Tetapi dalam semuanya itu kita lebih daripada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. (Roma 8:37)
Roma 8:37 merupakan sebuah proklamasi keyakinan iman Paulus, yang juga seharusnya menjadi proklamasi iman kita semua. Paulus berseru bahwa “kita lebih daripada orang-orang yang menang.” Dalam bahasa aslinya, dipergunakan kata hyper (melampaui) dan nikaō (menaklukkan). Tampaknya, Paulus memang memakai bahasa yang terkesan “keras.” Tetapi, dalam perenungan saya, justru saya menangkap cara berbahasa yang menarik yang Paulus pakai untuk menegaskan kehidupan kristiani yang anti-kekerasan.
Orang-orang Kristen lebih daripada para penakluk, justru karena mereka mengalami penindasan, kesesakan, penganiayaan, kelaparan, ketelanjangan, bahaya, dan pedang (ayat 35). Para penakluk mengatasi semua itu dengan kekuatan mereka sendiri. Namun, orang Kristen lebih dari para penakluk, sebab dengan mengalami semua kepedihan itu, mereka tetap bertahan. Kuncinya adalah: “oleh Dia yang telah mengasihi kita” (ayat 37b). Kristus sudah mengalahkan kepedihan terdalam dalam hidup semesta—yaitu kematian—justru dengan memasuki kematian dan mengalahkannya pada peristiwa kebangkitan. Kini, Kristus juga menggenggam kita tanpa pernah melepaskan kita dan dengan cara itulah kita yang mengalami kepedihan hidup tetap dapat melewati semua kepedihan tersebut. Kristuslah yang menjadi kekuatan kita.
Tetapi, ada perspektif lain yang perlu kita pertimbangkan juga. Kita lebih daripada orang-orang yang menang (atau penakluk), sebab di dunia ini para penakluk menaklukkan orang lain. Kita yang adalah umat Paska ini diundang untuk menaklukkan diri sendiri. Agama Kristen bukanlah agama kaum penakluk orang lain, dan karenanya kita menolak kekerasan atas nama agama. Iman Kristen adalah agama yang berisi orang-orang yang berjuang dengan dosa yang sangat dekat dengan kehidupan kita sendiri, dan menaklukkan diri kita sendiri, agar Kristuslah yang menang di dalam kehidupan kita.
Paulus melanjutkan proklamasi imannya di ayat 37 itu dengan menyerukan sebuah kesaksian iman yang luar biasa, “Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita” (Rm. 8:38-39). Jadi, pengalaman tidak terpisahkannya kita dari kasih Allah di dalam Kristus justru dialami di dalam kepedihan hidup, bukan ketika kita terlepas dari kepiluan hidup. Dan di sinilah ironi kerap muncul. Kita kerap mengukur Allah berdasarkan ada atau tiadanya kepiluan hidup. Jika hidup beres-beres saja, maka kita menyimpulkan bahwa Allah tidak melepaskan kita dari kasih-Nya—lantas kita menang. Sebaliknya, jika hidup sungguh memilukan, dengan cepat kita memprotes Allah dan menuduh-Nya telah melepaskan tangan kita dari genggaman-Nya—lantas kita kalah.
Kita lebih daripada orang-orang yang menang, sebab kemenangan kita tidak ditentukan dari situasi hidup kita. Allah tidaklah fluktuatif mengikuti fluktuasi peristiwa dan sejarah dunia. Kita lebih daripada pemenang sebab, baik pilu maupun gembira, Kristus senantiasa menggenggam erat tangan kita. Jika demikian, tinggal satu hal yang tersisa: kita berjuang melawan diri sendiri dan menaklukkan diri dari kesombongan, ketidakpercayaan, dan keraguan kita. Berjuanglah terus, bukan karena kita akan menang, melainkan karena Kristus telah menang!
• Pdt. Joas Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.