Di sekolah kehidupan saya menemukan bahwa kemampuan memanajemeni suasana hati merupakan suatu hal yang amat penting untuk bisa mempertahankan sukacita dalam tugas dan pekerjaan. Ia bertalian dengan kemampuan mengendalikan diri, menjaga hati agar tidak dirusak oleh gangguan atau godaan dari luar. Ia berkaitan dengan apa yang mungkin bisa disebut sebagai kebugaran emosi (emotional fitness).
Orang yang terlatih dan memiliki kebugaran emosi, menunjukkan kemampuan mengelola suasana hati atau mood-nya, sehingga tidak bisa dirusak oleh serangan dari luar. Ia bisa tetap tenang, ketika mendapatkan perlakuan kasar bahkan melecehkan dari pelanggan atau atasan atau pihak lainnya.
Itulah inspirasi yang muncul di benak saya ketika seorang kawan mengirimkan surat elektronik yang memuat cerita tentang ”Pegawai Hotel yang Sabar” berikut ini:
Beberapa waktu yang lalu di meja pemesanan kamar sebuah hotel, saya melihat suatu kejadian yang luar biasa tentang bagaimana seorang resepsionis menghadapi tamu yang emosional. Saat itu sekitar pukul lima sore, dan hotel dalam keadaan sibuk mendaftarkan tamu-tamu yang baru check-in. Orang di depan saya memberikan namanya kepada pegawai di belakang meja reception dengan nada memerintah.
Resepsionis itu berkata, ”Ya, Tuan, kami sediakan satu kamar single untuk Anda”.
”Single,” bentak orang itu, ”Saya memesan double”.
Resepsionis tersebut berkata dengan sopan, “Coba saya periksa sebentar.”
Ia menarik permintaan pesanan tamu dari arsip dan berkata, “Maaf, Tuan. Telegram Anda menyebutkan single. Saya akan senang sekali menempatkan Anda di kamar double, kalau memang ada. Tetapi semua kamar double sudah penuh.”
Tamu yang berang itu berkata, ”Saya tidak peduli apa bunyi kertas itu, saya mau kamar double.”
Kemudian ia mulai bersikap Anda-Tahu-Siapa-Saya, seraya memberikan ancaman, ”Saya akan usahakan agar Anda dipecat. Anda lihat nanti. Saya akan buat Anda dipecat.”
Di bawah serangan kata-kata kasar semacam itu, resepsionis muda tersebut menyela, ”Tuan, kami menyesal sekali, tetapi kami bertindak berdasarkan instruksi Anda.”
Akhirnya, sang tamu yang benar-benar marah itu berkata, ”Saya tidak akan mau tinggal di kamar yang terbagus di hotel ini sekarang. Manajemennya benar-benar buruk,” dan ia pun keluar.
Saya menghampiri meja penerimaan sambil berpikir si resepsionis pasti marah atas perlakuan yang baru dialaminya. Namun yang terjadi sebaliknya. Resepsionis itu menyambut dengan salam yang ramah sekali, ”Selamat malam, Tuan.”
Ketika ia mengerjakan hal yang rutin dalam mengatur persiapan kamar pesanan saya, saya tak bisa menahan diri untuk berkata, ”Saya mengagumi cara Anda mengendalikan diri tadi. Anda benar-benar sabar.”
”Ya, Tuan,” katanya, ”Saya tidak dapat marah kepada orang seperti itu. Anda lihat, ia sebenarnya bukan marah kepada saya. Saya cuma korban pelampiasan kemarahannya. Orang malang tadi mungkin baru saja ribut dengan istrinya, atau bisnisnya sedang lesu, atau barangkali ia merasa rendah diri, dan hal tadi adalah peluang emasnya untuk melampiaskan kekesalannya.”
Resepsionis tadi menambahkan, ”Pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.” Sambil melangkah menuju lift, saya mengulang-ulang perkataan resepsionis tadi, ”Pada dasarnya ia mungkin orang yang sangat baik. Kebanyakan orang begitu.”(Pesan saya: Ingat dua kalimat itu kalau ada orang yang menyatakan perang pada Anda. Jangan membalas. Cara untuk menang dalam situasi seperti ini adalah membiarkan orang tersebut melepaskan amarahnya, dan kemudian lupakan saja.)
Apa yang dilakukan oleh resepsionis dalam kasus di atas memang amat mengesankan. Ia memiliki kemampuan memanajemeni suasana hatinya, sehingga perlakuan kasar seorang tamu tidak merusak pelayanannya kepada tamu berikutnya. Ia berada dalam keadaan bugar secara emosional, sehingga menunjukkan kinerja yang baik.
