Menua itu pasti, tetapi ilmu dan teknologi medis bisa menundanya. Berumur panjang itu pilihan, bukan menerima keadaan, melainkan memilih keadaan. Ada bangsa yang harapan hidupnya (life expectancy) panjang, ada yang pendek, padahal gen tubuh semua cucu Adam sama. Orang Zimbabwe sama gen nya dengan orang Amerika. Namun kalau orang Amerika rata-rata bisa berumur 78 tahun dan orang Zimbabwe tak lebih dari 50 tahun, yang salah pemerintahnya, keadaan negaranya, ikhtiarnya.
Teori menua makin banyak dilaporkan dunia. Salah satunya peran manusia, yang memendek seiring telomere, unsur gen tubuh bertambahnya umur. Makin cepat laju pemendekan unsur telomere, makin cepat tua seseorang, makin pendek pula umurnya. Maka telomere mendapat perhatian dunia medis, bagaimana menjaganya supaya tidak lekas memendek. Telomere yang pendek menyimpan 3 sampai 4 kali risiko mati muda (premature death), kematian yang belum jatuh tempo.
Dunia kedokteran meningkatkan peluang untuk mengoptimalkan potensi biologis tubuh manusia yang diprogram bisa mencapai 120 tahun. Kodrat tubuh berpotensi setua itu, dan temuan Iptek medis membuka peluang itu.
Temuan stem-cell—termasuk telomere—dan segala penangkal supaya orang tidak sampai sakit atau terancam oleh pelbagai faktor buruk dari lingkungan, selain dari dalam tubuh sendiri. Keberhasilan Proyek Genom (Human Genome Project), upaya membuat foto gen tubuh, memungkinkan pisau kimia menyiangi gen jelek, sehingga manusia dihilangkan dari kelemahan dan penyakit tertentu. Alzheimer terbukti ada gen penyebabnya seperti halnya Parkinson, sehingga kualitas hidup serta mati muda bisa dilawan.
Stem-cell atau sel-punca, jelas berperan sebagai spare-part mesin tubuh, sehingga organ tubuh yang rusak selalu bisa digantikan dan tubuh kembali baru. Jantung yang rusak, hati yang rusak, bahkan Parkinson pun bisa diatasi oleh teknologi sel-punca.
Temuan nutrisi untuk kebugaran otak, sebagai komputer tubuh kita, sehingga otak masih bugar sampai ujung hayat. Ditemukannya nutrien yang vital bagi otak, yang memungkinkan otak tetap optimal fungsinya sepanjang hayat. Masalah kepikunan, dementia, Alzheimer, bisa dilawan oleh temuan nutrisi otak. Sebut saja acetylcholin (Alpha-Glycero-phosphocholine, A-GPC), L-Carnitine (Acetyl-L Carnitine, ALC), Anthocyanin, yang bermanfaat bagi kebugaran otak, mencegah dan mengatasi masalah otak.
Bila otak sebagai komputer tubuh manusia terpelihara baik, maka kualitas hidup akan baik sepanjang hayat. Proses menua yang merupakan kemunduran, proses degeneratif semua organ tubuh, bisa direm, dihambat tidak lekas melaju, dengan memanfaatkan semua makanan yang merawat organ otak. Oleh karena semua fungsi organ tubuh dikendalikan oleh kerja otak, maka selama otak bugar, semua kerja organ tubuh juga akan bugar.
Seiring bertambahnya umur, terjadi proses peradangan menyeluruh dalam tubuh (chronic inflammation), akibat terbentuknya metabolisme bagian dari proses menua. Metabolit inflamasome sebagai produk metabolisme proses menua ini—penyebab peradangan menyeluruh dalam tubuh ini—perlu diredam sehingga tidak memunculkan penyakit, atau terganggunya fungsi organ tubuh akibat ikut mengalami peradangan. Penyakit jantung pembuluh darah, penyakit kanker, salah satunya, ditimbulkan oleh kondisi peradangan menyeluruh dalam proses menua ini.
