Seorang anak berumur 11 tahun protes keras kepada ayahnya. Pasalnya ia dan adiknya yang berumur 7 tahun melanggar larangan ayahnya bermain layang-layang di wuwungan atap rumah mereka. Menurut mereka di atas genting mereka dapat lebih mudah menaikkan layang-layang mereka.
Mereka berdua dihukum. Sang adik dihukum 3 hari tidak boleh bermain keluar, alias grounded, sedangkan ia seminggu. Sang ayah menjawab dengan bijaksana: “Adikmu bersalah karena melanggar larangan ayah. Kamu juga. Tetapi ada satu lagi kesalahanmu. Kamu yang lebih tua, tahu mengapa ayah melarang kalian bermain layangan di atas genting, namun kamu tetap saja melanggarnya…”
Itulah jiwa dari judul di atas yang adalah tema kita kali ini. Judul ini diilhami oleh judul sebuah buku berjudul Meer dan het gewone, yang berarti “lebih daripada yang biasa” karya seorang Belanda, Dr. Feitse Boerwinkel. Buku ini berusaha untuk menggarisbawahi relevansi ucapan/ajaran Yesus dalam kumpulan yang biasa kita kenal sebagai “Khotbah Di Bukit” (Matius 5-7, dan terpencar dalam Lukas 6-16), bagi kehidupan kita di zaman moderen ini.
Ilustrasi di atas, khususnya sosok sang kakak, dapat kita kenakan kepada kita sendiri sebagai orang-orang percaya, orang-orang yang disapa oleh Yesus dalam ucapan/ajaran-Nya dalam “Khotbah Di Bukit”. Memang secara kasat mata yang disapa oleh Yesus adalah para murid dan semua orang yang hadir, yang terdiri dari berbagai golongan masyarakat bahkan mungkin suku-bangsa. Namun bila kita simak apa yang diajarkan Yesus di situ, maka nyatalah bahwa nilai-nilai yang dikemukakan-Nya relevan bagi siapapun. Oleh karena itu perlu kita pahami maksud yang mendasar dari Yesus sendiri dengan ucapan/ajaran-Nya dalam “Khotbah Di Bukit”.1 Ada dua pokok hakiki tentang ini, yaitu misi Yesus yang adalah misis Kerjaan Allah, dan tuntutan Yesus terhadap pengikut-Nya dalam terang itu.
Pertama, misi Yesus di dunia adalah Kerajaan Allah. Ucapan Yesus “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” adalah ucapan yang amat penting. Dengan itu Yesus menyatakan bahwa kerajaan-Nya bukan atau tidak berasal dari dunia ini. Artinya kerajaan-Nya tidak berasal dari pola pikir duniawi serta tidak terikat oleh cara-cara dan alat-alat duniawi, seperti kekerasan dan sejenisnya. Dan kerajaan-Nya adalah kerajaan Bapa-Nya yang di surga. Untuk kerajaan itu Yesus berkarya. Sehingga Ia mengajarkan murid-murid-Nya dan kita semua untuk berdoa: “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.”
Maka dari itu Yesus mengintroduksikan cara pandang, norma dan sikap yang “lain” ketimbang yang biasa atau lazim berlaku. Dan Yesus mengupasnya dari segala segi. Misalnya soal membunuh. Siapapun tahu dan mengamini bahwa orang yang melakukan pembunuhan harus dihukum. Tetapi dalam terang norma Kerajaan Allah, marah terhadap sesama dan mengata-ngatainya (membunuh perasaan atau karakter) sama beratnya dengan membunuh. Intinya di situ adalah memperlakukan orang lain sungguh-sungguh sebagai saudara. Atau tentang berzinah yang amat jelas aturannya dalam keyahudian. Namun Yesus menyatakan bahwa “menginginkan seseorang dalam hati” adalah sama dengan berlaku zinah. Masalah pokoknya adalah kesucian dan sejak awal tidak memberi tempat bagi pencobaan.
Yesus tidak berhenti pada tingkah laku sesehari. Ia juga membahas hal ibadah, misalnya berdoa (Doa Bapa Kami), berpuasa, dan memberi persembahan. Semuanya itu harus dipraktikkan menurut norma Kerajaan Allah, yang berbeda dari yang lazim berlaku atau dilakukan orang. Bahkan Ia juga memperkenalkan kebenaran Kerajaan Allah yang lebih benar ketimbang norma kebenaran yang lazim berlaku. Misalnya soal keadilan, khususnya dalam hal balas-membalas. Lazimnya bila seseorang menyakiti orang lain, maka kepadanya sepantasnya dibalaskan perbuatan yang sekurang-kurangnya sama menyakitkannya, atau prinsip “mata ganti mata”. Tetapi bagi Yesus dalam Kerajaan-Nya, bila orang menampar pipi kiri kita maka kepadanya harus kita tawarkan pipi kanan kita.
Itu sebabnya Yesus juga kerap dituduh anti hukum (Taurat) karena menerapkan “hukum-Nya” sendiri. Menjawab tuduhan ini Yesus menandaskan bahwa Ia datang bukan untuk meniadakan hukum Taurat tetapi justru guna menggenapinya. Bahkan Ia menegaskan bahwa bila hidup keagamaan kita tidak lebih benar ketimbang ahli Taurat dan orang Farisi–yang berusaha untuk menaati hukum Taurat sebaik mungkin–maka kita tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.
