Di sekolah kehidupan kita menyaksikan perubahan datang silih berganti. Orang-orang berubah. Pada umumnya, yang kecil menjadi remaja, yang remaja menjadi dewasa, yang dewasa menjadi tua, dan yang tua meninggal dunia. Organisasi juga berubah, sejumlah organisasi bangkrut dan bubar karena tak bisa menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman, sementara organisasi-organisasi baru muncul. Lingkungan alam mengalami perubahan pula, hutan-hutan ditebang, dan jalan-jalan serta gedung-gedung dibangun dalam anekaragam bentuk. Penguasa yang satu diganti penguasa yang lain, dan bahkan peta dunia pun mengalami penyesuaian di sana-sini (entah karena runtuhnya tembok Berlin, bubarnya Uni Soviet, atau terpisahnya Timor Leste dari Indonesia).
Jika diamati agak saksama, secara umum perubahan-perubahan yang terjadi acapkali bergulir perlahan, sedikit demi sedikit, dan baru pada titik tertentu muncul sebagai perubahan yang dahsyat. Ibarat bola salju yang menggelinding, mulanya kecil, namun terus bergulung dan makin ke bawah makin membesar, sampai terlalu besar untuk bisa dihentikan seketika. Ibarat kerutan di wajah yang datangnya entah kapan, tetapi suatu ketika kita sadar bahwa usia telah menjadi tua. Ibarat saluran-saluran air yang mampet di berbagai sudut-sudut kota Jakarta, tak terasa dan tak nampak di saat musim kemarau yang kerontang. Namun ketika hujan deras muncul tiba-tiba, apa yang semula tak nampak itu sekonyong-konyong menjadi sangat jelas.
Untuk bisa membaca arus perubahan dalam masyarakat, sejumlah pakar menyarankan agar kita memperhatikan perubahan perilaku dan cara berkomunikasi pada anak-anak atau cucu-cucu kita. Misalnya, Mochtar Ryadi, ikon perbankan di paruh terakhir abad dua puluh silam, meramalkan bahwa electronic banking, khususnya yang berbasis internet, akan mendominasi wajah perbankan di abad dua puluh satu. Hal ini ia simpulkan sebelum tahun 2000 silam, setelah menyaksikan pola komunikasi cucu-cucunya yang sangat akrab dengan internet. Karena cucu-cucunya yang berusia sekolah dasar mengakrabi internet, maka kelak mereka pasti menggunakan berbagai jasa dan produk yang mudah diperoleh lewat internet.
Dengan sistem penalaran yang sama, Tim Lahaye dalam The Battle for the Family, pernah mencoba memetakan persoalan-persoalan sosial yang mungkin muncul dalam masyarakat Amerika dengan mendaftarkan sepuluh masalah terbesar yang muncul di sekolah-sekolah. Tidak tanggung-tanggung, Lahaye mengutip hasil survei berskala nasional, yang membandingkan apa yang dikeluhkan oleh para pengajar di dunia persekolahan Amerika dalam rentang 50 tahun, yakni 1940 dan 1990. Dan hasilnya sungguh pantas untuk dipelototi baik-baik seperti nampak dalam tabel berikut.
