Mereka Juga Mau Membaca

Perjalanan Membuka Puluhan Taman Baca di Lampung Barat

Belum ada komentar 46 Views

Saya sampai di gereja pagi itu, tanggal 27 Desember, sekitar pk. 06.30, dan bertemu dengan Pnt. Sujarwo dan istri yang mengantar Khrisna (anak mereka) untuk bersama pergi ke Lampung Barat. Selang beberapa saat, dua mobil Katana 4×4 berwarna biru tua dan merah masuk ke parkiran belakang gereja. “Ah, ini pasti kak Ester Jusuf,” ujar Pak Jarwo menebak. Betul saja, Kak Ester Jusuf dan Kak Budi turun dari mobil. Tak hanya berdua, kedua anak mereka pun ikut: Apin dan Erick. Jadi, total ada enam orang yang ikut dalam perjalanan ini dengan dua mobil.

Setelah memastikan semua siap dan tak ada barang yang tertinggal, kami berdoa bersama dan segera berangkat sekitar pk. 07.15. Selama perjalanan menuju pelabuhan penyeberangan Merak, kami berbincang-bincang dalam satu mobil—saya, Khrisna (14), Erick (12) dan Apin (7). “Kak, kita bakal sampe di Lampung jam berapa ya?” tanya Apin yang duduk di sebelah saya. “Hmm, kalo perjalanan lancar sih kemungkinan sebelum jam 20.00 kita udah sampe, Pin.,” jawab saya seadanya. “Sudah, kita nikmati aja ya…” Pagi itu hari cukup cerah di awal perjalanan, namun berubah hujan cukup deras dalam perjalanan di tol. Namun syukurlah, mendekati pelabuhan Merak, langit kembali tersenyum cerah.

“Kak, buku yang mau kita bagi-bagi di sana udah sampe belum ya?” tanya Khrisna penasaran.

“Harusnya udah sih ya, karna kan kemarin pagi truknya udah berangkat tuh.”

Ya, sehari sebelumnya kak Ester mengabari kami kalau satu truk penuh berisi buku sudah diberangkatkan menuju Lampung Barat. Buku-buku tersebut dikumpulkan kak Ester dari para sahabat yang punya panggilan yang sama untuk memajukan Indonesia melalui buku bacaan bagi anak-anak. Mereka memercayakan buku-buku itu untuk dibagikan oleh kak Ester ke daerah-daerah yang anak-anaknya minim akses untuk membaca.

Lampung Barat adalah salah satu dari sekian banyak daerah yang sebelumnya telah digarap oleh Kak Ester dan Kak Budi. Namun kali ini agak berbeda. Jika sebelumnya Kak Ester atau Kak Budi datang ke satu daerah dan membuka Taman Bacaan di sana, Taman Bacaan di Lampung lahir dari inisiatif anak daerah mereka bernama Dona.

Dona adalah seorang pemuda (32) dari daerah tersebut yang memiliki kegelisahan terhadap kondisi daerahnya. Ia merasa bahwa ‘panggung intelektual’ di Lampung Barat tidak banyak digarap, tidak banyak orang yang merasa bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan untuk memperbaiki kehidupan. Karena itu ia mengumpulkan beberapa temannya yang juga memiliki kegelisahan yang sama, dan mereka pun membuat komunitas membaca. Dalam komunitas itu, mereka bertukar buku dan berdiskusi bersama soal buku yang mereka baca. Komunitas ini berkembang, hingga satu kali mereka membuat acara bersama, salah satunya adalah lomba menulis.

Melihat bagaimana masyarakat—khususnya pemuda setempat—merespons acara ini dengan mengirimkan karya tulis mereka, Bupati pun memberikan perhatian. Seusai acara itu diselenggarakan, “Kabupaten Literasi” menjadi tujuan bersama. Mimpi mereka adalah membuka ratusan Taman Bacaan bagi anak-anak. Namun permasalahannya, dari mana mereka harus mendapatkan buku? Di awal gerakannya, mereka hanya mampu mengumpulkan buku dari para anggota komunitas baca. Tentu buku pun terbatas, terutama buku bacaan bagi anak. Dibutuhkan ratusan, bahkan ribuan buku untuk mewujudkan mimpi besar mereka. Pada saat itulah Dona menghubungi Kak Ester untuk meminta bantuan penyediaan buku.

Perjalanan menuju Lampung Barat tergolong lancar. Walaupun dari perkiraan kami bisa tiba di lokasi pk. 20.00, ternyata meleset cukup jauh, sehingga kami sampai sekitar pk. 01.30 dini hari. Cukup melelahkan, tapi tampaknya anak-anak ini masih bersemangat, mereka masih bisa bercanda gurau begitu tiba di rumah salah satu warga. Ya, kami tinggal di salah satu rumah warga setempat untuk empat hari ke depan.

