Menolak Wisata Tanah Suci: Sebuah Pengantar
Izinkan saya mulai dengan sebuah sharing pribadi. Selama setahun belakangan, sekitar sepuluh kali saya menerima tawaran untuk menjadi pembimbing spiritual bagi wisata ke tanah suci, Israel. Semua menjanjikan tiket dan akomodasi gratis. Bahkan ada yang memberi kesempatan kepada isteri saya untuk ikut. Gratis juga tentunya.
Terlepas dari banyaknya cerita yang saya dengar dari banyak anggota jemaat saya yang merasa “diberkati” oleh ziarah rohani itu, sejak dulu saya memang selalu tak pernah mau menerima tawaran semacam itu. Mengapa? Alasan saya sederhana saja. Saya sudah mengangkat sebuah tekad pribadi: Selama Israel dan Palestina tidak berdamai sepenuhnya, saya tak akan mau melakukan wisata rohani ke sana.
Sebagian orang mengatakan bahwa itu alasan yang dibuat-buat saja (Mungkin di benak orang itu, saya takut terkena peluru nyasar atau bom random). Namun, saya berpikir, bagaimana mungkin kita menikmati berkat-berkat rohani di tengah penderitaan orang banyak akibat politik dan peperangan yang tak manusiawi itu.
Lantas, LAI meminta saya untuk membahas tema “Israel Alkitab dan Israel Kontemporer” di STT GKI I.S. Kijne ini. Lewat penelitian yang saya lakukan selama mempersiapkan makalah ini, banyak informasi baru yang saya peroleh… Dan saya diyakinkan bahwa keputusan personal saya di atas tepat! Namun, sekaligus, ada kompleksitas tersendiri yang memperkaya keputusan saya itu. Apa yang hendak saya paparkan di bawah ini adalah posisi-posisi teopolitis yang selama ini harus saya nilai keliru terkait dengan problem Israel kontemporer.
Namun sebelumnya, saya perlu menyajikan secara ringkas sejarah kehadiran Israel modern yang memuncak pada konflik berkelanjutan antara Israel dan Palestina. Lantas, sesudah memaparkan dua posisi keliru yang akan saya kritisi, akan dipaparkan posisi yang saya usulkan.
Kisah Sebuah Bangsa Tanpa Tanah
Nicholas de Lange suatu kali menulis, “Apa yang menyatukan orang-orang Yahudi bukanlah sebuah kredo namun sebuah sejarah: sebuah perasaan yang kuat tentang sebuah muasal bersama, sebuah masa lalu dan sebuah tujuan yang sama… terdapat sebuah keyakinan yang kuat bahwa di ujung sejarah ini, umat yang terpencar itu akan dipersatukan di tanah nenek-moyang mereka, Tanah Israel” (de Lange 2000, 26). Karakteristik semacam inilah yang agaknya membedakan orang-orang Yahudi dari orang-orang Kristen, karena Kekristenan meyakini diri sebagai sebuah iman dan cerita Kekristenan adalah cerita tentang iman yang menyebar ke seluruh dunia tanpa perlu peduli pada muasal geografisnya. Perbedaan antara Yudaisme dan Kekristenan ini–yaitu antara sejarah dan iman–membuat orang Kristen luput memahami motif yang selalu membakar hati orang-orang Yahudi diaspora, yang akhirnya mengkristal ke sebentuk Negara Israel.
Setelah Revolusi Besar Yahudi melawan penjajah Romawi pada tahun 66 berujung pada penghancuran Bait Allah Kedua (tahun 70), muncul serangkaian perang lainnya. Salah satunya adalah Perang Bar Kokhba (132-136). Perang itu disulut oleh kemarahan orang-orang Yahudi yang tadinya menanti janji Kaisar Hadrian untuk membangun kembali Yerusalem. Janji itu diberikan oleh sang kaisar dalam kunjungan ke Yerusalem pada tahun 130. Dalam kenyataannya, pada tahun 131, sang kaisar justru memulai proyek pengubahan kota tersuci bagi orang Israel itu menjadi kota besar bagi pemerintah Romawi (Aelia Capitolina) dan membangun kuil besar bagi dewa Yupiter di atas puing Bait Allah.