Sel tubuh manusia juga mengalami perusakan dari dalam tubuh sendiri berupa metabolisme yang merusak di atas, selain yang datang dari luar tubuh, atau dari lingkungan. Faktor perusak dari luar tubuh berupa radikal bebas (free radical), yang kini menjadi musuh besar orang. Polusi, obat-obatan, gelombang elektromagnetik, cahaya matahari, itu bagian dari radikal bebas.
Radikal bebas—selain metabolisme yang menyimpang dalam proses menua—setiap hari merusak sel-sel tubuh. Sel rusak berarti unsur gen DNA di dalamnya juga rusak. Namun tubuh yang normal punya mekanisme reparasi (cell repair) yang rutin dilakukan agar laju perusakan bisa dihambat. Namun karena radikal bebas umumnya makin membanjir oleh gaya hidup yang salah, maka tubuh kewalahan mengatasi kerusakan, dan reparasi sel tidak mampu mengatasi, sehingga tubuh menjadi sakit. DNA rusak memicu munculnya penyakit, selain juga kanker. Reparasi sel perlu ditingkatkan untuk mengimbangi kerusakan sel yang meluas dan melaju. Peran enzim dan protein menopang peningkatan proses reparasi sel.
Jadi kalau diamati, supaya kejadian pemburukan dan kerusakan pada tubuh tidak bertambah parah dan merongrong umur akibat penyakit dan kelemahan yang diakibatkannya, pemilihan gaya hidup yang tepat menjadi penting.
Laju pemendekan telomere bisa dikekang oleh gaya hidup yang tepat. Gaya hidup sehat menyangkut apa yang kita makan tepat sesuai kodrat tubuh. Cukup bergerak dan tidak sedentary life style sebagai pilihan lain. Kodrat tubuh itu senantiasa bergerak, bukan hanya duduk, sehingga jalan kaki tergopoh-gopoh (brisk walking) menjadi pilihan mengisi gaya hidup sehat yang tepat. Berat badan senantiasa terperlihara ideal: berat badan dalam Kg dibagi pangkat dua tinggi badan dalam M, indeksnya 20- 25. Pertahankan pada kisaran itu, karena berat badan ideal adalah syarat lain gaya hidup yang tepat. Selebihnya kendurkan stressor sehingga tidak perlu stres, hidup harmoni dunia akhirat, meraih kebugaran spiritualitas tinggi. Tak cukup religius, tapi tidak bugar spiritualitasnya.
Sudah tentu karena kehidupan orang sekarang dibanjiri radikal bebas, kita wajib meredamnya dengan antioksidan. Dua vitamin sebagai antioksidan kuat ialah vitamin C. Kita memilih Ester-C karena tidak masam, selain potensinya puluhan kali lipat vitamin C konvensional. Tubuh juga butuh vitamin E, pilihlah yang natural. Bagi yang minum pengencer darah sebaiknya dosis vitamin E tidak lebih dari 200 IU.
Demi umur terentang lebih panjang, menu harian perlu lengkap, khususnya sumber enzim dan protein. Enzim banyak diperoleh dari menu segar sayur-mayur dan buah-buahan. Protein tak cukup dari nabati—tempe tahu belaka—perlu daging, ikan, dan telur. Paling penting telur, sekurangnya satu sehari. Mengapa? Oleh karena telur sumber asam-amino esensial terlengkap yang Tuhan sediakan untuk tubuh kita.
Jangan takut menjadi pemakan segala. Makin bertambah umur, makin kekurangan kelengkapan nutrisi yang tubuh butuhkan, khususnya enzim dan protein. Untuk memampukan mekanisme reparasi sel (cell repair), dibutuhkan kecukupan dan kelengkapan enzim dan protein dari menu harian. Tubuh orang dewasa butuh sekitar 1 Gram protein/Kg berat badan.
Kita melihat kecenderungan pola makan kaum senior, kaum sepuh, porsi makan makin sedikit karena dikurangi, namun lauk-pauk, khususnya protein, hendaknya jangan dikurangi, atau berkurang. Lauk-pauk harus tetap porsinya, termasuk telur, tempe, tahu, daging, dan ikan, termasuk semua jenis lemak, baik lemak jenuh, lemak tidak jenuh, sama-sama perlunya, asal proporsional. Tubuh juga butuh lemak jenuh gorengan, gajih, mentega, yang mestinya lebih sedikit porsinya dibanding lemak tidak jenuh omega, alpokat, minyak zaitun, dan durian.