“Udah, ayo tidur. Besok pagi kita harus bongkar dan sortir buku satu truk penuh,” kata Kak Ester dari ambang pintu kamar.

Tak lama, kami pun terlelap…

Sekitar pk. 09.00 pagi, kami terbangun. Hari begitu cerah, memberikan suntikan semangat untuk menjalani hari itu. Segera kami bersiap-siap, dan berjalan ke rumah Dona yang hanya berjarak tiga rumah dari tempat kami tinggal. Di sana kami disambut dengan sarapan yang dibuatkan oleh istri dan mertua Dona.

Pada saat sarapan itu, Dona menceritakan mimpinya dengan teman-teman seperjuangannya untuk membangun ratusan Taman Baca. Mereka menyebutnya, Lamban Baca (dalam bahasa Lampung, lamban artinya ‘rumah’). Tampak raut semangat dan optimisme di wajah Dona. Satu truk penuh berisi buku menjadi suntikan semangat baginya, secercah cahaya harapan bahwa apa yang mereka impikan dapat terwujud berkat adanya bantuan buku yang diberikan.

Tak berlama-lama, kami pun memulai perjalanan ke salah satu Lamban Baca ‘mula-mula’. Di Lamban Baca inilah buku yang dibawa dari Jakarta diturunkan. Kedatangan kami tampaknya sudah ditunggu oleh para pengurus Lamban Baca lain. Jadi, Lamban Baca yang dibuka dan tersebar sejauh ini dibuka di rumah-rumah warga yang secara sukarela menyediakan sebagian rumah mereka untuk digunakan menyimpan buku dan menjadi tempat baca bagi para pengunjung.

Jika dipikir-pikir, merelakan sebagian ruang rumah menjadi Lamban Baca yang diakses oleh umum bukanlah hal yang menguntungkan. Mereka harus mau repot meluangkan waktu secara konsisten membuka Lamban Baca setiap hari, membersihkan dan merapikannya. Bukannya kapok, mereka malah menularkan semangat itu kepada tetangga mereka di RT lain untuk mau melakukan hal yang sama, merelakan rumah mereka untuk dipakai sebagai Lamban Baca. Wah, bagi saya ini hal yang menarik. Hal ini juga menjadi bukti bahwa kerinduan agar anak-anak di daerah ini dapat mengakses buku tidak saja dimiliki oleh Dona dan rekan komunitasnya, tapi juga warga setempat.

Di hari pertama, setelah berbincang-bincang dengan sekitar 15-an orang pengurus Lamban Baca, kami bersama-sama membongkar dus-dus berisi buku, menyortirnya sesuai kategori, dan mengelompokkan serta membaginya menjadi paket-paket yang siap dibagikan ke Lamban Baca yang sudah ada, juga untuk Lamban Baca baru yang keesokan hari akan dibuka.

Walaupun sudah dibantu belasan orang, namun menyortir dan merapikan buku sebanyak itu tidak bisa rampung dalam satu hari. Keesokan harinya kami masih harus melanjutkan menyortir buku dan mengelompokkannya. Untuk menghemat waktu, kami membagi diri. Sebagian bertugas di base camp melanjutkan proses penyortiran buku, sementara sebagian lainnya berkeliling untuk membagikan sebagian paket buku yang sudah dipersiapkan.

Dari sejumlah Lamban Baca yang kami sambangi untuk membagikan buku, ada satu Lamban Baca yang menarik bagi saya. Lamban Baca ini dikelola oleh seorang guru ngaji. Saat itu kami baru bisa menyambangi Lamban Baca ini sekitar pk. 19.00 malam. Jarak yang ditempuh tak seberapa jauh, hanya saja akses jalan yang relatif sulit dengan jalan sempit dan nihilnya pencahayaan jalan memberikan tantangan tersendiri bagi kami. Agak mengerikan jalannya, namun itu semua sirna ketika kami sampai di tempat guru ngaji ini. Anak-anak beserta beberapa orangtua sudah berkumpul dan siap menyambut kedatangan kami, bahkan mereka sudah bergotong royong menyiapkan hidangan makan malam sedari sore. Wah, sambutan yang luar biasa.

Pak Ustad bercerita bagaimana anak-anak di tempatnya sangat suka membaca buku yang ada di situ walaupun sangat terbatas jumlahnya. Baginya, selain membekali anak-anak itu dengan ajaran agama, ia juga merasa bertugas menumbuhkan semangat baca anak-anak didiknya agar kelak mereka bisa memiliki masa depan yang lebih baik.

