Di mata medis, kita mengenal istilah kematian prematur (premature death). Kondisi ini terkait dengan umur harapan hidup (life expectancy at birth). Makin sejahtera suatu negara, makin panjang umur harapan hidup penduduknya. Sekarang umur harapan hidup kita 68 tahun, Amerika 78 tahun, Okinawa di atas 90 tahun. Artinya, rata-rata masyarakatnya meraih umur itu. Orang Indonesia yang meninggal kurang dari 68 tahun, apa pun penyebab kematiannya, menurut statistik medis tergolong mati prematur, atau mati muda.
Negara yang sudah sejahtera, kebanyakan kematian penduduknya disebabkan oleh penuaan, dan hanya sedikit yang disebabkan oleh trauma, kecelakaan, penyakit, atau dampak kemiskinan. Namun makin ke belakang, perilaku manusia (behavioral patterns) memberi kontribusi lebih dari dua per lima terhadap kejadian kematian prematur. Sedangkan kontribusi lingkungan, baik sosial (social circumstances), maupun fisik (environment exposure) kecil saja, sementara kontribusi layanan kesehatan hanya sepersepuluh.
Persoalan Gaya Hidup
Orang yang mati prematur akan kehilangan tahun potensi hidupnya (use of years of potential life lost). Kunci solusinya adalah soal bagaimana mengubah gaya hidup. Perilaku manusia harus berubah. Melihat keprihatinan itu lahir Sydney Resolution pada tahun 2008. Resolusinya menghimbau dunia untuk berubah, dan manusia juga harus berubah.
Makin tahun kian disadari bahwa kebanyakan penyakit—kalau bukan semua—yang sekarang bermunculan disebabkan orang keliru memilih gaya hidup. Diperkirakan dalam satu dasawarsa sejak resolusi itu—yakni pada tahun 2018—sekurangnya 388 juta orang terancam mati prematur kalau gaya hidup mereka tidak diubah. Saya belum membaca laporan evaluasi resolusi di atas.
Amati saja yang terjadi di sekitar kita sekarang ini. Kasus terserang jantung koroner dan stroke menimpa umur lebih muda. Belum 40-an tahun dan masih dalam usia produktif, serangan jantung dan stroke menyerang. Kenyataan itu ditunjang oleh fakta bahwa tiga dasawarsa lalu, rata-rata pembuluh darah jantung remaja Amerika sudah mulai berkarat lemak sejak usia kanak-kanak, sebab keliru pola makan dan gaya hidup kurang gerak. Kalau dalam setahun tumpukan lemak dinding pembuluh darah koroner jantung atau yang kita kenal sebagai plaque bertambah tebal 2 persen saja, hanya perlu 25 tahun—apabila sejak umur 15 tahun sudah keliru gaya hidupnya—untuk menyumbat separuh penampang pembuluh darah koroner jantung, pada saat mana serangan jantung sudah bisa terjadi. Bila gaya hidup generasi muda kita kebarat-baratan seperti sekarang ini, maka sangat bisa jadi nasib mereka akan sama terancam mati muda seperti anak di Barat. Kenyataannya sudah begitu. Serangan jantung dan stroke menimpa usia produktif, umur 40-an tahun.
Dunia kini mencatat, akibat gaya hidup yang salah, lebih dari tiga per lima penyebab kematian prematur terkait medis. Sepertiga di antaranya disebabkan jantung dan stroke, dua per lima disebabkan trauma, dan seperlima disebabkan kanker. Padahal semua kematian yang diakibatkannya itu sebetulnya masih mungkin dicegah (potentially preventable deaths).
Paradoks kini terjadi. Manakala ilmu penuaan (gerontology) kian digali dan ditekuni agar manusia mencapai potensi umur biologisnya (biogenetic maximum lifespan), di sisi lain gaya hidup sendiri telah merusak kesehatan manusia sejak usia muda. Kalau umur anjing bisa sampai 15 tahun, gajah 70 tahun, ikan paus 100 tahun, sejatinya umur manusia (ingat umur nabi sampai ratusan tahun) bisa mencapai 120 tahun (Dr. Robert Butler). Namun tragisnya, pada saat yang sama, pembiaran gaya hidup yang keliru menyebabkan makin banyak kelompok usia produktif yang harus menggali kubur mereka sendiri.
Di mata medis, umur bukan saja memungkinkan diulur merentang lebih panjang dan masih tetap sehat, melainkan semua penyakit yang merongrong umur sebetulnya juga bisa dicegah. Peran genetik hanya sepersepuluh bagi terjadinya penyakit orang sekarang, selebihnya lantaran gaya hidup. Bukti bahwa manusia bisa berumur sepanjang itu sekarang bisa kita lihat di Okinawa, pulau kecil di Jepang yang penduduknya berumur seratus tahun lebih (centenarian). Apa rahasianya?
