Konflik dengan Pasangan

‘Memenangi’ Konflik dengan Pasangan

Belum ada komentar 80 Views

Konflik menjadi hal yang biasa mewarnai kehidupan berpasangan. Sejak zaman dulu hingga kini tidak ada keluarga yang lepas sama sekali dari konflik. Yang kelihatannya sangat harmonis, rukun dan baik-baik saja sangat diyakini juga tidak lepas dari konflik, atau sekadar menyimpan potensi konflik.

“Sampai kapan aku harus mengalah terus? Menjadi korban terus? Menjadi sasaran dan kambing hitam selamanya?” keluh seorang pasangan manakala menceritakan permasalahan dan cara mereka menghadapi konflik. Anda tidak ingin mengumandangkan nyanyian kekalahan seperti itu secara berkepanjangan? Temukan caranya ‘memenangi’ konflik dengan pasangan. Jangan mau menjadi korban dan jangan sampai terlanjur terkondisikan bermental korban.

Pemicu Konflik Pasangan

Alasan apa pun bisa menjadi sebab bagi pasangan untuk menimbulkan konflik di antara mereka. Pemicu yang paling umum bagi konflik di antara pasangan adalah hal-hal di bawah ini.

Anak. Cara mengekspresikan rasa sayang dan perhatian kepada anak bahkan cukup sering menjadi pemicu konflik. Seorang ayah yang sangat mengasihi anaknya berusaha untuk menyenangkannya dengan memperbolehkan si anak membeli atau memakan makanan apa pun yang disukainya, sementara ibunya telah membuat batasan tentang makanan sehat yang sebaiknya dikonsumsi, dan yang tidak. Tindakan sang ayah dilandasi pemikiran menyenangkan anaknya, keputusan sang ibu dilandasi pemikiran menjaga kesehatan anak. Keduanya punya alasan yang sama, menyayangi sang anak. Tapi bukankah terdapat sumber konflik yang besar di sana?

Karier. Obsesi berkarier di antara pasangan (apalagi hal itu sudah dirintis dan dimiliki sebelum bersatu) juga sering menjadi sumber konflik yang potensial. Dalam banyak kasus karier sering dipandang sebagai pencapaian pribadi atau prestasi yang menimbulkan kebanggaan dan nilai/arti bagi kehidupan seseorang, sehingga hal itu menjadi prioritas dalam hidupnya. Di zaman emansipasi seperti ini, banyak wanita yang tidak mau kalah dengan pria dalam hal ini. Manakala diperhadapkan pada persoalan membangun dan membina rumah tangga, ketidaksadaran untuk secara aktif mengambil peran atau upaya memahami dan menyelesaikan persoalan secara bersama dan seimbang akan menjadi sumber konflik. Konflik itu bisa timbul dari permintaan suami agar istrinya berhenti berkarier dan mengurus rumah tangga saja, yang bisa dipandang oleh sang istri sebagai pengedepanan egoisme, hanya memikirkan kepuasan diri sendiri dalam berkarier. Lebih parah lagi bila dilanjutkan dengan pemikiran upaya eksploitasi kepadanya untuk hanya mengerjakan hal-hal yang remeh-temeh. Yang agak jarang tetapi bukannya tidak ada, sang istrilah yang (terpaksa) harus berkarier karena kedudukannya yang lebih bagus dan suaminya yang harus di rumah, atau sedari semula suaminya tidak bekerja (entah karena tidak mampu atau tidak mau bekerja).

Uang. Pengaturan keuangan yang tidak transparan di antara pasangan sangat potensial menimbulkan konflik. Tidak buruk membantu keuangan orangtua atau saudara. Namun apabila tidak dikomunikasikan dengan baik kepada pasangan, hal ini bisa dianggap sebagai pencideraan atau pengkhianatan. Demikian juga dengan penggunaan keuangan yang tidak bijak. Pemenuhan keinginan-keinginan yang mengalahkan prioritas pemenuhan kebutuhan juga sangat potensial menjadi sumber konflik. Pada saat benar-benar dibutuhkan untuk membeli sesuatu yang ‘harus’, namun tidak dapat terpenuhi gara-gara uangnya dihabiskan untuk memperoleh hal-hal yang sekadar disenangi, nice to have. Pengaturan keuangan secara pribadi di antara pasangan (masing-masing), merupakan sumber potensi konflik yang paling rentan.