Sekali lagi yang hakiki bagi Yesus adalah bagaimana menjadikan bahkan menundukkan segala sesuatu sesuai norma yang baru yaitu norma Kerajaan Allah. Visi Yesus adalah Kerajaan Allah atau perwujudan pemerintahan Allah di serta bagi dunia dan segala ciptaan. Dan misi Yesus adalah menghadirkan Kerajaan Allah yang dimulai dari diri-Nya sendiri.
Kedua, dari mereka yang beriman kepada Yesus dan Bapa-Nya, dituntut untuk mempraktikkan apa yang diperjuangkan Yesus dalam rangka misi-Nya, dalam praktik hidup nyata sehari-hari. Kebenaran yang untuk dipegangi oleh pengikut Kristus adalah kebenaran yang harus lebih benar ketimbang kebenaran dari para ahli Taurat dan orang Farisi.
Dari orang percaya, termasuk kita, dituntut untuk menjadikan “Khotbah Di Bukit” sebagai “aturan main” atau “petunjuk pemakaian” dalam kehidupan sesehari bersama Tuhan dan sesama. Bila kita membeli sebuah “permainan”, untuk dapat memainkannya dengan baik kita harus mengerti dulu aturan mainnya. Atau bila kita membeli sebuah peralatan elektronika, kita perlu membaca dulu petunjuk pemakaiannya agar dapat menggunakannya secara optimal.
Kata kuncinya di situ adalah “lebih daripada yang biasa”. Beberapa kali dikatakan: “Telah difirmankan kepadamu…” atau: “Kamu telah mendengar…” yang segera diikuti dengan: “Namun Aku berkata kepadamu…” Apa yang biasa kita tahu dan mungkin kita pegangi memang baik, tetapi norma Yesus harus “lebih” ketimbang itu semua. Norma Yesus itu adalah cerminan dari norma Bapa. Oleh karena itu norma kita harus merupakan cerminan norma Yesus. Contoh yang amat indah terdapat dalam Matius 5:43-45, “Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu.” Mengapa mesti begitu? Alasannya adalah ini: “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.”
Maka pertanyaan yang tinggal adalah apakah “Khotbah di Bukit” masih relevan untuk zaman kita, di abad ke duapuluh satu ini? Dan berkaitan dengan ini, mungkinkah prinsip “lebih daripada yang biasa” ini dipraktikkan, atau tepatnya kita, orang percaya, praktikkan? Pertanyaan-pertanyaan ini bisa jadi sekadar dalih, tetapi bisa jadi tulus.
Bila pertanyaan-pertanyaan itu sekadar dalih untuk tidak melaksanakannya, maka jawabannya sederhana. Bila kita sebagai orang percaya memang sungguh-sungguh berdoa: “Datanglah Kerajaan-Mu…” maka memraktikkan “Khotbah Di Bukit” adalah “aturan mainnya”, tidak kurang dan tidak lebih. Tidak ada tawar-menawar di sini. Setiap orang yang sungguh-sungguh percaya mesti mengupayakannya dengan segenap daya. Oleh karena itu pertanyaan-pertanyaan itu juga bisa jadi tulus.
Jawabnya ada pada Matius 5:48, “Karena itu haruslah kamu sempurna, sama seperti Bapamu yang di sorga adalah sempurna.” “Sempurna” (Ibr.: tamiem, Yun.: teleios) berarti terarah pada satu tujuan, dengan hati tidak bercabang, utuh.2 Jadi sempurna di sini bukan berarti tanpa cacat, tetapi lebih mengarah kepada “berintegritas”. Maka usaha untuk memraktikkan “Khotbah di Bukit” mesti diperjuangkan, walau itu berarti upaya jatuh-bangun, tidak selalu berhasil dan pasti tidak sempurna. Namun setiap niatan baik disertai konsentrasi untuk tidak mengalihkan pandang dari tujuan yang satu, yaitu memberlakukan pemerintahan Allah di bumi, niscaya akan dituntun dan diberkati-Nya.
Maka mari kita kembali ke ilustrasi di atas. Kita harus mengidentifikasikan diri dengan sang kakak di situ. Walau kesalahan atau dosa kita sama dengan orang lain, tetapi karena kita adalah orang percaya, maka kesalahan yang sama itu akan diperhitungkan Tuhan lebih parah. Mengapa? Karena kita “tahu” bagaimana seharusnya lebih daripada orang yang tidak percaya.
Atau secara positif kita kutip Matius 5:46-47, “Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikian?”
Mengapa? Karena kita, orang percaya, harus “lebih daripada yang biasa”!
Pdt. Purboyo W. Susilaradeya
1. Bagi yang berminat untuk lebih memahami “Khotbah Di Bukit” ada beberapa buku dari Dr. J. Verkuyl (“Khotbah Di Bukit”) dan William Barclay (“Sermon on the Mount”) menurut hemat saya amat baik. Dan tentu saja buku karya Dr. Feitse Boerwinkel (“Meer dan het gewone”) amatlah perlu untuk dibaca.
2. The Interpreter’s Dictionary of the Bible Volume 3, hal. 730.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.