Apa arti hidup bagi Anda? Dan bagaimana Anda menggambarkan hidup ini? Seperti roda yang berputar, seperti air yang mengalir, atau seperti apakah hidup bagi Anda? Ada yang mengatakan, hidup itu seperti roda pedati, kadang kita di bawah, berikutnya kita di atas. Karena itu, ketika berada di atas, kita sebaiknya tidak lupa diri. Dan ketika berada di bawah, kita jangan berputus asa. Semua ada waktunya. Jalani sajalah dengan sepenuh hati.
Ada yang berpendapat bahwa hidup itu seperti air yang mengalir dari pegunungan menuju laut. Dari kelahiran menuju kematian. Tak perlu merumuskan tujuan, sasaran, goals, outcomes, atau apa pun, mengalir sajalah dengan penuh keikhlasan. Semua sudah ada yang mengatur. Lihat Mbah Surip yang mengalir dengan “tak gendong kemana-mana”, bergembira dengan “ai lov yu ful hahahaha”, jujur mengaku “bangun tidur ku tidur lagi”.
Ada yang menggambar hidup ini cuma sekadar mampir minum. Segala sesuatu itu bersifat sangat sementara. Dibandingkan kehidupan kekal nanti, usia 70-80 bahkan 100 tahun pun tak ada artinya. Kekal itu bukan 1.000.000 tahun, bukan 1.000.000.000 tahun, dan bahkan bukan 1.000.000.000.000 tahun. Kekal itu triliunan tahun kali triliunan tahun kali dan kali dan kali. Tak ada batasnya. Karena itu janganlah melekat pada apa pun yang ada di muka bumi. Sebentar lagi semua itu akan lewat. Persiapkanlah diri untuk sesuatu yang bersifat jangka panjang, sampai ke keabadian, kekekalan.
Tentang hidup, Rick Warren, yang dikenal dunia sebagai penulis Purpose Driven Life, agaknya memiliki perspektif yang juga menarik untuk disimak. Dalam sebuah artikel pendek yang beredar di berbagai milis, pria yang hadir dan berdoa dalam acara pelantikan Presiden Amerika Serikat Barack Obama ini menulis:
Hidup ini adalah serangkaian masalah: Bila saat ini Anda sedang bergumul dengan sebuah masalah, sebenarnya Anda baru saja keluar dari suatu masalah, atau Anda sedang bersiap untuk bertemu dengan masalah yang baru. Hal ini terjadi karena Allah lebih berurusan dengan karakter Anda, ketimbang dengan kenyamanan Anda; Allah lebih tertarik membuat hidup Anda kudus ketimbang membuat hidup Anda bahagia.
Barangkali kita merasa pantas bahagia di bumi, tetapi itu bukan tujuan hidup ini. Tujuan hidup kita adalah bertumbuh dalam karakter, dalam keserupaan dengan Kristus. Setahun terakhir ini merupakan tahun terhebat dalam hidup saya, walaupun juga yang terberat karena mesti mendampingi istri saya, Kay, yang diserang kanker.
Saya terbiasa berpikir bahwa hidup ini adalah deretan gunung dan lembah–Anda akan berjalan melalui saat-saat gelap, lalu Anda akan mencapai puncak gunung, kemudian kembali lagi, begitu terus menerus. Kini saya tidak percaya itu lagi. Saya tidak lagi berpikir bahwa hidup ini gunung dan lembah, tetapi lebih seperti dua jalur kereta api yang menyatu di ujung, dan di sepanjang waktu Anda akan menjumpai hal baik dan juga hal buruk dalam hidup Anda. Tak peduli seberapa banyak hal baik Anda terima, Anda tetap akan berhadapan dengan hal buruk yang mesti Anda atasi. Sebaliknya, tak peduli seberapa buruk hidup yang Anda jalani, selalu ada hal baik yang dapat Anda syukuri.
