(5) Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus, (6) yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, (7) melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. (8) Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. (9) Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama, (10) supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi, (11) dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa! (Filipi 2: 5–11)
Bacaan di atas adalah satu dari sedikit teks yang saya sukai, bahkan hafal! Tetapi menghafal semuanya tidak bermakna apa-apa, bahkan tidak bermanfaat apa-apa! Akan lebih penting untuk memahami apa yang dihafal dan diketahui itu. Pada level ini kita masuk pada makna di balik kata. Dan di sini masalah besar sering muncul. Sebab makna bisa macam-macam. Penafsiran bisa beragam. Dan yang kita pahami sering kali tidak memengaruhi perilaku, namun justru dipengaruhi oleh perilaku. Di sini sering muncul manipulasi makna.
Demikian juga dengan bacaan kita yang indah ini. Kerap dipahami secara keliru. Bukannya mengubah kita, tetapi mentalitas kita yang mengubah makna bacaan ini. Ada dua penyelewengan makna yang kerap muncul.
Pertama, memakai bacaan ini untuk orang lain dan bukan untuk diri sendiri. Seorang suami yang kejam bisa saja berkata pada isterinya, “Kamu harus merendahkan diri seperti Kristus.” Dipukuli, dihina, di-abuse, diterima saja, seperti Kristus dihina dan direndahkan. Itu sebabnya, teks ini sering dikritik oleh para feminis Kristen karena justru membenarkan perendahan diri perempuan oleh laki-laki.
Kedua, bacaan ini sering dipakai untuk membenarkan mentalitas bisnis iman. Kalau Anda lihat polanya: Kristus merendahkan diri dan berkorban (ayat 5-8), untuk kemudian ditinggikan (ayat 9-11). Ada saja orang Kristen yang memaknai pola ini dengan cara berpikir: saya merugi supaya untung lebih banyak lagi, merendahkan diri supaya ditinggikan. Atau lebih celaka lagi: bagian Kristus merendahkan diri, kita yang dapat enaknya, yaitu ditinggikan. Dan tanpa sungkan kemudian ditambah dengan ayat-ayat lain, seperti: Kristus terluka supaya kita disembuhkan, Kristus menjadi miskin supaya kita kaya, Kristus dihina supaya kita dimuliakan. Mentalitas semacam ini muncul di dalam banyak “nyanyian balon udara.” Kita memuliakan Kristus dan kita ikut ndompleng ditinggikan. Bonhoeffer menyebutnya sebagai “anugerah yang murahan.” Kebangkitan tanpa salib, kemuliaan tanpa kemuridan.
Makna semacam apa yang perlu kita miliki terhadap bacaan ini? Pemahaman semacam apa yang seharusnya kita miliki tentang Kristus yang diberitakan di sini? Untuk memahami Filipi 2:5 pertama-tama kita harus pahami bahwa Alkitab bukan sekadar buku sejarah atau kitab doktrin, namun Alkitab terutama surat cinta, ungkapan isi hati, Allah pada manusia! Perasaan atau pathos Allah.
Bicara soal pathos, atau perasaan, ada empat tipe manusia:
- Apati. Tidak berperasaan. Suasana senang ya diam, sedih ya diam. Orang yang apatis sama dengan mati. Bayangkan, betapa mengerikan kalau Allah kita adalah Allah yang apatis!
- Antipati. Yang ini sama parahnya. Kalau ada yang senang ia malah susah. Kalau ada yang susah ia malah senang.
- Simpati. Hal ini ibarat seseorang hendak menghadiri undangan pesta di Hyatt, namun sebelumnya mampir ke tetangga yang mati. Ikut berduka, tetapi sebenarnya bayangannya makan enak di Hyatt. Hatinya tidak berada di hati yang berduka. Seorang yang bersimpati itu menyenangkan, tapi tidak total. Ia berada di seberang jurang. Dan bayangkan kalau Allah kita seperti itu. Dari surga berteriak, “Kasihan kau, anak-Ku! Ayo ke atas sini!”
- Empati. Em=masuk! Melompat jurang! Ikut menanggung kesedihan orang lain, bahkan rela mengganti dukacita orang lain. Empati itu inti dari kasih! Empati sama dengan agape. Dan itulah kasih Allah!
Paulus berkata, “Hendaklah engkau menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,” Kita bertanya, “Apa isi hati-Mu, Tuhan?” Empati! “Aku peduli padamu, hai orang berdosa dan Aku mau menanggung penderitaanmu.”
Saya percaya, pemahaman yang tepat digambarkan oleh Ibu Teresa dari Kolkata atau Kalkuta: Mengasihi Hingga Terluka. Love Until It Hurts.
Pada tahun 1979, Ibu Teresa menerima anugerah Nobel Perdamaian. Dan di dalam pidato yang diberikannya saat penerimaan hadiah Nobel tersebut, Ibu Teresa memaparkan konsep “love until it hurts,” mencinta hingga melukai. Ada dua hal yang sangat mengesankan di dalam pidato Ibu Teresa tersebut, yang ingin saya bagikan, yang semoga membuat pemahaman kita akan bacaan ini makin mendalam.
