Apakah hal yang paling suka diperbincangkan oleh banyak orang dalam kehidupan sehari-hari? Salah satu jawaban mungkin ini: gosip. Gosip enak diperbincangkan karena menyangkut hal-hal detail tertentu tentang orang lain yang tidak jelas asal usulnya. Kenikmatan bergosip ria justru terletak pada ketidakjelasan sumber dan kebenaran dari hal ihwal yang diperbincangkan, sehingga semua pihak yang memperbincangkannya merasa berhak menambahkan bumbu-bumbu penyedap semaunya sendiri.
Dimulai dengan kata-kata seperti ”Sssst! Sudah tahu belum, si Anu …”, atau ”Eh, katanya si Jadul sekarang …”, atau yang semacam itu, gosip kemudian menyebar dengan kecepatan yang sering kali mengagumkan. Dibantu dengan teknologi komunikasi, terutama telepon genggam dan internet, setiap hari berbagai isu yang tak jelas asal usulnya berseliweran di sekitar kita melalui layanan pesan singkat dan surat-surat elektronik. Jumlah layanan pesan singkat yang beredar setiap hari disinyalir lebih dari 80 juta pesan (data awal tahun 2005), sementara surat elektronik tak terlalu jelas datanya. Lalu berapa persenkah dari pesan-pesan dan surat-surat elektronik itu yang berisi gosip? Entahlah.
Hal ihwal yang digosipkan orang juga bisa sangat variatif. Mulai dari soal-soal yang bernuansa politik (”Eh, katanya Pres sudah tidak percaya lagi sama Wapres, karena …..”); ekonomi (”Sekarang ini perekonomian dikuasai kelompok BBM, alias Bukaka Bakrie Medco …”); sampai ke soal-soal yang bersifat pribadi (”Ternyata, Si Poni itu simpenannya pengusaha kaya …”, ”Nggak nyangka ya, Si Enong tega berbuat serong dengan …”). Dengan kata lain, tema perbincangan amatlah luas dan nyaris tanpa batas yang bisa didefinisikan secara tegas.
Pelaku gosip juga tidak bersifat eksklusif. Gosip digemari berbagai lapisan sosial dalam masyarakat, tanpa diskriminasi jender, mulai usia remaja sampai tua bangka, dan tak dibatasi oleh letak geografis wilayah tertentu saja. Tidak heran jika tempat bergosip ria bisa ditemukan di mana saja orang sering berkumpul, baik di tempat antar jemput anak sekolah, warung makan pinggir jalan, restoran mahal, pusat-pusat pembelanjaan, pusat-pusat kebugaran, salon-salon kecantikan, tempat arisan, sampai ke tempat-tempat ibadah, semuanya bisa dimanfaatkan menjadi ajang pergosipan.
Bahwa gosip telah menjadi bagian dari hidup kita sehari-hari, makin dipertegas oleh eksisnya acara-acara gosip yang mengutak-atik kisah-kisah kaum selebritas, orang-orang terkenal. Hampir semua stasiun televisi memiliki acara khusus yang gosip-gosip kaum selebritas itu. Bahkan jam tayangnya pun ada yang sampai lebih dari sekali dalam sehari—ada edisi pagi dan ada edisi siang/sore hari—meski yang ditayangkan tetap itu-itu saja.
Apakah gosip memiliki manfaat positif bagi kehidupan kita? Saya tidak memiliki jawaban yang definitif dalam soal ini. Namun, sebuah kisah yang beredar di milis milik kompleks perumahan di mana saya tinggal, memberikan ”alat bantu” yang saya kira efektif untuk menjawab pertanyaan mengenai manfaat dari kegiatan bergosip-ria. Dan tidak kepalang tanggung, ”alat bantu” untuk menangkal kebiasaan bergosip ini diwariskan oleh seseorang yang dikenal sebagai nenek moyangnya kaum bijak dari negeri Yunani sana. Berikut petikannya:
Di zaman Yunani kuno, Socrates adalah seorang terpelajar dan intelektual yang terkenal reputasinya karena pengetahuan dan kebijaksanaannya yang tinggi.
Suatu hari seorang pria berjumpa dengan Socrates dan berkata, ”Tahukah anda apa yang baru saja saya dengar mengenai salah seorang teman anda?”
”Tunggu sebentar,” jawab Socrates. ”Sebelum memberitahukan saya sesuatu, saya ingin anda melewati sebuah ujian kecil. Ujian tersebut dinamakan Ujian Saringan Tiga Kali.”
”Saringan tiga kali?” tanya pria tersebut.
”Betul,” lanjut Socrates. ”Sebelum anda mengatakan kepada saya mengenai teman saya, mungkin merupakan ide yang bagus untuk menyediakan waktu sejenak dan menyaring apa yang akan anda katakan. Itulah kenapa saya sebut sebagai Ujian Saringan Tiga Kali. Saringan yang pertama adalah KEBENARAN. Sudah pastikah anda bahwa apa yang anda akan katakan kepada saya adalah benar?”
”Tidak,” kata pria tersebut,”sesungguhnya saya baru saja mendengarnya dan ingin memberitahukannya kepada anda”.
”Baiklah,” kata Socrates. ”Jadi anda sungguh tidak tahu apakah hal itu benar atau tidak.”Sekarang mari kita coba saringan kedua yaitu: KEBAIKAN. Apakah yang akan anda katakan kepada saya mengenai teman saya adalah sesuatu yang baik?”
”Tidak, sebaliknya, mengenai hal yang buruk”.
”Jadi,” lanjut Socrates, ”anda ingin mengatakan kepada saya sesuatu yang buruk mengenai dia, tetapi anda tidak yakin kalau itu benar. Anda mungkin masih bisa lulus ujian selanjutnya, yaitu: KEGUNAAN. Apakah apa yang anda ingin beritahukan kepada saya tentang teman saya tersebut akan berguna buat saya?”
”Tidak, sungguh tidak,” jawab pria tersebut.
”Kalau begitu,” simpul Socrates, ”jika apa yang anda ingin beritahukan kepada saya… tidak benar, tidak juga baik, bahkan tidak berguna untuk saya, kenapa ingin menceritakan kepada saya?”
Sebuah panah yang telah melesat dari busurnya dan membunuh jiwa yang tak bersalah, dan kata-kata yang telah diucapkan yang menyakiti hati seseorang, keduanya tidak pernah bisa ditarik kembali. Jadi sebelum berbicara, gunakanlah Saringan Tiga Kali.
Apakah benar cerita di atas berasal dari Socrates yang terkenal amat bijak itu? Saya, yang notabene tidak pernah kuliah di fakultas filsafat dan susah mencerna buku-buku filsafat, tidak bisa mengkonfirmasikan kebenarannya. Namun, satu hal bisa saya pastikan, yakni dengan mengikuti disiplin Saringan Tiga Kali, ada banyak sekali gosip yang harus terhenti secara mendadak. Sebab gosip seperti apakah yang bisa disebut BENAR, BAIK, dan BERGUNA?
Tabik Mahardika!
Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.