Hal lain yang terungkap, bahwa dengan bertambahnya umur, kecukupan vitamin dan mineral makin kekurangan. Padahal vitamin dan mineral berperan penting dalam memelihara sel tubuh, selain mencegah munculnya sejumlah penyakit, termasuk peran dalam sistem kekebalan tubuh. Baru sekarang kita menyadari pentingnya vitamin D, vitamin C, vitamin E, mineral zinc, dan sebetulnya masih banyak micronutrient lain yang menyokong supaya fungsi mesin tubuh tetap berputar normal sampai ujung hayat.
Oleh karena proses menua berujung terbentuknya peradangan menyeluruh dalam tubuh, dunia kini melirik antiperadangan untuk meredam proses peradangan yang merusak organ tubuh itu. Kini dunia mengandalkan curcumin yang terbuat dari bahan kunir atau kunyit. Namun karena curcumin kurang bagus diserap usus, maka diciptakan bio-curcumin sebagai antiradang kuat berasal dari alam.
Sengaja di bawah ini saya lampirkan beberapa petikan yang mendukung apa yang saya tuliskan di atas, untuk menyadarkan kita bahwa sesungguhnya menunda proses menua itu bisa dilakukan semua orang, termasuk kita.
Taking a daily multivitamin for 3 years is associated with a 60% slowing of cognitive aging, with the effects especially pronounced in patients with cardiovascular (CVD) disease, new research suggests. In addition to testing the effect of a daily multivitamin on cognition the COSMOS Mind study also examined the effect of cocoa flavanols, but showed no benefcial effect. The fndings “may have important public health implications, particularly for brain health, given the accessibility of multivitamins and minerals, and their low cost and safety,” said study investigator Laura D. Baker, PhD, professor, Gerontology and Geriatric Medicine, Wake Forest School of Medicine, Winston-Salem, North Carolina. The fndings were presented at the 14th Clinical Trials on Alzheimer’s Disease (CTAD) conference. Placebo-Controlled Study The study is a substudy of a large parent trial that compared the effects of cocoa extract (500 mg/day cocoa flavanols) and a standard multivitamin-mineral (MVM) to placebo on cardiovascular and cancer outcomes in more than 21,000 older participants.
Sept. 15, 2021
To increase our chances for a long life, we probably should take at least 7,000 steps a day or play sports such as tennis, cycling, swimming, jogging or badminton for more than 2.5 hours per week, according to two, large-scale new studies of the relationship between physical activity and longevity. The two studies, which, together, followed more than 10,000 men and women for decades, show that the right types and amounts of physical activity reduce the risk of premature death by as much as 70 percent.
But they also suggest that there can be an upper limit to the longevity benefts of being active, and pushing beyond that ceiling is unlikely to add years to our life spans and, in extreme cases, might be detrimental.
Plenty of research already suggests that people who are active outlive those who seldom move. A 2018 study by the Centers for Disease Control and Prevention, for instance, concluded that about 10 percent of all deaths among Americans 40 to 70 years old are a result of too little exercise. A 2019 European study found that two decades of inactivity doubled Norwegian people’s risk of dying young.
But scientists have not yet pinned down precisely how much — or little — movement might be most strongly associated with greater longevity. Nor is it clear whether we can overdo exercise, potentially contributing to a shorter life.
Those issues lie at the heart of the two new studies, which look at the links between activity and longevity from distinct but intersecting angles. The frst of the studies, published this month in JAMA Network Open, centered on steps. Most of us are familiar with daily step counts as an activity goal, since our phones, smart watches and other activity trackers typically prompt us to take a certain number of steps every day, often 10,000. But as I have written before, current science does not show that we require 10,000 steps for health or longevity.
Researchers from the University of Massachusetts at Amherst, the C.D.C. and other institutions wondered if, instead, smaller step totals might be related to longer lives. So, they turned to data gathered in recent years for a large, ongoing study of health and heart disease in middle-aged men and women. Most of the participants had joined the study about 10 years earlier, when they were in their 40s. At the time, they completed medical tests and wore an activity tracker to count their steps every day for a week.
