Merah Putih di Mana-mana

Merah Putih di Mana-mana

Belum ada komentar 147 Views

1

Sebagai calon pendeta (dahulu disebut sebagai “Tua-tua Khusus”) di kota Klaten saya menempati pastori, yang adalah sebuah rumah kontrakan. Ia agak terlalu kecil untuk ditempati sebuah keluarga dengan anak-anak. Namun berhubung waktu itu saya masih membujang rumah dengan dua kamar tidur kecil-kecil itu cukup lapang dan nyaman bagi saya. Lagipula halamannya cukup luas dan kira-kira di tengahnya berdiri sebuah tiang bendera.


Pertengahan Juli di tahun pelayanan pertama, tahun 1981, saya keluar masuk toko mencari bendera untuk saya kibarkan di halaman pastori. Ternyata tidak mudah mendapatkannya di kota sekecil Klaten. Apalagi pada waktu itu penjual bendera memang tidak semarak sekarang, terutama bila dibandingkan dengan di Jakarta. Namun akhirnya saya mendapatkannya di sebuah toko yang menjual perlengkapan sekolah dan pramuka.

Sementara mencari bendera itu, muncul gagasan untuk mengadakan kebaktian khusus merayakan kemerdekaan Indonesia. Tidakkah menyadarkan warga jemaat tentang tugas panggilannya sebagai warga negara adalah salah satu tujuan dari pembinaan warga gereja? Sayang usulan saya tidak diterima oleh Majelis Jemaat, karena menurut sebagian besar dari anggotanya urusan kebangsaan dan kenegaraan bukanlah urusan gereja.

“Coba Anda bayangkan Purboyo… Apakah kita lalu harus menyanyikan “Indonesia Raya” dalam kebaktian… dan mengibarkan bendera di gedung gereja…?” ujar seorang penatua.

“Mengapa tidak…?” tanya saya penasaran yang disambut dengan senyum penuh arti yang makna utamanya adalah ketidaksetujuan.


Keesokan harinya saya bertemu di jalan dengan pendeta Gereja Jawa bersama istrinya. Keduanya adalah kakak kelas saya tiga tahun di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta. Di antara obrolan kami yang seru terutama yang menyangkut masa kuliah, sempat saya ceritakan gagasan kebaktian merayakan kemerdekaan Republik Indonesia itu.

“Beberapa tahun yang lalu gereja-gereja Klaten, termasuk Gereja Katolik, pernah berencana menyelenggarakannya. Tetapi entah mengapa rencana itu tidak terlaksana…”

“Bagaimana kalau kita hidupkan lagi rencana itu…?” seru saya penuh harapan.

“Coba aku jajagi bersama rekan-rekan yang lain. Kalau jadi kamu mau turut dalam kepanitiaannya kan?”

“Beres…!”

Harapan saya tidak sia-sia. Praktis semua pendeta bersama jemaat mereka di kota Klaten dan sekitarnya, termasuk para pastor Katolik, bersedia berpartisipasi dalam kebaktian bersama merayakan kemerdekaan Indonesia. Majelis Jemaat Klaten syukur menyetujui keikutsertaan GKI Klaten dalam kebaktian itu. Kebaktian yang amat berkesan, setidaknya bagi saya.

Agar tidak mengganggu acara masing-masing anggota jemaat, kebaktian diadakan pada tanggal 18 Agustus sore. Penyelenggaraannya dilakukan di gedung gereja yang paling besar di Klaten, di gedung gereja Katolik. Di samping kanan altar berdiri sebuah payung kencana, lambang pengayoman dalam tradisi Jawa. Dan di samping kiri altar berkibar sang Merah Putih.


2

Memasuki pelayanan di kota Malang di awal tahun 1984, saya mendapati bahwa tradisi merayakan kemerdekaan Indonesia dalam kebaktian tidak hanya dilakukan bersama oleh gereja-gereja di kota Malang, tetapi juga secara tersendiri oleh jemaat. Walau yang terakhir ini tidak selalu berjalan mulus. Masih segar dalam ingatan saya perdebatan sengit dalam rapat Majelis Jemaat mengenai menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

“Menurut hemat saya sangatlah tidak tepat bila ‘Indonesia Raya’ dinyanyikan dalam kebaktian!”

“Mengapa? Bisakah Ibu memberikan alasannya?”

“Tidakkah hal itu seharusnya amat jelas? Dalam kebaktian kita menyanyikan lagu-lagu rohani, lagu-lagu yang mendekatkan kita dengan Tuhan.”

“Pak, tidakkah lagu-lagu itu selain mendekatkan kita dengan Tuhan, juga lalu menggugah kita untuk menaati-Nya?”

“Tentu saja. Tetapi saya tetap tidak melihat relevansi dinyanyikannya “Indonesia Raya” dalam ibadah kita di jemaat ini!”

“Tidakkah tugas panggilan kita sebagai anak Tuhan mencakupi juga kewajiban kita terhadap bangsa dan negara?”

“Maaf… saya tetap berpendapat bahwa sangatlah tidak tepat bila ‘Indonesia Raya’ dinyanyikan dalam kebaktian!”

Itulah kira-kira jiwa dari perdebatan yang berlangsung cukup sengit dan cukup lama. Akhirnya terjadilah kesepakatan: “Indonesia Raya” dinyanyikan setelah jemaat menyanyikan “Haleluya – Amin” seusai pengutusan dan berkat. Jadi di luar liturgi atau setelah kebaktian.