Ketegangan meningkat ketika kaisar melarang sunat yang dalam budaya Romawi dianggap sebagai mutilasi. Pada tahun 132 dimulailah Perang Bar Kokhba yang berakhir dengan kekalahan Bar Kokhba di tahun 136. Seluruh nama negeri diganti menjadi Palestina–meminjam nama Filistin yang menjadi musuh Israel kuno.
Orang-orang Yahudi diusir dari tanah mereka dan menjadi umat diaspora yang menyebar ke segala penjuru dunia. Sejak saat itu Yudaisme menjadi sebuah entitas portable yang terserak. Dan bukankah Israel sejak lama memang sudah memiliki segudang pengalaman tercerabut dari tanah mereka. Namun, pada saat bersamaan, bangsa ini selalu saja mengguratkan kerinduan mereka pada tanah terjanji itu. Selama di pembuangan Babil (dimulai 587 BCE), misalnya, sebuah kidung kerinduan akan tanah terjanji itu terekam dalam Mazmur 137:1, “Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.”
Akan tetapi harapan akan Sion tidak sama dengan Sionisme. Nama yang belakangan ini muncul pada ujung abad ke-19 sebagai sebuah gerakan politis untuk menciptakan sebuah negara Israel modern, yang tentunya harus dimulai dengan imigrasi kaum Yahudi diaspora ke sebuah lokasi geopolitis yang baru. Nama ini dimunculkan pertama kali oleh Nathan Birnbaum dalam tulisannya, Self-Emancipation: An Organ of the Zionist. Emansipasi, dengan demikian, menjadi kata kunci, yang muncul sebagai respons atas kegagalan politik asimilasi yang selama ini dijalankan oleh orang-orang Yahudi diaspora. Politik asimilasi ternyata tidak juga menghapuskan sikap anti-semitis yang mengakar di banyak daerah di mana orang-orang Yahudi hidup.
Sikap anti-semitis sendiri bukanlah kisah baru. Ia memiliki sejarah yang panjang, bahkan memiliki akar-akar tertentu dalam Perjanjian Baru–jika ditafsirkan secara keliru. Paulus, misalnya, menulis dalam 2 Tesalonika 2:15, “Bahkan orang-orang Yahudi itu telah membunuh Tuhan Yesus dan para nabi dan telah menganiaya kami. Apa yang berkenan kepada Allah tidak mereka pedulikan dan semua manusia mereka musuhi.” Dengan cara lain injil-injil juga menggambarkan orang-orang Yahudi sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kematian Yesus.
Sentimen anti-semitis terus berkembang di masa gereja mula-mula dan bahkan sampai dengan Luther sendiri. Perlahan-lahan sentimen anti-semitis religius ini berubah menjadi (atau tepatnya, bertambah dengan) sentimen antisemitis rasial dan bahkan biologis. Lantas, puncak dari sentimen ini tentu saja adalah holocaust atau shoah yang berakibat matinya enam juta orang Yahudi di Eropa oleh Nazisme Hitler.
Namun jauh sebelum Hitler muncul, Sionisme telah bekerja dan memberi hasil yang cukup jelas. Gerakan ini sendiri tak dapat disebut sebagai gerakan religius. Hans Küng dengan tepat mengatakan, “Berlawanan dengan pengharapan yang murni religius terhadap Sion, Sionisme adalah adalah gerakan politis dan sosial yang berusaha mencapai pembentukan sebuah negara Yahudi (entah di Palestina atau tempat lain) ‘dari bawah,’ yaitu lewat tindakan dan usaha manusia… Sionisme merupakan sebuah gerakan yang secara unik modern yang semakin mensekularisasi dan mempolitisasi janji religius” (Küng 1992, 283).
Gerakan ini memperoleh bentuk konkretnya lewat Theodore Herlz (1860-1904), seorang jurnalis dan pengacara Yahudi asal Wina. Sama seperti para Sionis lain, Herlz tidak pernah memaknai Sionisme sebagai sebuah gerakan agama, melainkan sebuah gerakan politis. Ideologi Sionisme dengan demikian dirumuskan sebagai sebuah ideologi negara bertanah, yang dengan tepat diwakili oleh kalimat Jacob Klatzkin ini: “[Pilihan kita adalah] orang-orang Yahudi menebus tanah dan terus hidup, sekalipun isi spiritual dari Yudaisme berubah secara radikal atau kita tetap tinggal di pembuangan dan membusuk, sekalipun tradisi spiritual kita terus hidup” (Neusner 1995, 168).
