Semarak dan kaya warna. Itulah kesan pertama jemaat ketika memasuki gedung gereja pada hari Minggu 8 Agustus yang lalu. Rumah Betawi beratap hijau di belakang mimbar yang dilengkapi dengan sangkar-sangkar burung yang indah, berpagarkan untaian bunga putih yang menjuntai ke bawah. Sementara di sebelah kanan mimbar terpampang papan besar tema bulan budaya “God’s Culture in Me” disertai tema pokok khotbah hari itu, “Melayani dan Dilayani.”
Tongkat-tongkat panjang yang menyembulkan bunga-bunga kertas warna-warni menjulang dengan riang di sepanjang lorong tengah gereja sedangkan dinding balkon dihiasi oleh lengkungan-lengkungan kain kuning-merah-oranye yang menambah kemeriahan suasana.
Dengan iringan lagu “Ini Die Anak Betawi” yang diadaptasi dari lagu Jali-Jali, dua pasang penari dan seorang penari utama menyambut iring-iringan pendeta dan penatua yang memasuki ruangan penatua dan pendeta berjalan berdampingan, menandakan kesetaraan kedua jabatan itu. Semua petugas perempuan hari itu mengenakan kebaya dengan selendang yang serasi dan para petugas laki-laki tampak gagah dengan setelan jas tutup hitam, lengkap dengan ikat pinggang kain dan kopiah.
Sejarah masuknya agama Kristen dimulai sejak akhir abad ke-16, ketika VOC merebut Batavia dan menjadikannya sebagai pusat pengaruh Belanda di Nusantara. Ketika itu, fungsi agama Kristen hanya sebatas menghibur orang sakit, membaca doa dan berkhotbah. Mr. Hulsebos kemudian mengajukan permohonan untuk mengembangkan kehidupan gereja, dan pada bulan Januari 1621 diadakan perjamuan kudus, yang ternyata merupakan perjamuan kudus pertama di Asia, menurut agama Kristen. Gereja Kristen pada saat itu terdiri atas orang-orang Belanda, Portugis dan pribumi.
Mr. F.L. Anthing (1820-1883), wakil ketua pengadilan tinggi Kerajaan Hindia Belanda yang memasuki masa pensiun dan tinggal di Batavia, mencurahkan segenap tenaganya bagi pekabaran Injil. Ia memperkenalkan Injil Kristus kepada masyarakat pribumi dengan cara-cara pribumi. Pada tahun 1870 berdirilah Gereja Kerasulan yang dipimpin oleh Kyai Sadrakh. Binaan Mr. Anthing ini kemudian membentuk jemaat-jemaat kecil di Kampung Sawah dan Gunung Putri. Sementara itu, seorang penginjil bernama Gan Kwee dari Tiongkok juga mulai menyebarkan Injil ke kalangan orang-orang Tionghoa, dan mendirikan jemaat Patekoan serta jemaat di luar Betawi.
Namun agama Kristen, yang disebarkan oleh orang-orang Belanda yang dianggap identik dengan rezim kolonial, membuat pribumi berpandangan negatif terhadap pekabaran Injil, sehingga jumlah jemaat Kristen merosot. Dewasa ini 10-15% penduduk Jakarta memeluk agama Kristen dari berbagai denominasi.
Pdt. Joas Adiprasetya melandaskan khotbahnya dari Lukas 12:32-40 dan khususnya dari ayat ke-37, “Berbahagialah hamba-hamba yang didapati tuannya berjaga-jaga ketika ia datang. Sesungguhnya Aku berkata kepadamu: Ia akan mengikat pinggangnya dan mempersilakan mereka duduk makan, dan ia akan datang melayani mereka.”
Salah satu kenangan yang membekas di ingatan Pdt. Joas, ialah ketika ia berusia sekitar 5-7 tahun dan tinggal di Malang. Pada periode ini, ayahnya harus mengikuti kursus teologi di STT Duta Wacana, sehingga beberapa minggu sekali baru dapat pulang untuk bertemu dengan keluarganya. Hari-hari menjelang kepulangan sang ayah selalu dinanti-nantikan oleh seluruh keluarga. Biasanya ia naik bis malam yang tiba di Malang pada pukul 4.30-5.00 pagi, dan diantar sampai ke rumah. Karena itu semua anak sudah bangun sejak subuh, berkali-kali mengintip di jendela sampai bis tersebut berhenti di rumah mereka. Dengan segera mereka lalu berhamburan keluar, dan semua senang. Pada saat itu, hal yang paling utama adalah Ayah. Tidak sedikit pun terlintas di pikiran untuk mengharapkan oleh-oleh atau mengadu perlakuan kakak-kakak yang “menindas” si bungsu Joas.