Seks. Bagi kebanyakan kaum pria, seks sering hanya merupakan aktivitas biologis semata. Pada saat ia membutuhkan pemenuhan, maka pada saat itulah aktivitas itu harus dilakukan. Sedang wanita lebih melihat bahwa seks adalah cara mengekspresikan rasa saling mencintai, perwujudan dari sebuah intimasi serta sarana untuk meningkatkan/ mengembangkan kedekatan, sehingga banyak perasaan yang dilibatkan untuk memulai sebuah keputusan melakukan hubungan seks. Agak tidak terlalu peduli dengan suasana hati pasangan, bahkan suasana hatinya sendiri, pria sepertinya siap kapan saja melakukan hubungan intim apabila ia merasa kebutuhan itu timbul. Sedangkan bagi wanita ajakan untuk berhubungan intim dalam suasana yang tidak harmonis menjadikan sebuah kejengkelan dan mengakibatkan penolakan.

Prioritas. Prioritas dalam keluarga harus menjadi concern kedua pasangan. Apabila hal ini tidak sejalan, artinya prioritas masing-masing pasangan berbeda (apalagi tidak mau saling menghormati dan menghargai) maka hal ini sangat potensial menjadi sumber konflik. Seorang suami yang memprioritaskan karier akan berjuang mati-matian untuk mengembangkannya melalui upaya bahkan pengorbanan akan hal lain demi tertunjangnya karier yang dibangunnya. Sedang pasangannya yang memprioritaskan keluarga akan selalu dipenuhi rencana dan kerinduan untuk bisa selalu bersama-sama dengan suami dan anak-anaknya: berkumpul, berpergian, beracara, bahkan hanya duduk-duduk bersama sambil bercengkerama dan membangun hubungan yang berkualitas di antara mereka. Ketemukah keinginan dan tindakan masing-masing? Tentu tidak. Hal inilah yang akan menjadi sumber konfliknya.

Mertua (keluarga besar). Keluarga besar (di luar keluarga inti) juga tidak jarang menjadi sumber konflik pasangan, terutama sekali mertua (perempuan). Banyak orangtua memperlakukan anaknya yang sudah berkeluarga sama seperti ketika yang bersangkutan belum mempunyai pasangan. Di depan mata orangtua, anak selamanya tetap adalah anak, yang perlu dinasihati, dilayani, dituntun, diarahkan, dikoreksi, bahkan diatur. Keberadaan pasangan yang dilupakan/diabaikanlah yang menjadi pemicu utama meledaknya konflik di antara pasangan yang disebabkan oleh perilaku yang tidak sepantasnya dari mertua. Lebih celaka lagi kalau pasangan mengaminkan seluruhnya apa yang ibunya lakukan, tanpa menimbang kewajarannya, sebagai sebuah kepantasan dan menuntut pasangannya untuk tetap bersikap menjunjung tinggi hal itu. Campur tangan yang berlebihan dan cenderung mengatur akan membuat embrio rumah tangga yang dibentuk dan dibangun menjadi berantakan dan tercabik-cabik. Pengeroposan dari dalam sulit dicegah karena dibalut rasa hormat dan bakti kepada orangtua.Namun demikian peran menantu yang tidak dapat membawakan diri dengan baik dan pantas di hadapan mertuanya juga sangat potensial menimbulkan persoalan dengan mertuanya yang pada akhirnya menjadi pemicu konflik dengan pasangannya.

Woow, banyak sekali pemicu konflik di antara pasangan. Kalau hal-hal di atas hanya dianggap sebagai pemicu umum, hal-hal apalagi yang secara khusus bisa menjadi pemicu? Yang di atas saja rasanya sudah terlalu banyak. Harus berapa banyak lagi ‘ancaman’ konflik ini ada dalam kehidupan berumah tangga?

Pemicu konflik pasangan memang sangat banyak, bahkan dikatakan apa pun bisa menjadi sumbernya. Namun daripada menemukan pemicu-pemicu itu yang hanya merupakan symptom, maka lebih penting untuk menemukan akar penyebabnya, sehingga apabila hendak melakukan perbaikan dapat dilakukan secara radikal dan benar sehingga diharapkan bisa menghasilkan dampak yang permanen.