Sekalipun beberapa lokasi sempat diusulkan, seperti Uganda, Argentina dan beberapa tempat lain, akhirnya pilihan jatuh ke Palestina. Usaha untuk mencari “tanah-tanpa-bangsa” sebagai tempat tinggal bagi “bangsa-tanpa-tanah” ini ternyata mengarah pada sebuah tanah yang sudah dihuni oleh sebuah bangsa: Palestina, dengan enam dari tujuh orang yang ada di sana merupakan orang Arab, juga dengan penduduk Islam maupun Kristen! Akhirnya secara bertahap ratusan ribu orang Yahudi di seluruh dunia berimigrasi (aliyah) ke Palestina. Dan itu berarti juga pengusiran paksa bangsa Palestina-Arab. Sang tertindas kini berbalik menjadi penindas.
Sementara anti-semitisme di Dunia Barat mulai melemah, bahkan di sebagian tempat malah berubah menjadi sikap pro-Israel, semangat anti-semitisme menguat hebat di Dunia Islam. Solidaritas politis terhadap bangsa Palestina berubah menjadi solidaritas keagamaan. Jika anti-semitisme adalah sikap keliru pertama yang saya tentang, maka apa yang hendak saya paparkan di bagian selanjutnya adalah sikap pro-Israel sebagai sikap keliru kedua terhadap kasus Israel kontemporer.
Aliansi Janggal
Mereka yang tertarik dengan situasi keberagamaan kontemporer di Amerika Serikat pastilah sepakat bahwa telah berlangsung, khususnya sejak Perang Dunia II berakhir, sebuah persahabatan yang aneh, sebuah aliansi janggal, antara orang-orang Kristen Injili dan Fundamentalis dan orang-orang Israel. Orang-orang Kristen Injili dan Fundamentalis Amerika yang pada umumnya menganut sikap eksklusivisme (keselamatan hanya di dalam Yesus Kristus) memberi dukungan sangat besar kepada orang-orang Israel yang tidak memercayai Yesus sebagai Mesias. Alasan teologis apa yang melandasi pertemanan ganjil ini?
Orang-orang Kristen Injili-Fundamentalis itu memercayai sebuah teologi yang disebut pre-milenialisme dispensasionalis, yang mengajarkan bahwa pulangnya orang-orang Israel ke Tanah Perjanjian dan berdirinya Negara Israel akan menjadi tanda bagi–bahkan mempercepat datangnya–akhir zaman. Dalam posisi teologis ini, Yesus akan datang dan membasmi semua musuh Israel serta mengangkat semua orang percaya ke awan-awan. Peperangan dahsyat antara Israel dan musuh-musuhnya pun menjadi salah satu tanda lain dari akhir zaman. Itu sebabnya, usaha perdamaian antara Israel dan Palestina mereka pandang sebagai proses makin tertundanya kedatangan Yesus untuk kedua kalinya. Itu sebabnya, pembunuhan Yitzhak Rabin (4 Nopember 1995) dimaknai sebagai hukuman Allah karena ia sudah mengusahakan perdamaian dan mencegah perang.
Sebagian dari mereka kemudian melapisi keyakinan akhir zamannya dengan pendirian bahwa Israel kontemporer tetaplah bangsa pilihan Allah, sama seperti Israel dalam Alkitab. Karena itu, janji Allah kepada Abraham tetap berlaku. Tidak memberkati Israel tentulah berarti mengingkari perintah Allah. Sebagian lagi, belakangan, mulai menganut doktrin perjanjian-ganda (dual covenant) yang mengecualikan Israel dari perjanjian baru Allah melalui dan di dalam Yesus Kristus. Sementara itu, di sisi lain, orang-orang Israel tak memercayai doktrin utama sahabat mereka dan sekadar menerima dukungan keuangan yang sangat besar dan pertolongan untuk memulangkan ribuan orang Israel dari seluruh penjuru dunia.