SEPULUH MASALAH TERBESAR DI SEKOLAH-SEKOLAH AMERIKA SERIKAT |
|
Pada tahun 1940 | Pada tahun 1990 |
Membolos sekolah | Tindak kekerasan |
Berlari di lorong-lorong sekolah | Pencurian |
Berebut bicara di kelas | Perkosaan |
Tidak mengerjakan PR | Melecehkan pengajar |
Memotong antrean | Membawa senjata |
Tidak mengembalikan buku | Vandalisme-perampokan |
Makan permen karet di kelas | Bunuh diri |
Ngobrol di perpustakaan | Pembakaran |
Memecahkan kaca jendela | Penyalahgunaan obat terlarang |
Mencoret-coret | Perkelahian antar sekolah/kelompok |
Masih di Amerika, sejumlah survei lain yang dipaparkan oleh Paul Stoltz dalam bukunya Adversity Quotient (1997). Disebutkan bahwa penggunaan narkoba di antara anak-anak usia 12 hingga 17 tahun meningkat 78 persen sejak 1992. Sekitar 60 persen pernikahan berakhir dengan perceraian atau perpisahan. Rumah tangga tradisional, dengan dua orangtua biologis dan anak-anak mereka sendiri, hanya mencapai 8 persen dari total rumah tangga di tahun 1984. Rumah tangga dengan orangtua tunggal [single parent] meningkat 200 persen sejak 1970. Anak-anak dari rumah tangga semacam ini memiliki kemungkinan lebih dari 64 persen untuk mempunyai anak di luar nikah, dan lebih dari 93 persen akan bercerai seandainya mereka menikah.
Semakin banyak anak-anak yang melahirkan anak-anak. Pada tahun 1996, terdapat 500.000 bayi yang dilahirkan oleh ibu-ibu remaja. Sejak 1960, kelahiran di luar nikah meningkat 400 persen. Oleh karena itu, mungkin tidak terlalu mengejutkan apabila anak-anak merupakan 48 persen kaum miskin di negeri Hollywood itu.
Anak-anaklah yang paling menderita jika tidak memperoleh pendidikan yang benar. Banyak yang mudah kehilangan harapan. Bunuh diri di kalangan remaja telah berlipat tiga sejak 1960. Sebanyak 59 persen kaum remaja Amerika mengenal seseorang yang pernah mencoba bunuh diri, bahkan 26 persen mengenal seseorang yang berhasil bunuh diri. Angka-angka itu semakin mengkhawatirkan di antara anak-anak warga negara asli Amerika, 30 persen di antaranya pernah mencoba bunuh diri.
Perceraian mengakibatkan 3 dari 4 remaja bunuh diri, dan 4 dari 5 remaja masuk rumah sakit jiwa. Banyak pakar yang mengatakan bahwa semua itu terjadi karena para remaja Amerika kehilangan kendali atas hidup mereka. Para psikolog melihat kecenderungan yang meresahkan, yakni menyakiti diri, membakar, menyayat dan menodai, di antara kaum remaja putri.
Jika proses pendidikan dianggap bertanggung jawab atas berbagai perubahan tersebut di atas, maka sejumlah survei menunjukkan bahwa anak-anak usia Taman Kanak-kanak menghabiskan waktu rata-rata 4 jam menonton televisi. Sementara seorang remaja menghabiskan waktu 1,8 jam untuk membaca, lalu 5,6 jam untuk mengerjakan pekerjaan rumah, dan 21 jam untuk menonton televisi setiap minggunya [3 jam per hari]. Setiap harinya kaum remaja menghabiskan waktu rata-rata 5 menit dengan ayahnya, dan 20 menit dengan ibunya. Karena tidak ada sensor terhadap acara-acara yang ditayangkan televisi, seorang anak yang tamat sekolah dasar telah menyaksikan sekitar 100.000 tayangan tindak kekerasan.
Begitulah selayang pandang proses perubahan yang sedang terjadi dalam masyarakat Amerika, sebuah negeri yang dianggap paling maju di planet bumi ini. Lalu apa artinya semua itu bagi kita? Bagi orang-orang di negeri bernama Indonesia ini?
Sebagai pembelajar di sekolah kehidupan Indonesia, sejumlah hal harus kita petik sebagai pelajaran berharga. Sekurang-kurangnya, membaca pengalaman Amerika mungkin memberi sedikit gambaran mengenai persoalan-persoalan yang perlu kita antisipasi dalam konteks perubahan dalam masyarakat kita. Sebab kita tahu, bahwa persoalan-persoalan yang dihadapi di sekolah dan masyarakat telah berubah, dan itu tidak saja terjadi di Amerika sana. Dalam intensitas atau kadar yang berbeda, kita juga merasakan apa yang sedang terjadi di negeri ini.
