‘Maverick’ secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang berpikir dan bertindak independen. Ia sering berperilaku berbeda dari yang diharapkan atau yang biasa dilakukan orang.
Perilaku ini bukannya tidak berisiko ketika berhadapan dengan kebiasaan, budaya, aturan, dan hal-hal yang dipandang normatif oleh komunitas tertentu. Perilaku berbeda itu sering diartikan lain oleh masyarakat, meskipun tidak dimaksudkan demikian oleh si maverick. Karenanya, orang sering menyematkan predikat-predikat yang merepresentasikan ketidaksukaan padanya: ‘lain sendiri, pemberontak, aneh, unik, vokal, slonong boy, perilaku menyimpang…, dll.
Apakah sebutan-sebutan itu benar? Sering kali tidak. Ungkapan ketidaksenangan itu dilontarkan karena si maverick memiliki standar sikap, perilaku dan respons yang berbeda dari nilai-nilai normatif yang disepakati, sehingga tidak digolongkan sebagai bagian dari komunitasnya.
Apakah nilai-nilai normatif komunitas tadi merupakan nilai universal yang baku dan tidak bisa ditoleransi lagi? Biasanya tidak, karena bukan merupakan prinsip. Bisa dikatakan bahwa si maverick mendapat perlakuan seperti itu karena masalah like and dislike saja.
Maverick tidak selalu berkonotasi negatif terhadap lingkungan. Pemikiran, ide, dan respons kognitifnya belum tentu buruk. Apabila karena alasan perilaku, si maveric disingkirkan, maka komunitas itu justru kehilangan kesempatan untuk memperoleh manfaat yang maksimal dari pemikirannya yang sering kali menembus batas, atau out of the box. Bukan karena ia berperilaku tidak umum maka olah pikirnya seperti itu, melainkan karena olah pikirnya seperti itulah maka perilakunya sering tidak umum, bahkan dipandang aneh oleh lingkungannya.
Bagaimana kita memperlakukan para maverick, terutama di lingkungan pelayanan kita? Seandainya kebiasaan mengucilkan atau menyampingkan mereka suka kita lakukan, maka kita perlu bertanya mengenai jati diri kita sebagai orang Kristen. Dari mana asal kekristenan? Sejatinya kekristenan datang dari tokoh-tokoh yang cenderung berpredikat sebagai maverick.
Si Maveric Sejati
Yesus dalam kemanusiaan-Nya adalah maverick, bahkan maverick sejati. Mengapa demikian? Perhatikanlah cara Yesus mengajar dan bersosialisasi. Para rabbi biasanya berada di Bait Suci. Mereka hidup terhormat sebagai ‘wakil Tuhan’, menjaga wibawa, dan menjauhkan diri dari orang berdosa. Namun Yesus? Dia ‘keluyuran’ menyusuri jalan-jalan desa, kota, pasar, dan hanya sekali-sekali mampir ke rumah ibadah. Dia bergaul dengan orang-orang yang dijauhi orang-orang lain, yang biasa dihindari oleh pemuka-pemuka agama yang membandrol diri mereka sebagai sumber kesucian dan kebenaran.
Lihat saja keakraban-Nya dengan seorang perempuan Samaria. Ke-Samariaan-an sudah merupakan sebuah permasalahan bagi keberadaan-Nya sebagai orang Yahudi, apalagi percakapan-Nya dengan perempuan itu. Belum lagi status perempuan tersebut yang ‘tidak bersuami’, meskipun ia hidup dengan seorang laki-laki tanpa ikatan pernikahan setelah sempat bersuami lima kali. Pantaskah perilaku Yesus sebagai Guru spiritual?
Yesus juga bergaul dengan para pemungut cukai, Simon dan Zakheus, golongan profesi yang dianggap sebagai pengkhianat bangsa dan dikucilkan dalam pergaulan. Bahkan murid-Nya, Matius, tadinya juga seorang pemungut cukai. Bukan hanya sekadar kenal, Yesus malah makan-minum dan menginap di rumah orang-orang itu bersama murid-murid-Nya. Apakah sikap Yesus itu patut dicontoh?