Dan sang Merah Putih? Ia berkibar dengan megahnya, walau dalam kesendirian, di halaman gereja.


3

Agustus 1987 bulan pertama tiba di Belanda, kami berlima, Pdt. Lazarus, Wati istrinya, Disti putrinya, Elisabeth dan saya pergi ke kota Wasenaar. Kami hendak menghadiri upacara Peringatan Kemerdekaan Indonesia di halaman kediaman resmi Duta Besar RI di Kerajaan Belanda. Sebulan di negara yang asing, sulit berkomunikasi karena bahasa, dan suasana sekitar yang amat berbeda dibandingkan dengan di lingkungan kami sebelumnya di Indonesia, membuat kami sangat rindu pada Indonesia. Kami membayangkan bahwa kami akan bertemu dengan ribuan orang. Karena menurut keterangan yang kami dapat di Belanda tinggal belasan ribu orang asal Indonesia.

Upacara dimulai terlambat lebih daripada satu jam, terutama karena Bapak Duta Besar yang tinggal di situ terlambat muncul. Yang hadir saat itu sekitar dua ratus orang. Dan kami perhatikan betapa mereka mengikuti upacara dengan setengah hati. Sebagian besar dari mereka memang harus mengikutinya karena merupakan keluarga dari staf kedutaan.

Seusai upacara dan sambutan-sambutan dimulailah acara ramah-tamah lengkap dengan musik dan makanan Indonesia yang limpah-ruah. Dan tahu-tahu halaman rumah Duta Besar yang amat luas itu menjadi penuh sesak. Menurut perkiraan kami saat itu sudah hadir sekitar tiga hingga empat ratus orang, mungkin lebih. Rupanya mereka sengaja menghindari upacara, dan mementingkan acara ramah-tamah.

Di tengah hiruk-pikuk orang-orang Indonesia yang sibuk makan, merokok kretek, bersenda-gurau dalam bahasa daerah, bahasa Belanda dan bahasa Indonesia, berdiri sebuah tiang bendera menjulang tinggi. Di atasnya berkibar dengan megah sang Merah Putih. Bagaimanapun sejuk juga hati kami melihatnya.


4

Di jemaat GKI Pondok Indah, kebaktian merayakan Kemerdekaan Indonesia yang pertama saya ikuti di tahun 2002 sangatlah berkesan. Karena hal itu adalah yang pertama saya hadiri di Indonesia sejak meninggalkan tanah air di tahun 1987. Saya memperhatikan betapa kapan dan di mana lagu “Indonesia Raya” dinyanyikan tidak lagi dipersoalkan secara naif dengan mengatakan bahwa ia bukanlah lagu rohani. Sang Merah Putih juga senantiasa hadir, walau tidak mesti dalam bentuk sebuah bendera.

Ini menyejukkan hati. Terutama membaca berita di koran betapa banyak orang Indonesia tahun ini yang entah mengapa enggan mengibarkan sang Merah Putih di halaman rumahnya. Ini tentu memprihatinkan (atau menurut Harian Kompas: ‘memrihatinkan’). Sehingga ada pejabat pemerintahan daerah yang mengancam warganya dengan denda bila tidak mengibarkan bendera. Dan ini lebih menyedihkan lagi. Haruskah kecintaan pada bangsa dan negara sendiri dipaksa seperti itu?

Kembali ke kebaktian merayakan Kemerdekaan Indonesia di tahun 2002 itu, saya ingat bahwa yang hadir hampir memenuhi gedung gereja kita (di bawah). Namun di bulan Agustus tahun 2006 ini, yang hadir dalam kebaktian merayakan Kemerdekaan Indonesia di jemaat kita hanya sekitar separuhnya. Ke manakah yang separuh lagi? Mungkin karena akhir minggu panjang ditambah libur Isra’ Mi’raj. Tetapi jangan-jangan mereka enggan hadir seperti orang-orang yang enggan mengibarkan sang Merah Putih di halaman rumah mereka.

Memang, yang penting adalah bahwa sang Merah Putih senantiasa berkibar di hati kita. Tetapi, begitu sulitkah mengibarkannya setahun sekali di halaman rumah, di lingkungan RT/RW atau di gereja kita?


5

Merdeka…!?

 

 

Pdt. Purboyo W. Susilaradeya

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Refleksi
  • SLOW LIVING
    Setelah purna tugas, saya kadang-kadang merindukan suasana pedesaan seperti kehidupan masa kecil saya. Hidup tenang, sepi, tidak ada yang...
  • Apakah Aku Domba Yang Baik?
    sebuah refleksi diri setelah lama mengikuti Sang Gembala Yang Baik
    Gembala Yang Baik “Akulah gembala yang baik. Gembala yang baik memberikan nyawanya bagi domba dombanya,” adalah ungkapan Yesus yang...
  • SESAMI vs LIYAN
    Sesami dan liyan. Sesami, yang saya bahas di dalam tulisan ini, tidak ada hubungannya dengan wijen, tetapi masalah sesama...
  • LEGACY
    Sebagai bangsa Indonesia, sejarah mencatat bahwa para pemimpin bangsa meninggalkan legacy atau warisan kepada generasi setelah mereka. Tidak usah...
  • Seribu Waktu
    Seribu Waktu
    Entah, kenapa terlintas di benakku banyak hal tentang waktu. Karena banyaknya, kusebut saja seribu … padahal satu pun tak...