, riwayat di atas memberikan sedikitnya empat pelajaran berharga. Pertama, tentang kerendahan hati. Khalifah Harun Al Rashid memberikan contoh yang amat mengesankan dalam soal ini. Ia mendengar kabar tentang kedatangan ulama Shihab. Kabar tersebut melahirkan keinginan untuk bertemu. Ia menjamu sang ulama terkenal itu di istananya. Lalu ia memohon untuk dinasihati. Inisiatif untuk belajar datang dari sang khalifah.
Dengan lain perkataan, Khalifah Harun Al Rashid berada pada posisi “siap belajar”. Ia membuka diri, menyediakan hati dan pikirannya untuk disentuh melalui interaksi dengan hati dan pikiran manusia lain. Dan dengan kerendahan hati yang demikian, Khalifah Harun Al Rashid menunjukkan bahwa ia termasuk dalam kelompok manusia yang benar-benar efektif sebagaimana disebutkan oleh Stephen R. Covey dalam The Seven Habits of Highly Effetive People. Sang khalifah juga dapat menjadi model dari apa yang disebut oleh Sudarsono, penulis buku “Krisis di Mata Para Presiden”, pemimpin pembelajaran [a learning leader].
Pelajaran kedua adalah tentang pengetahuan diri. Khalifah Harun Al Rashid sadar bahwa dalam posisinya sebagai pemimpin sebuah negeri yang begitu besar, kebutuhannya bukan lagi soal makan-minum, tempat bernaung, pergaulan sosial, atau pun prestasi material-intelektual-sosial. Yang ia butuhkan adalah nasihat spiritual, yakni nasihat yang dapat menolongnya untuk dapat menyelaraskan sikap dan perilakunya sesuai nilai-nilai luhur yang telah tertanam dalam dirinya dan dalam masyarakat yang dipimpinnya. Ia memerlukan nasihat yang mengasah kecerdasan spiritualnya. Dan darimana lagi nasihat semacam itu dapat diperoleh kalau bukan dari ulama sekaliber Shihab?
Pelajaran ketiga adalah tentang cara memberikan nasihat yang menyentuh hati, khususnya kepada orang dewasa. Pendekatan yang dilakukan ulama Shihab adalah cerita, perumpamaan, metafora. Ini adalah pendekatan penyadaran. Ia tidak mengutip hasil-hasil penelitian yang merupakan produk ilmu pengetahuan. Ulama Shihab juga tidak menggunakan pengalaman pribadinya sebagai rujukan. Lewat cerita yang sederhana, ia membawa sang khalifah kepada kesadaran tentang sifat kekuasaan yang sementara, tidak kekal, tidak abadi.
Pendekatan ini memancing refleksi dan tidak bersifat menggurui. Pendekatan yang digunakan oleh ulama Shihab ini mengukuhkan pandangan bahwa orang mungkin menolak kebenaran, tetapi orang tidak akan menolak cerita. Suatu pendekatan yang tidak saja efektif, tetapi juga inspiratif.
Pelajaran keempat adalah nasihat orang bijak berumur lebih panjang dari si pemberi nasihat itu sendiri. Sebab nasihat orang bijak bersandarkan pada prinsip-prinsip universal, sunnatullah, hukum alam, dan kebenaran sejati. Sementara nasihat “orang pintar” berangkat dari kepentingan diri atau kepentingan kelompoknya saja.
Salam pembelajar mahardika.
Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.