Yang pasti, hampir seluruh kaum Sionis atau Dispensasionalis (sebutan lain untuk kelompok Kristen Injili-Fundamentalis yang pro-Israel) ini tak peduli sama sekali dengan nasib orang-orang Kristen Palestina yang cukup besar jumlahnya. Bagi mereka, Palestina secara keseluruhan identik dengan “musuh Allah.” Maka, dapat disinyalir, bahwa sikap anti-Palestina yang dimiliki sebagian orang Kristen muncul atas dasar pemahaman bahwa “musuh dari sahabatku adalah musuhku;” sedang sikap pro-Israel yang muncul didasari mentalitas “musuh dari musuhku adalah sahabatku.”
Kisah panjang-lebar di atas semoga dapat menjadi pintu masuk yang pas untuk membahas isu yang tengah kita diskusikan hari ini. Apakah Israel Alkitab sama dengan Israel Kontemporer? Atau, bagaimana sikap Kristen yang menghayati diri sebagai kontinuitas dari Israel Alkitab terhadap Israel modern?
Sikap Kita
Terlepas dari sejarah sikap orang-orang Kristen terhadap Yudaisme di masa silam, gereja-gereja pada masa kini sangat beragam. Sikap gereja-gereja Injili dan fundamentalis di Amerika Serikat, sebagaimana dibahas di atas, mewakili sisi kanan, sedangkan sikap gereja-gereja arus utama lazimnya berada di sisi sebaliknya.
Tentang kelompok yang terakhir bisalah dikatakan dua hal. Pertama, muncul kesadaran dan pernyataan-pernyataan eksplisit pasca-holocaust yang mengutuki tindakan biadab tersebut, yang justru muncul di negara-negara di mana orang Kristen menjadi mayoritas. Posisi semacam itu sekaligus menegaskan kontinuitas dan diskontinuitas antara Yudaisme dan Kekristenan. Beberapa gereja malah meminta maaf atas sikap diam mereka saat holocaust terjadi. Kedua, terlepas dari usaha melepaskan diri dari anti-semitisme, gereja-gereja juga mengambil sikap kritis terhadap invasi Israel ke Palestina. World Council of Churches atau Dewan Gereja-Gereja Dunia (WCC atau DGD), misalnya, telah mengambil sikap yang relatif konsisten atas konflik Timur Tengah sejak tahun 1948, yaitu sejak deklarasi Negara Israel pada tanggal 14 Mei 1948. Sikap ajek WCC itu dapat dirumuskan ke dalam sebelas sikap dasar:
- Rakyat Palestina memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri (selfdetermination);
- Israel dan keamanan mereka yang sah perlu diakui;
- Perlunya kehidupan dan kesaksian gereja-gereja lokal menuntun gereja seluruh dunia dalam doa, dukungan dan advokasi bagi perdamaian;
- Yerusalem haruslah menjadi sebuah kota yang terbuka, inklusif dan didiami bersama dalam hal kedaulatan dan kewarganegaraan.
- Pendudukan adalah ilegal, demikian juga ekspansi yang berlangsung;
- Tembok Pemisah adalah ilegal.
- Dukungan terhadap sebuah solusi dua-negara (two-state solution);
- Dukungan terhadap kelompok-kelompok di kedua pihak yang berjuang bagi perdamaian;
- Kekerasan dalam segala bentuknya dikecam;
- Tekanan embargo ekonomi merupakan bentuk-bentuk tekanan yang bisa diterima demi tercapainya perdamaian;
- Perdamaian di Israel dan Palestina tak terpisahkan dari perdamaian dunia .
Sikap WCC ini menunjukkan beberapa hal menarik. Pertama, Israel modern disikapi secara proporsional sebagai sebuah entitas politis modern, yang berbeda dengan Israel Alkitab. Akibatnya, sikap kritis terhadap situasi konflik tidak dilambari oleh sentimen religius. Kedua, perdamaian dan keadilan menjadi prinsip utama dalam bersikap, sehingga pemihakan dilakukan kepada siapa pun yang menjadi korban kekerasan dan ketidakadilan.