Ibu Teresa mengatakan, “Sangatlah penting bagi kita untuk menyadari bahwa cinta yang sungguh-sungguh sejati pastilah melukai. Yesus terluka ketika mencintai kita.” Begitu sederhana dan begitu benar. Karena itu Paulus memulai ayat 5, sebelum dia mengisahkan ulang cinta Yesus yang merendahkan diri hingga terluka, dengan kata-kata, “Hendaklah engkau dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga di dalam Yesus Kristus …” Dengan kata lain, Kristus yang mencinta dan merendahkan diri hingga terluka itu adalah satu-satunya teladan kita. Dan itu berlaku untuk semua orang. Dengan kata lain, “Mencinta hingga terluka” adalah identitas setiap orang Kristen. Tidak layak kita menuntut perendahan diri pada orang lain hanya untuk melegitimasi penindasan. Tidak layak juga kita merendahkan diri hanya supaya ditinggikan, karena itu berlawanan dengan spirit “cinta hingga terluka.”
Kalimat lain dari Ibu Teresa mengatakan begini, “Engkau tidak memberi dari kelimpahanmu, namun engkau memberi hingga terluka.” Memberi dari kelimpahan itu mudah, karena yang kita berikan adalah apa yang kita miliki yang tidak membuat kita terluka. Memberi pakaian bekas tidak melukai kita. Pakaian bekas itu tidak bisa terluka. Memberi pakaian bekas malah menyenangkan, karena gudang kita jadi bersih. Kalau kita memberi dan mencinta dari apa yang tidak kita butuhkan, maka itu bukan pemberian. Itu buang sampah, namanya. Namun mencinta hingga terluka berarti bahwa kita mencinta dan memberi apa yang bisa terluka, yaitu hidup kita sendiri.
Saudara-saudara, mengapa mencinta hingga terluka menjadi level terluhur? Karena di sana tidak ada pertukaran, tidak ada atmosfer bisnis. Tidak ada give and take … hanya give. Makanya kalau tetangga Anda memberi oleh-oleh, jangan dibalas … nanti pemberiannya tidak lagi menjadi pemberian, tetapi bisnis atau pertukaran.
Kita sudah merefleksikan level penghafalan dan pemahaman, tetapi ada level lain yang lebih penting dari sekadar memahami, yaitu menghayati, menjadikan apa yang kita pahami bagian dari hayat atau hidup kita. Sebab memahami cara memasak soto tidak sama artinya bisa memasak soto. Memahami cara berenang tidak sama artinya dengan bisa berenang. Dan di sinilah kita semua harus menunduk malu pada mereka yang menjadikan cinta-hingga-terluka itu bukan sekadar sebuah pemahaman namun penghayatan. Gereja harus malu karena “peduli” sering hanya menjadi nama satu bulan dalam setahun, namun belum tentu merasuki gaya hidup dan perilaku sesehari. Oleh karena itu tantangan kita adalah bagaimana menjadikan “Bulan Peduli” ini bukan sekadar sebagai sebuah aktivitas simbolis atau aktivitas ritual … Kita ini memang suka sekali dengan yang ritual.
Tentu saya sangat senang dan mendukung “Bulan Peduli” GKI Pondok Indah. Namun, sungguh sadarkah kita bahwa ada beban yang sangat berat ketika kita mencanangkan “Bulan Peduli”? Sebab kita harus menuntut diri lebih berat lagi agar suatu saat tidak lagi dibutuhkan “Bulan Peduli” karena setiap bulan adalah bulan peduli, karena setiap hari adalah hari peduli, karena setiap detik, selama kita menarik dan mengeluarkan napas, nada yang terdengar adalah nada kepedulian.
Izinkan saya mengakhiri dengan dua catatan reflektif.
Izinkanlah diri Anda diganggu terus dengan citra Kristus yang mencinta hingga terluka. Jangan-jangan “kepedulian” kita selama ini jauh dari luka. Kita menikmati kepedulian dan ungkapan cinta, entah karena memberi perasaan romantis atau bahkan keuntungan lebih besar pada akhirnya. Atau, kita peduli dan mencinta dari kelimpahan kita dan dengan demikian kita tidak mencinta dengan memberi diri kita tapi dengan memberi yang kita miliki, dengan what we have tapi bukan who we are. Bukankah begitu sukar kita mencinta hingga sungguh terluka.
Mencinta hingga terluka tidak harus berarti secara fisik terluka, bahkan hingga mati. Kita bukan pencinta penderitaan. Tetapi mencinta hingga terluka kerap justru dilakukan oleh mereka yang tidak punya apa-apa lagi untuk diberikan selain diri dan hidup mereka. Ibu Teresa, di dalam pidato yang sama, menceritakan pengalamannya, pada suatu hari ia kehabisan gula dan hal itu berlangsung cukup lama sehingga kabar itu ternyata menyebar di kalangan anak-anak jalanan yang mereka layani. Seorang anak berusia 4 tahun dari keluarga Hindu yang mendengar hal itu pulang ke rumah, dan menceritakannya pada kedua orangtuanya. Ia berkata: Aku tidak mau makan gula selama 3 hari dan gulaku akan kuberikan kepada Bunda Teresa! Betapa menyakitkan seorang anak kecil yang gemar makan gula harus menahan diri demi cinta.
Kepedulian adalah panggilan kita, identitas baru kita. Tetapi, kepedulian yang tidak membawa kita pada kepedihan demi sesama, bukanlah kepedulian. Love until it hurts.
Pdt. Joas Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.