Now, the researchers pulled records for 2,110 of the participants and checked their names against death registries. They found that 72 participants had passed away in the intervening decade, a relatively small number but not surprising given the people’s relative youth. But the scientists also noticed a strong association with step counts and mortality. Those men and women accumulating at least 7,000 daily steps when they joined the study were about 50 percent less likely to have died since than those who took fewer than 7,000 steps, and the mortality risks continued to drop as people’s step totals rose, reaching as high as 70 percent less chance of early death among those taking more than 9,000 steps.
But at 10,000 steps, the benefts leveled off. “There was a point of diminishing returns,” said Amanda Paluch, an assistant professor of kinesiology at the University of Massachusetts Amherst, who led the new study. People taking more than 10,000 steps per day, even plenty more, rarely outlived those taking at least 7,000.
Helpfully, the second study, which was published in August in Mayo Clinic Proceedings, settled on broadly similar activity levels as best bets for long life. This study involved data from the decades long Copenhagen City Heart Study, which has recruited tens of thousands of Danish adults since the 1970s and asked them how many hours each week they play sports or exercise, including cycling (wildly popular in Copenhagen), tennis, jogging, swimming, handball, weight lifting, badminton, soccer and others.
SARAPAN PAGI, karena tidak sarapan pagi ternyata berhubungan dengan berkembangnya arterosklerosis dan penyakit kardiovaskuler. Menurut sebuah studi kohor prospektif di Amerika Serikat yang melibatkan 6.550 peserta dan diikuti selama 19 tahun (usia 40-75 tahun), orang yang sama sekali tidak sarapan, risiko bahaya meninggal karena penyakit kardiovaskuler (terutama karena stroke) hampir 2 kali lipat lebih tinggi dari pada yang sarapan teratur (HR 1.87; confidence interval 1.15-3.04). Mortalitas karena sebab apapun risikonya 1.19 (95% confidence interval: 0.99 to 1.42).
Curcumin is a biologically active polyphenolic compound found in turmeric, a spice derived from the rhizomes of the plant Curcuma longa Linn. Commonly consumed in Asian countries, turmeric has been used for medicinal purposes for centuries.
-
Mounting evidence from preclinical studies shows that curcumin modulates numerous molecular targets and exerts antioxidant, anti-inflammatory, anticancer, and neuroprotective activities.
-
In humans, curcumin taken orally is poorly absorbed and rapidly metabolized and eliminated. Therefore, the potential of curcumin as a therapeutic agent is limited by its poor bioavailability.
-
Current evidence suggesting that curcumin may help prevent and/ or treat colorectal cancer and type 2 diabetes mellitus is very limited. Yet, several clinical trials designed to assess the safety and efcacy of curcumin alone or with frst-line treatment in patients with breast, prostate, pancreatic, lung, or colorectal cancer are under way.
-
While a few preliminary trials suggested that curcumin may have anti-inflammatory activities in humans, larger randomized controlled trials are still needed to establish the efcacy of curcumin as an anti-inflammatory agent against rheumatoid arthritis, ulcerative colitis, and radiotherapy induced dermatitis.
-
There is currently no substantial evidence showing that curcumin may improve cognitive performance in older adults with or without cognitive impairments. Yet, some preclinical studies have found curcumin prevented or reversed certain pathological features of Alzheimer’s disease (AD). A number of clinical trials designed to assess whether curcumin might help prevent or treat AD are under way.
-
Long-term clinical trials are required to confrm whether curcumin could exhibit long-lasting antidepressant effects in patients suffering from major depressive disorder.
-
Oral supplementation with curcumin is generally regarded as safe, especially because of its low bioavailability. However, use of curcumin supplements may affect the efcacy or increase the toxicity of a wide range of drugs when taken concurrently.
Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2022. Mari kita merenungkan ulang, refleksi kita ke depan untuk tetap memelihara tubuh kita secara mudah, murah, dan sederhana, karena yang setia bersama kita sampai akhir hayat kita, hanya tubuh kita sendiri. Ternyata tidak sulit tetap setia pada tubuh kita sendiri, menjaganya tetap sehat dan berumur panjang. Salam sehat.•
|DR HANDRAWAN NADESUL
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.