Sehubungan dengan hal kedua di atas, peta politik hubungan Israel-Palestina rupanya telah meyakinkan WCC bahwa pemihakan harus lebih diberikan pada rakyat Palestina yang menjadi korban penindasan Israel. Hal ini terbukti dari dukungan yang diberikan oleh WCC maupun banyak gereja anggotanya terhadap dokumen penting yang dilansir pada tanggal 11 Desember 2009, yang bernama Kairos Palestine: A Moment of Truth. Dokumen ini merupakan jeritan pemimpin-pemimpin Kristen Palestina yang di satu sisi menolak tafsir fundamentalis atas Kitab Suci dan tradisi Kristen yang justru melakukan pembenaran dan legitimasi atas pendudukan Palestina oleh Israel dan, di sisi lain, menyuarakan pesan profetis gereja agar perdamaian yang adil (just peace) bisa diperjuangkan bagi kedua negara. Terhadap yang pertama, sebuah kalimat menarik muncul dan semoga membantu kita (gereja-gereja di Indonesia) untuk mengambil sikap pula:
6.1. …However, it is also a call to repentance; to revisit fundamentalist theological positions that support certain unjust political options with regard to the Palestinian people. It is a call to stand alongside the oppressed and preserve the word of God as good news for all rather than to turn it into a weapon with which to slay the oppressed. The word of God is a word of love for all His creation. God is not the ally of one against the other, nor the opponent of one in the face of the other. God is the Lord of all and loves all, demanding justice from all and issuing to all of us the same commandments. We ask our sister Churches not to offer a theological cover-up for the injustice we suffer, for the sin of the occupation imposed upon us. Our question to our brothers and sisters in the Churches today is: Are you able to help us get our freedom back, for this is the only way you can help the two peoples attain justice, peace, security and love?
Atas dasar pemaparan saya dan sikap WCC dan Dokumen Kairos Palestine di atas, izinkan saya merumuskan beberapa butir kesimpulan dan refleksi terhadap topik bahasan kita.
- Israel modern harus dibedakan dengan Israel Alkitab. Israel modern adalah sebuah entitas politis modern. Namun, pada saat bersaman kita tetap harus menghargai warisan religius Yudais yang dipertahankan oleh orang-orang Yahudi (bukan negara Israel). Terdapat kontinuitas dan diskontinuitas antara Yudaisme dan Kekristenan–justru karena iman kita pada Yesus Kristus, yang lahir sebagai seorang Yahudi itu.
- Kita perlu menolak dua sikap keliru yang banyak menjangkiti orang Kristen: anti-semitisme religius-rasial terhadap orang Yahudi dan dukungan kepada Israel hanya dengan asumsi bahwa Israel modern identik dengan Israel Alkitab.
- Sikap terhadap konflik Israel-Palestina harus dilandasi prinsip kristiani yang diajarkan Yesus: perdamaian, keadilan, persahabatan, penghargaan pada perbedaan. Kita perlu mengecam pihak mana pun melanggar prinsip-prinsip itu.
- Dukungan terhadap proses perdamaian Israel-Palestina harus dikerjakan sesuai dengan kapasitas kita masing-masing, baik melalui doa maupun karya.
Tiga refleksi di atas tentu saja dapat diperkaya selanjutnya atau melalui diskusi kita, selain juga sebagai tambahan atas sebelas prinsip dasar WCC yang saya sepakati. Untuk menutup makalah ini, izinkan saya mengekspresikan sebuah pengandaian. Seandainya saya memperoleh kesempatan untuk melakukan sebuah wisata rohani ke Tanah Palestina dan diberi kebebasan untuk menetapkan rute yang akan saya jalani, maka saya akan mengunjungi situs-situs menarik di Israel dan Palestina, mengunjungi penduduk lokal di kedua negara, secara khusus mengunjungi Yerusalem serta menaikkan sebuah doa perdamaian agar kota itu menjadi kota bagi tiga agama (Kristen, Islam dan Yahudi).
Pdt. Joas Adiprasetya
Literatur
De Lange, Nicholas. An Introduction to Judaism. Cambridge: Cambridge University Press, 2000.
Küng, Hans. Judaism: The Religious Situation of Our Time. London: SCM, 1992.
Neusner, Jacob. Judaism in Modern Times: An Introduction and Reader. Oxford: Basil Blackwell, 1995.
Tjen, Anwar. “Israel dan Prasangka-Prasangka Kita.” Dlm. Berteologi Memang Asyik; Kumpulan Refleksi Teologi Menghormati 91 Tahun Pdt. Prof. Dr. P.D. Latuihamallo.” Jakarta: LAI, 2009.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.