Anda dapat berfokus pada tujuan, atau pada masalah Anda: Jika Anda berfokus pada masalah, Anda akan terpusat hanya pada diri sendiri, pada ‘masalah saya’, ‘problema saya’, ‘penderitaan saya’. Padahal salah satu cara termudah untuk lepas dari penderitaan adalah dengan tidak berfokus pada diri sendiri, tetapi kepada Allah dan sesama.
Bagi Warren, kita semua perlu belajar untuk bersahabat dengan hal-hal yang baik dan hal-hal yang buruk dalam hidup. Kita perlu belajar untuk bergaul dengan orang-orang baik dan orang-orang yang tidak baik dalam hidup. Dan dalam semua proses bersahabat dan bergaul itu, kita hanya perlu memastikan bahwa watak dan karakter kita dibentuk dan dibangun agar menjadi lebih sesuai dengan fitrah kita sebagai manusia ciptaan Tuhan, homo imago Dei, homo khalifatullah, atau apa pun istilahnya.
Membentuk karakter, itulah tujuan hadirnya sejumlah persoalan hidup yang pelik. Membentuk karakter, itulah tujuan dari banyaknya peluang tertawa ria karena percikan-percikan kebahagiaan yang lewat. Keberhasilan dimaksudkan untuk membentuk watak kita. Kegagalan juga diizinkan agar karakter terpatri dengan baik.
Ibarat sebuah batu di tangan seorang pemahat yang terampil, semua pukulan alat dimaksudkan untuk mengukir dan membentuk agar batu itu kemudian menjadi patung yang indah, menjadi cindera mata yang menarik, memiliki bentuk yang khas dan unik. Begitulah Warren menempatkan Tuhan sebagai Sang Pemahat Agung, dan batu ukiran adalah manusia-manusia yang menjadi karya seni-Nya. Sementara berbagai peristiwa, entah itu penuh kebahagiaan atau justru sarat dengan penderitaan, dimaksudkan sebagai pukulan-pukulan kecil untuk membentuk batu agar menjadi sesuai dengan keinginan Sang Pemahat Agung itu.
Sukses besar yang direngkuh Warren dengan buku Purpose Driven Life, segera diikuti kenyataan istrinya Kay terserang kanker. Ia jadi menemukan cara lain memandang hidup. Hidup bukanlah lagi seperti gunung dan lembah; bukan seperti roda pedati yang berputar. Hidup seperti dua rel kereta yang menyatu di ujung. Dua rel, sedih-gembira, susah-senang, gagal-sukses, dan hal-hal sejenis datang bersamaan atau silih berganti. Meski berbeda emosinya, tujuan keduanya adalah mengantar ke ujung yang satu: agar manusia menjadi manusia sebagaimana ia diciptakan oleh Tuhan; agar manusia membentuk watak dan karakternya sesuai tugas penciptaannya.
Warren mengingatkan saya kembali pada dua pernyataan penting yang pernah saya renungkan bertahun silam. Pertama, pernyataan Hakim Agung Amerika, Antonin Scalia, di tahun 90-an: “Bear in mind that brains and learning, like muscle and physical skills, are articles of commerce. They are bought and sold. You can hire them by the year or by the hour. The only thing in the world not for sale is character. And if that does not govern and direct your brains and learning, they will do you and the world more harm than good” (Ingatlah bahwa kecerdasan dan pengetahuan, seperti otot dan keterampilan fisik lainnya, adalah materi yang diperdagangkan. Semua itu diperjual-belikan. Anda bisa membayarnya per tahun atau per jam. Satu-satunya hal yang tidak bisa diperjualbelikan adalah karakter. Dan jika karakter tidak mengarahkan kecerdasan dan pengetahuan Anda, maka ia akan mendatangkan keburukan bagi Anda dan dunia ini).
Pernyataan kedua datang dari Heller Keller (1880-1968), perempuan buta tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904. Ia mengatakan, “Character can not be develop in ease and quite. Only throught experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved.” (lebih lanjut tentang Keller, lihat www.hki.org)
Membangun karakter terpuji, itulah tujuan hidup yang patut kita pilih. Setujukah Anda?
Tabik Mahardika!
Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.