Gaya hidup orang Okinawa sesuai dengan kodrat tubuh manusia. Makannya mirip dengan menu nenek moyang kita: nasi sepiring, tempe, tahu, ikan, sayur lodeh dan sayur asem semacam itu, banyak lalap, buah, umbi-umbian, kacang-kacangan, biji-bijian, dan hidup santai penuh aktivitas. Menu Okinawa (Okinawa Programme) adalah menu tersehat di dunia, dan angka penyakit jantung, stroke, kanker, terendah di dunia.
Apa yang kita makan sehari-hari ternyata merupakan faktor terbesar munculnya semua penyakit orang sekarang. Kodrat tubuh kita hanya butuh seperdelapan porsi daging dari total kalori yang dibutuhkan tubuh. Namun orang sekarang makan daging lebih banyak (“Tiger Diet”). Orang sekarang lebih memilih menu olahan (refined diet) seperti donat ketimbang menu alami ubi rebus, madu, jamur, umbi-umbian, kacang-kacangan, dan gandum.
Makanan yang tidak menyehatkan itu bukan saja memperburuk kejadian penyakit degeneratif sehingga mengancam umur, melainkan juga makin banyak orang yang terancam kanker sebagai penyakit gaya hidup. Kematian prematur banyak muncul dari kasus kanker, termasuk penyakit metabolis umumnya.
Peranan daging olahan, kebanyakan asupan gula pasir dan terigu, dan hidup kurang gerak (sedentarian) melengkapi faktor penyebab munculnya sejumlah penyakit orang sekarang. Soal kelebihan makan daging, tengok saja orang Tiongkok. Kita tahu bahwa orang Tiongkok secara genetik homogen. Namun bila ada provinsi yang paling tinggi angka kankernya, tentu bukan faktor genetik penyebabnya. Provinsi ini ternyata paling banyak asupan dagingnya (The China Study).
Nasib Kesehatan di Tangan Sendiri
Kontribusi layanan kesehatan terhadap kematian prematur hanya sepersepuluh. Lebih besar kontribusi gaya hidup. Itu sebabnya nasib kesehatan kita sesungguhnya berada di tangan kita sendiri. Maukah kita berubah?
Perlu peran pemerintah dalam strategi membangun kesehatan di hulu, supaya masyarakat cerdas hidup sehat. Pendekatannya dalam bentuk penyuluhan. Menata kurikulum pendidikan kesehatan di sekolah yang lebih berorientasi pada pembentukan perilaku hidup sehat ketimbang kognitif belaka. Revitalisasi Puskesmas lebih berat pada upaya preventif dan promotif ketimbang menunggu masyarakat datang berobat akibat telanjur jatuh sakit yang sebetulnya tidak perlu, hanya lantaran kurang dibina cerdas hidup sehat. BPJS sampai tekor belasan triliun rupiah oleh karena kebanyakan pesertanya sudah telanjur sakit.
Singapura sangat menaruh perhatian pada kelompok usia produktif. Kalangan eksekutif muda, manajer, pengusaha usia produktif, ditatar bagaimana membangun hidup sehat. Tujuannya agar tidak mati muda. Rumah makan dianjurkan menyajikan menu yang tidak asin, karena sebagian besar hipertensi lebih disebabkan oleh asupan garam dapur yang berlebihan. Anak sekolah yang kelebihan berat badan wajib berlari lebih banyak sampai berat badannya ideal, karena gemuk merupakan “bom waktu” munculnya berbagai penyakit degeneratif, selain kanker juga. Anak dididik makan dengan kepala, bukan dengan hati. Ingat, peranan apa yang kita makanlah yang paling menentukan nasib kesehatan, apakah kita akan berisiko terserang jantung, stroke, kanker, ataukah tidak.
Kematian prematur juga meningkat seiring dengan kemajuan ekonomi. Tiongkok kini mengalaminya, akibat polusi industri bertambah, dan perubahan gaya hidup akibat kemakmuran, selain pola makan berlebihan. Sedangkan kematian prematur di Zimbabwe merupakan dampak kemiskinan.
Menghadapi masalah dunia sebagaimana terungkap dalam Sidang Lingkungan Hidup di Nairobi beberapa tahun lampau, buruknya lingkungan di mana-mana di dunia, ikut menambah besar angka kematian prematur. Saatnya kini kita galakkan komunikasi, informasi, edukasi hidup sehat untuk semua lapisan masyarakat yang tidak lebih mahal dari belanja obat dan ongkos masuk rumah sakit. Namun ongkos yang dipikul negara akibat kehilangan tahun potensi hidup masyarakat oleh kematian prematur luar biasa besar, terlebih bila itu menimpa usia produktif, sosok unggul, dan yang tergolong aset, serta kapital bangsa, pada masa bonus demografi milik Indonesia sekarang ini. ***
Dr Handrawan Nadesul
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.