Jika di Amerika beberapa kali diberitakan bahwa ada anak sekolah yang menembak mati kawan-kawannya, maka di Indonesia kita membaca ada anak sekolah yang mencoba bunuh diri karena malu tak bisa bayar uang/iuran sekolah (Jawa Barat). Ada juga anak sekolah yang bunuh diri karena tidak berhasil menjadi juara seperti tuntutan ayahnya (Jakarta). Tawuran pelajar yang menggunakan senjata tajam sudah mulai menjadi berita rutin di sejumlah kota besar Indonesia. Remaja putri yang hamil atau mengalami tindak kekerasan seksual juga makin sering kita baca/dengar liputannya di sejumlah media, cetak dan elektronik. Anak-anak putus sekolah juga cenderung bertambah, dan sebagian menggelandang di jalan-jalan kota besar. Singkatnya, keluhan para pengajar di Amerika ternyata tak jauh berbeda dengan keluhan para pengajar di sekolah-sekolah kita dewasa ini. Hanya saja, dalam konteks kita, angka-angkanya sangat sulit diperoleh karena kurangnya studi-studi semacam itu (atau kurang publikasinya?).
Fenomena perceraian juga kita rasakan meningkat, bukan cuma di kalangan selebritis, tetapi juga di lingkungan hidup kita sehari-hari. Di perkotaan, khususnya kompleks perumahan, tidak sulit menemukan pasangan yang bercerai atau berpisah di tiap rukun tetangga (RT) yang terdiri dari 40-80 kepala keluarga (KK).
Masih di perkotaan, orangtua tunggal dengan satu-dua anak juga mudah kita temukan di lingkungan kerja. Kasus-kasus narkoba, nekaragam tindak kriminal, penggundulan hutan, kebakaran hutan, banjir dan tanah longsor, serta masalah-masalah sosial-ekonomi lainnya (termasuk korupsi yang tiada henti) terakumulasi dari waktu ke waktu. Lalu secara perlahan harapan-harapan kita teraniaya oleh berat dan kompleksnya persoalan hidup sehari-hari.
Semua penggambaran di atas tidak dimaksudkan untuk membuat kita pesimis dan putus asa. Sebab bagaimana pun sulitnya persoalan hidup yang kita hadapi, pasti ada jalan keluar yang bisa – dan memang harus – diupayakan. Penggambaran di atas hanya ingin menggugah kesadaran bahwa kita hidup di zaman yang serba sulit, dan cenderung semakin sulit. Karenanya untuk bertahan dan berkembang di zaman seperti ini, kita perlu memanfaatkan seluruh potensi dan bakat/talenta terbaik yang terpendam di dalam diri kita. Kita perlu memanfaatkan segala jenis kecerdasan, entah itu kecerdasan intelegensi, kecerdasan emosional, kecerdasan musikal, kecerdasan fisik, kecerdasan inter-personal, kecerdasan intra-personal, kecerdasan spasial, kecerdasan praktikal, kecerdasan adversitas, kecerdasan spiritual, bersama dengan kecerdasan-kecerdasan buatan (artifisial) lainnya.
Dengan lain perkataan, ketika arah perubahan yang menuju pada kesulitan-kesulitan yang lebih rumit dan kompeks, kita sesungguhnya ditantang untuk terus menerus mengembangkan kesadaran atas potensi kemanusiaan kita, sambil terus menerus mengikuti proses pembelajaran berkelanjutan, dan mencari cara-cara praktis untuk menyiasati beban-beban kehidupan di lingkungan kerja, dan lingkungan hidup di mana kita mengabdikan diri. Jika perubahan menunjuk kepada masalah dan tantangan yang lebih besar, kita harus sadar, belajar, dan berlatih untuk menghadapinya tanpa pernah menyerah. Adakah cara lain di luar sadar-belajar-berlatih? Tabik Mahardika!
Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.