Pertanyaannya adalah BAGAIMANA resepsionis tersebut bisa menanggapi perlakuan kasar tamunya secara demikian? Dengan menyimak cerita tersebut secara saksama, saya mencoba menarik sebanyak mungkin pelajaran dari surat tersebut. Dan inilah yang saya temukan.
Pertama, resepsionis tersebut telah membiasakan diri untuk memegang asumsi bahwa ”kebanyakan orang pada dasarnya baik”. Asumsi yang dipegangnya ini menolong ia untuk berbaik sangka, mencoba mengerti posisi tamunya yang emosional. Sang tamu mungkin baru ribut dengan istrinya, atau bisnisnya bangkrut, atau ia over acting karena sesungguhnya merasa rendah diri. Dengan mekanisme berpikir seperti itu, maka resepsionis tadi dapat menjaga sikap profesionalnya dalam memberikan pelayanan. Tentu akan sangat kontras jika asumsi yang dipegangnya adalah ”kebanyakan orang pada dasarnya brengsek”.
Kedua, ia terlatih untuk menggunakan kata-kata yang menunjukkan perhatian, pengertian, sekaligus ketegasan dalam keramahan. ”Selamat malam”, ”Maaf, Tuan”, ”Saya akan senang sekali bila”, ”Kami menyesal sekali”, adalah contoh kata-kata yang sebenarnya ”standar” dalam pelayanan profesional. Jadi, ia tidak bereaksi berdasarkan suasana hatinya, tetapi berdasarkan kebiasaan menggunakan kata-kata yang baik. Kata-katanya sendiri akan meredam gejolak hatinya. Ia terlatih untuk tetap mengatakan sejumlah hal dalam situasi-situasi yang sulit semacam itu. Nada suara, postur tubuh, ekspresi wajah, dan pilihan kata-katanya akan mempengaruhi tidak saja lawan bicaranya, tetapi dirinya sendiri juga.
Ketiga, ia terlatih mengikuti prosedur standar dalam pelayanan, yakni bertindak berdasarkan informasi yang akurat. Jika ada keraguan, maka ia melakukan pemeriksaan ulang. Ia mengambil dan menunjukkan copy telegram dari sang tamu, dan dengan demikian ia tidak perlu berdebat panjang lebar. Ia juga dibantu oleh komputer yang menunjukkan data mengenai jumlah kamar yang sudah terpesan. Atas dasar semua data tersebut, ia memberikan informasi yang tepat kepada tamu yang sedang dilayaninya. Dengan kata lain, ia didukung oleh sistem informasi – termasuk soal pengarsipan pemesanan kamar via telegram, fax, surat elektronik, dan lainnya – yang baik. Akan sangat berbeda halnya, jika resepsionis tersebut tidak menunjukkan copy telegram dari tamunya. Mereka mungkin terjebak dalam perdebatan yang tak berujung.
Keempat, ia tidak menganggap sikap tamunya sebagai sesuatu yang bersifat menyerang pribadinya. Apa yang dilakukannya adalah tanggung jawab pekerjaaan, dan ia berusaha mengerjakan tugasnya sebaik mungkin. Jika ia sudah melakukan hal terbaik yang bisa dilakukannya, tapi tamunya tidak bisa menerima hal itu, maka ia sudah bebas dari tanggung jawabnya.
Melalui uraian singkat di atas saya ingin menegaskan bahwa kemampuan mengelola suasana hati bukanlah suatu sifat bawaan lahir. Ia merupakan hasil dari sebuah proses pembelajaran. Kita bisa belajar mengelola suasana hati kita dengan pertama-tama belajar menyadari asumsi-asumsi yang kita pegang dalam suatu interaksi dengan orang lain. Kita juga bisa belajar untuk mengucapkan kata-kata yang menenangkan hati kita dan menunjukkan pengertian kepada lawan bicara kita. Cara mengucapkan, intonasi dan kecepatan bicara juga bisa dilatih sampai fasih dan tidak menimbulkan kesalahpahaman. Dan jika ditopang oleh sistem informasi yang akurat, maka orang-orang yang bekerja di bagian pelayanan pelanggan, pusat pengaduan pelanggan, teller bank, para wiraniaga, dan siapa saja yang tugasnya selalu bersinggungan dengan pelanggan, bisa mengaplikasikan hal-hal tersebut di atas sesuai konteks masing-masing. Bahkan lebih dari itu, siapa saja yang merasa sukar untuk mengelola suasana hatinya, bisa mencoba melakukan hal yang sama.
Salam pembelajar mahardika!
Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com
1 Comment
jati nura
April 15, 2011 - 7:59 amsangat bagus…sekali… tampilkan lagi yang semisal ini…