Perjalanan belum usai, masih banyak buku yang harus didistribusikan, dan kami pun melanjutkan perjalanan keesokan harinya setelah sarapan bersama. Hari ini targetnya adalah lima Lamban Baca yang ditambah stok bukunya, dan delapan pembukaan Lamban Baca baru. Cukup banyak targetnya, maka harus sedini mungkin kami berangkat. Kami berangkat dengan dua mobil, satu Katana dan satu Avanza, keduanya berisi penuh paket-paket buku yang sudah dipersiapkan. Perjalanan dimulai dengan berjalan melewati jalanan aspal yang lebar, masuk ke persimpangan yang kontur jalannya mulai berubah, melewati pemukiman, pedesaan, persawahan, kebun kopi, hingga kami tiba di salah satu lokasi pembukaan Lamban Baca.

Ketika kami parkir mobil, anak-anak mulai berdatangan. Tampaknya sudah tersebar berita bahwa akan dibuka Lamban Baca di dekat rumah mereka. Kami menurunkan buku, berbincang dengan pemilik rumah, memasang spanduk, serta membuka kardus yang penuh dengan buku bacaan anak dan majalah pertanian bagi orang dewasa. Anak-anak begitu girang ketika melihat buku yang datang. Ada yang langsung mengambil novel, komik, ada yang bermain puzzle dan sebagainya. Bahkan, majalah anak yang terbit tahun 2000 pun menjadi rebutan—yang sudah usang bagi kita, sesuatu yang segar bagi mereka. Semoga akses membaca yang sudah dibukakan ini bisa terus memupuk semangat mereka membaca hingga mereka merasa bahwa membaca adalah sebuah kebutuhan.

Kegembiraan dan kegirangan di wajah mereka sulit dirangkum dengan kata-kata. Tampak sekali mereka bergairah melihat buku-buku itu. Bagaimana tidak, mereka adalah anak-anak dari latar belakang ekonomi bawah. Kalaupun mereka punya uang, akses untuk membeli buku tidaklah mudah. Toko buku semacam Gramedia hanya berada di Bandar Lampung, sekitar 5 jam perjalanan darat, tentu tidak semua orang bisa mengaksesnya.

Tak hanya anak-anak yang tampak gembira dengan adanya Lamban Baca, seorang kakek tampak asyik dan betah membaca sebuah buku berjudul “Sehari di Taman Surga”. Entah itu buku apa, namun ketika kami menyortir buku-buku itu, kami mencoba menjaga sebaik mungkin agar tidak ada buku bernuansa kekristenan yang masuk di dalamnya. Tentu kami tidak ingin niat tulus memberi akses kepada anak-anak untuk membaca justru dicurigai sebagai upaya kristenisasi.

Ya, sebelum kami berangkat ke Lampung Barat, terlebih dahulu kami bersama menyepakati bahwa perjalanan ini tidak mengandung upaya kristenisasi di dalamnya. Meneladani kasih Yesus bukan sebatas upaya mengonversi agama orang lain menjadi Kristen. Mengupayakan keadilan, memerhatikan mereka yang terpinggirkan, menjadi panggilan kita bersama dalam upaya meneladani Yesus Kristus, Tuhan kita.

Membuka Lamban Baca hanyalah salah satu jalan dari begitu banyak jalan yang bisa kita lalui untuk melayani sesama kita. GKI Pondok Indah punya sumber daya yang begitu besar untuk makin mengembangkan pelayanan ke luar gedung gereja. Ada banyak anggota jemaat dan simpatisan dengan beragam latar belakang pendidikan maupun profesi yang mau dan mampu mendukung pengembangan diakonia gereja. Maka dari itu, mari bersama bersehati, bergandengan tangan untuk mendukung dan berpartisipasi aktif dalam pelayanan-pelayanan diakonia di GKI Pondok Indah. Tuhan memberkati kita, perpanjangan tangan-Nya.

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Antar Kita
  • WEEKEND PASUTRI
    WEP adalah singkatan dari Weekend Pasangan Suami Istri, suatu program belajar bersama selama 3 hari 2 malam untuk pasangan...
  • GKI ORCHESTRA: Kidung Pengharapan
    Sekilas tentang GKI Orchestra GKI Orchestra merupakan ruang bagi remaja-pemuda dari seluruh GKI untuk memberikan talenta dan kerinduannya dalam...
  • Mata Air Kasih-Nya
    Yesus adalah Raja, ya benar, tetapi Ia berbeda dari raja yang lain. Sebuah Kerajaan, memiliki bendera, apapun modelnya, bahkan...
  • BELAJAR MELAYANI SEDARI KECIL
    Ibadah Anak/Sekolah Minggu sudah selesai, tapi masih banyak Adik adik Sekolah Minggu yang belum beranjak meninggalkan sekolah Tirta Marta...