Dari mana sih sebenarnya datangnya pertengkaran atau konflik di antara suami istri menurut Alkitab? Bacalah: Yakobus 4:1-3

Upaya Pemahaman

Menurut Roger W. Sperry, seorang psychobiologist dari Amerika, struktur otak pria berbeda dengan struktur otak wanita. Pria secara dominan cenderung menggunakan otak kiri, sementara wanita cenderung dominan menggunakan otak kanan. Struktur otak dan kecenderungan penggunaannya inilah yang pada akhirnya menimbulkan sikap dan respons yang berbeda antara pria dan wanita. Oleh karenanya diperlukan pemahaman atas kondisi ini agar perbedaan itu bisa dijadikan pembelajaran guna lebih mengerti kebiasaan dan kecenderungan pasangan masing-masing. Tabel di bawah menunjukkan kecenderungan umum dari perbedaan itu.

Pria

Wanita

Otak Kiri: Otak Kanan:
Rasional/lntelektual Perasaan/Emosi
Lebih banyak Analisis Lebih banyak lntuisi
Memori Jangka Pendek Memori Jangka Panjang
Mementingkan Hasil Mementingkan Proses
Mementingkan Prestasi Mengutamakan Relasi

Seorang istri terbangun pada tengah malam dan mendapati suaminya tidak berada di sisinya. Ia segera turun mencari dan mendapati suaminya berdiri di samping boks bayinya dengan wajah takjub. Ia merasa sangat terharu dan memeluk suaminya dari belakang sambil berbisik: “Sayangku, bukankah anak kita sangat tampan? Ia benar-benar lucu dan menggemaskan.” Suaminya berkata,”Benar-benar tidak bisa dipercaya,” sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. Istrinya menimpali, “Iya, aku pun kagum kepadanya.” Suaminya bergumam, “Iya, aku juga kagum, kok bisa tempat tidur bayi seperti ini saja harganya sampai 3 juta lebih sih? Enggak masuk akal”

Betapa nyatanya perbedaan pemikiran yang rasional dan yang mengedepankan perasaan. Anda bisa bayangkan kelanjutan pembicaraan di antara pasangan itu?

Dalam hal menggunakan daya analisanya, pria akan mempertimbangkan untung ruginya dalam membuat sebuah keputusan bisnis, investasi, juga ketika sekadar membeli sesuatu untuk keluarganya, bahkan untuk dirinya sendiri. Data, perhitungan di atas kertas serta analisis terhadapnya akan sangat dominan memengaruhi cara pria membuat keputusan. Sementara wanita, seolah punya ‘antene’ yang tidak kelihatan. Mempertimbangkan firasat, insting. Contoh dalam Alkitab dapat kita jumpai dalam istri Pilatus. Ia punya firasat lain ketika Yesus dibawa ke hadapan Pontius Pilatus dan ia menyampaikan hal itu kepada suaminya. Tapi Pilatus tidak menghiraukannya, ia punya perhitungan tersendiri.

Sepulang dari kantor seorang pria mendapati istrinya bergolek di tempat tidur. Ia menjamah dan merabanya sambil bergumam, “Istriku, kau kelihatan cantik sekali malam ini. “Sang istri diam saja tidak bereaksi. Masih segar terbayang dalam ingatannya suaminya membentaknya dengan keras sesaat sebelum berangkat ke kantor. Ia masih marah dalam pikirannya, “Tinggalkan aku sendiri.” Karena melihat istrinya diam saja, pria itu menganggap istrinya menikmati situasi mereka. Sambil tetap mengelusnya, sang pria duduk di pinggir ranjang sambil berkata: “Aku rindu sekali memelukmu.” Sang istri tetap diam, kemarahan di dalam pikirannya terus berlanjut, “Setelah seharian seperti ini, aku jadi tidak ingin berpelukan dengan orang tolol sepertimu.” Akhirnya sang pria merebahkan diri di samping istrinya sambil memeluk pinggang istrinya. Di puncak kemarahan dan sebalnya, tiba-tiba si istri bergeser, mendorongnya sambil membentak ketus:”Tinggalkan aku sendiri. Aku mau tidur.” Betapa kaget sang pria mendapatkan reaksi istrinya …

