Pesta demokrasi selalu menyedot perhatian seluruh warga negara Indonesia. Khususnya Pilkada DKI Jakarta tahun ini yang penuh dengan polemik berkenaan dengan kasus penistaan agama yang melibatkan gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Dalam rangka mempersiapkan jemaat menjelang Pilkada, Dewasa Muda bekerja sama dengan Mabid Pembinaan Umum dan Areopagus Network, mengadakan acara “Melek Politik”, sebuah seminar politik yang menghadirkan pembicara-pembicara kawakan, antara lain Romo Frans Magnis-Suseno (budayawan), Yudi Latif (pengamat politik) dan Tumbur Tobing (Areopagus Network) dengan moderator Timothy Marbun (Kompas TV).
Seminar diawali dengan doa pembukaan oleh Pdt. Rudianto Djajakartika. Meskipun tidak dimulai tepat waktu, seminar tetap dihadiri oleh sekitar 80 anggota jemaat GKI Pondok Indah dan gereja-gereja lain.
Setelah doa pembukaan, Romo Magnis-Suseno menjadi pembicara pertama yang menyampaikan materi. Menurut Romo, maraknya Identity Politics, yakni keinginan satu golongan warga negara untuk menyatakan identitas mereka, didorong oleh perasaan dilecehkan atau dipinggirkan. Orang-orang yang merasa seperti itu sering kali tidak melihat dunia sebagai “kita”, melainkan sebagai “kita” dan “mereka”.
Hal ini tidak sejalan dengan Sumpah Pemuda, di mana begitu banyak golongan pemuda bersusah payah datang ke Jakarta untuk menanggalkan kesukuan mereka dan menjadi satu bangsa. Semangat Sumpah Pemuda terus ada dalam sejarah perkembangan Indonesia sehingga terciptalah Pancasila, yang merupakan kontrak bersama untuk saling menerima identitas masing-masing.
Romo Magnis percaya bahwa model kesetiaan bersama di Indonesia masih jauh lebih kuat daripada kesetiaan golongan. Jika dibandingkan dengan Amerika Serikat yang masih sulit menerima presiden beragama Katolik pertama pada masa jabatan John F. Kennedy meskipun sudah merdeka 160 tahun, toleransi antar golongan di Indonesia jauh lebih baik. Bahkan, Indonesia pernah memiliki Perdana Menteri yang beragama Kristen, yakni Amir Syarifuddin.
Sebagai golongan minoritas, kita perlu waspada tetapi tidak perlu takut. Kita harus peka terhadap perasaan kaum mayoritas. Identity Politics perlu diperlihatkan dengan tenggang rasa, bukan dengan menampakkan kehebatan simbol-simbol agama dengan berlebihan (membangun patung besar, dsb.) Kita juga jangan terjebak pada kompleks minoritas yang merasa harus selalu sama dengan mayoritas.
Pengamat politik Yudi Latif menyambung pembicaraan dengan mengingatkan hadirin kepada arti “politik” yang sebenarnya. Politik memiliki akar kata yang sama dengan “polite” (sopan) dan “polisi”, jadi politik berfungsi untuk menjaga keadaban. Apa yang terjadi di kota kita mencerminkan tingkat keadaban kita. Kasus Ahok bukanlah masalah Islam dan non-Islam, melainkan masalah yang beradab dan yang tidak beradab, di mana kedua jenis warga ini ada di agama manapun.
Pancasila adalah hadiah dari umat Islam kepada umat non-Islam, tetapi juga hadiah dari umat non-Islam kepada umat Islam, karena Pancasila menjaga keutuhan dalam keberagaman. Di dalam agama Islam pun terdapat keberagaman. Dengan adanya Pancasila, aliran Islam yang minoritas tetap mendapat tempat di Republik Indonesia.
Yudi Latif menceritakan bahwa yang membentuk rumusan Pancasila adalah Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan daerah Jawa dan Madura. Ketika seluruh perwakilan BPUPKI bertemu di Tretes, disepakatilah bahwa masalah “syariah” patut dihilangkan agar Pancasila dapat merangkul semua agama. Piagam Jakarta yang disusun pada tanggal 22 Juni 1945—yang memuat Syariat Islam—bahkan juga ditolak kalangan Islam sendiri, salah satunya Ki Bagus Hadikusumo yang menginginkan bahwa semua keyakinan memiliki tempat di negara ini. Demikianlah Pancasila terbentuk menjadi the great idea of social inclusion. Negara ini dibangun sebagai negara inklusif, semangat ini harus kita rawat.
Kerapatan sosial harus menembus batas-batas di luar gereja ini. Jika kerapatan sosial bisa terasa di market place, misalnya dengan kemampuan para pedagang Tionghoa untuk berbicara bahasa lokal sesuai daerah tempat mereka berdagang, maka kerapatan seperti ini harus masuk ke semua bidang agar prasangka-prasangka lumer. Burung Garuda memiliki dua sayap yang seimbang, yang harus terus dijaga: persatuan dan keadilan sosial.
Tumbur Tobing menjadi pembicara terakhir yang mengkritik bahwa warga negara masa sekarang tidak setajam masa dahulu. Generasi muda sekarang lebih kebarat-baratan dan tidak memiliki pengetahuan historis yang kuat. Hal ini terpicu oleh semangat post modern yang digembar-gemborkan MTV, di mana “the author is dead, the reader makes the response.” Warga negara Indonesia kehilangan identitasnya, tidak memiliki autentisitas.
Sesuai semangat post modern, manusia mengarahkan segala sesuatu kepada dirinya sendiri, padahal seluruh sistem kehidupan adalah interpretasi dari relasi manusia dengan Allah. Segala sesuatu memiliki makna karena Tuhan sudah menanamkannya. God is truth. God reveals truth to man. God is the source of truth. Ketika kita berpikir berdasarkan apa yang Tuhan ajarkan, kita akan menemukan pertarungan antara modernisme dan prinsip-prinsip iman. Akan tetapi, demikianlah kita sudah dipanggil, untuk menjadi garam dan terang dunia, bukan menjadi orang-orang yang tenggelam dalam arus dunia.
Dengan maraknya penggunaan agama untuk kepentingan politik, kita harus pandai-pandai mengomunikasikan prinsip-prinsip keyakinan kita melalui segala ranah ilmu. Apapun yang terjadi, kita harus ingat bahwa imperium manusia akan berakhir, tetapi takhta Tuhan kekal selama-lamanya (Yes. 66:1).
Setelah ketiga pembicara menyampaikan materi masing-masing, sesi tanya-jawab dibuka. Berhubung waktunya sempit, hanya tiga orang yang diberikan kesempatan bertanya, kemudian dijawab oleh ketiga pembicara. Setelah itu, ketiga pembicara menyampaikan kesimpulan mereka dan panitia memberikan plakat sebagai tanda terima kasih. Seminar diakhiri dengan doa penutup oleh Pdt. Rudianto Djajakartika.
Saat ini, video dokumentasi seminar sedang dipersiapkan. Jika Anda tertarik untuk memperolehnya, Anda dapat menghubungi kantor gereja atau mengirim e-mail kepada demud.gkipi@gmail.com.•
>> Karina S.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.