Bapa Gereja, Agustinus yang hidup pada abad 5-6, dalam bukunya “The Confessions” menulis sebuah pertanyaan yang menarik, “Apakah yang sesungguhnya kucintai ketika aku mencintai Allah?” Ya, sebenarnya apa yang kita cintai ketika mencintai Allah? Apakah itu berkat-Nya, janji-Nya, karena kita minta kesembuhan atau mengharapkan kekayaan? Allah secara kualitatif begitu berbeda dengan kita. Dalam Perjanjian Lama dikatakan bahwa kalau kita melihat Allah, kita akan mati. Jadi, siapakah saya, sehingga bisa mencintai Allah? Siapakah sesungguhnya saya, yang otentik dan unik ini?
Dan apakah sebenarnya arti merindukan Allah dan berjumpa dengan-Nya secara personal? Mungkin kita punya gambaran di benak kita tentang Allah, atau mempunyai doktrin tentang Allah. Namun semua itu bukanlah Allah. Kita melihat bumi, binatang dan alam semesta, tetapi semuanya itu juga bukan Allah. Kita memang tidak bisa mencapai Allah, tetapi kita bisa mencintai-Nya karena menyaksikan semua ciptaan-Nya ini.
Dalam ayat 33, Yesus mengatakan, ”Juallah hartamu…” Sesungguhnya harta adalah tanda bahwa Allah mengasihi kita, namun harta juga menghalangi kita untuk mengasihi Allah dengan baik.
Ada tiga kebenaran yang dapat kita pelajari:
Pertama
Yang kita cintai hanya Allah sendiri, pribadi Allah. Karena itu janganlah kita mencintai Allah untuk memperoleh berkat-berkat-Nya. Martin Luther mengatakan bahwa kalau kita berdoa, janganlah kita meminta sesuatu, tetapi biarlah kita datang dengan diam kepada Allah.
Kedua
Kita tidak mungkin mencintai Allah, kecuali Allah datang kepada kita. Inilah yang ditegaskan oleh bacaan Injil kita: Allah datang. Manusia tidak bisa datang pada Allah dan mencintai Allah, kecuali kalau Allah datang kepadanya. Banyak orang Kristen yang memuji Tuhan dan meminta agar hadirat Allah turun, tetapi sebenarnya pujian tidak bisa menyebabkan Allah datang. Allah sendirilah yang turun menjumpai kita. Bila 99 % adalah uluran tangan kasih Allah, yang 1 % adalah inisiatif kita sendiri untuk menyambut kasih-Nya.
Ketiga
Ketika Allah datang, Ia datang melalui mediasi sejarah. Allah adalah Manusia yang berbudaya. Yesus menghadirkan diri-Nya dan memasuki kemanusiaan. Apresiasi kehadiran Allah unik dan beragam, namun ketika Allah memasuki budaya, Ia tidak saja menghargai tetapi juga mengritik. Di dalam Luk 12:37 diceritakan bahwa tata krama bangsa Yahudi dijungkirbalikkan dan struktur sosial dikritik dan ditertawakan. Dalam kebudayaan, biasanya bila seorang majikan datang, maka semua hambanya akan sibuk melayaninya. Namun di ayat ini justru dikatakan bahwa sang Tuan-lah yang mengikat pinggangnya dan melayani hamba-hamba-Nya. Itulah inti pelayanan yang sesungguhnya: Untuk menjadi tuan, jadilah hamba. Sang Tuan juga menganggap hamba-hamba-Nya sebagai sahabat-sahabat-Nya. Dan di dalam perjamuan kudus, Allah menyatakan kehadiran-Nya sebagai tuan rumah yang melayani kita, para sahabat-Nya.
Di dalam kebaktian ini dilayankan perjamuan kudus. Seluruh nyanyian dipandu oleh kantoria dari PS. Wilayah Pondok Indah dengan iringan permainan organ dari Tim Musik GKI PI dan petikan kecapi cina dari Sdr. James Widyaharsana. Kelompok musik Betawi Bermazmur juga memadahkan beberapa pujian dengan langgam Betawi, antara lain “Yesus Rajaku.” Setelah ibadah, diadakan penjualan makanan khas Betawi di plaza gereja yang sudah dihias meriah dengan sebuah becak dan rangkaian bunga kertas warna-warni. Kelompok musik Betawi Bermazmur menghibur jemaat dengan lagu-lagu yang riang dan penuh semangat.
[nggallery id=37]
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.