Wanita menyimpan memori dalam waktu yang lama. Sesuatu hal yang belum terselesaikan dan tidak memuaskannya akan tetap eksis dan mengganggunya, demikian pula sebaliknya dengan kesenangan yang dirasakannya. Wanita hidup berdasarkan kenangan masa silam. Sementara pria cepat melupakan hal-hal kecil yang dianggapnya tidak penting. Pria hidup berdasarkan kenyataan sekarang. Soal kemarahannya tadi pagi bisa jadi telah dilupakannya karena dianggap tidak penting, sementara sang istri terus memikirkannya sepanjang hari.

Ketika menemukan barang yang dicari, pria langsung begitu saja membelinya. Itu adalah wujud dari fokus pria pada hasil. Sementara wanita perlu menjelajah beberapa toko untuk memilih mana yang memberikan ‘kepuasan’ tertinggi pada keputusannya membeli. Membandingkan, menawar dan mencari alternatif lain adalah perwujudan fokus wanita pada proses. Yang nikmat itu putar-putar dan keluar-masuk tokonya, window shopping-nya.

Pria akan merasa tersanjung kalau ia dianggap hebat karena berprestasi, berguna, menjadi sumber kebaikan, dsb. Sebaliknya akan menyakitkan baginya apabila ia dianggap tidak berguna dan tidak bisa apa-apa. Oleh karenanya, istri jangan pelit pujian terhadap suami untuk memberikan pengakuan pada prestasinya. Di sisi lain wanita lebih menekankan relasi yang baik. Bahkan tidak jarang wanita mengorbankan pengakuan atas prestasinya demi membangun relasi yang lebih baik. Sebaliknya wanita akan sedih ketika ia merasa ditolak, dicueki, dianggap tidak ada dan tidak merasa dibutuhkan. Oleh karenanya penting bagi suami untuk menyisihkan waktunya guna memberi perhatian kepada istrinya melalui kebersamaan yang dibangun. Buat pasangan merasa diperhatikan dan diutamakan. Libatkan ia dalam banyak hal agar sang istri merasa dihargai dan dicintai.

Pria dan wanita memang berbeda. Namun justru melalui perbedaan itulah relasinya dibangun untuk saling melengkapi. Kutub magnet yang sama akan tolak-menolak, sebaliknya kutub yang berbeda akan saling tarik-menarik. Yang terpenting dalam upaya membangun relasi itu adalah pengetahuan dan kesadaran akan perbedaan itu. Pemahaman terhadap kecenderungan sikap dan respons masing-masing pasangan yang merupakan ‘bawaan dari sono’-nya.

Pada dasarnya tidak pernah cukup hanya menggunakan pemikiran rasional saja tanpa menyertakan perasaan, demikian juga sebaliknya, tidak cukup mengandalkan perasaan saja tanpa memperhitungkan pemikiran rasional. Keduanya harus tampil, berperan dan disertakan bersama secara seimbang. Hal inilah yang akan memberi kekuatan untuk melaksanakan upaya sinkronisasi melalui pemahaman yang didapat tadi.

 

Sujarwo & Linda
Disampaikan pada mini workshop Early Marriage
GKI Pondok Indah, 24 November 2012

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Keluarga
  • Menjembatani GAP Antar Generasi
    Friksi dalam Keluarga Di era pandemi ini banyak timbul gesekan di antara anggota keluarga. Apa yang tadinya tidak dianggap...
  • Kekuatan Hidup Harmonis
    Kej. 2:18-24; Mk. 10:2-16
    Manusia itu makhluk yang aneh. Sudah jelas Allah berkata, “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja,” atau dalam...
  • Keluarga Harta Paling Berharga
    “Harga dari segala sesuatu adalah sejumlah kehidupan yang kautukarkan dengannya.” ~Henry David Thoreau ~ Hal yang paling menarik untuk...
  • Tanggung Jawab
    Tanggung Jawab Tidak Dapat Diajarkan?
    “Saya ingin anak saya bertanggung jawab. Itu sebabnya saya mewajibkannya melakukan tugas tugas ini setiap hari. Kalau dia tidak...