Belum lagi konsep, pemikiran dan ajaran-Nya yang dianggap nyleneh atau kontroversial. Dia menjungkirbalikkan kemapanan dan mempertanyakan dogma serta hukum agama yang sudah establish. Dia seolah-olah menjadi teman bagi para pendosa. Dia tidak memerintahkan murid- murid-Nya untuk membalas dan menghukum mereka, tetapi mengampuni dan mendoakan mereka. Bukankah ini membuka kesempatan bagi mereka untuk berbuat dosa lagi karena mudah mendapat pengampunan?
Yesus tidak menghukum wanita pendosa yang tertangkap basah telah berbuat zinah. Yesus mengamuk dan menjungkirbalikkan lapak para pedagang dan penukar uang di Bait Allah. Yesus mengampuni dosa orang dan menyebut diri-Nya Anak Allah. Dan masih banyak lagi ketidakpantasan yang dilakukan Yesus menurut kacamata orang Farisi, orang Saduki, serta imam-imam di Bait Allah. Yesus tidak sekadar dinilai sebagai maverick dalam perilaku dan pandangan-Nya, Dia bahkan disebut sesat dan penghujat Allah.
Yohanes Pembaptis adalah contoh maverick lainnya. Sebagai anak seorang imam, ia tidak akan kesulitan menyampaikan perintah dan peringatan Allah di rumah ibadah di mana ayahnya berperan penting. Jaminan hidup berkecukupan, nama baik dan kehormatan, serta pengaruh luas, akan mudah didapatkannya. Namun ia memilih berseru-seru di padang, makan belalang, berpakaian kulit binatang kasar, dituduh gila dan mencari sensasi. Ia bahkan sangat potensial dituduh oleh pemerintah penjajah telah melakukan provokasi dan upaya makar. Bait suci pun gampang sekali menuduhnya melakukan praktik bidah.
Aspek ‘Terbuka’ dari Visi HTTP
Prinsip dalam pelayanan, termasuk kesediaan untuk terbuka menerima yang lain, berarti juga memahami dan menerima para maverick ini. Sebab keanehan mereka biasanya hanya karena tidak sama dengan kebiasaan, harapan, kesenangan, kenyamanan, pemikiran atau nilai kita, dan bukan karena prinsip dan hakikat mereka sebagai anak-anak Tuhan yang punya kerinduan untuk melayani-Nya dalam keragaman. Alih-alih berusaha menyadarkan/menobatkan si maverick, sebaiknya kita melakukan introspeksi diri untuk tidak mendahulukan kecocokan dengan kita, tapi menerima perbedaan yang memperkaya dan memperluas cakrawala keterbukaan kita. Kita mengutamakan maksud dan kehendak Tuhan, dan bukan maksud, selera, dan kehendak kita sendiri.
Kalau memang tidak harus berada dalam susunan organisasi, seyogyanya para pemimpin kita secara inovatif melindungi pemikiran, kreativitas, kesediaan dan kontribusi para maverick, ketimbang memaksa mereka menduduki posisi dalam organisasi tradisional. Dapat dibayangkan betapa para maverick merasa terkungkung atau menjadi bulan-bulanan karena tidak memenuhi selera, rutinitas dan prosedur yang membunuh kreativitas dan gairah cipta mereka.
Tantangan ini menjadi ajang bagi para aktivis dan penatua untuk mengejawantahkan visi GKI PI, khususnya dalam aspek “Terbuka”, sekaligus memberi kesempatan kepada para maverick untuk berperan dalam bagian Visi lainnya melalui karya mereka: Hidup, Partisipatif, dan Peduli ….
Petani Tua dan Anaknya
Seorang petani tua yang sedang sakit memanggil anak sulungnya dan memintanya untuk menggantikan pekerjaannya di ladang hari itu. Anak sulung itu mengiyakan dan segera pergi. Si petani melanjutkan istirahatnya dengan perasaan tenang. Setelah lewat tengah hari, seorang upahan menghadap kepadanya untuk melaporkan bahwa ladang belum dikerjakan.
Petani itu lalu memanggil anak bungsunya dan memintanya untuk menggantikan tugas si sulung. Si bungsu mengomel panjang lebar di depan ayahnya. Ia merasa diperlakukan tidak adil karena selalu menjadi sasaran untuk disuruh-suruh. Setelah itu ia pergi. Si petani merasa sedih dan gelisah sehingga istirahatnya agak terganggu. Menjelang matahari terbenam, orang upahannya datang lagi menghadap sambil melaporkan bahwa ladang sudah dikerjakan oleh si bungsu. Petani itu menangis terharu.
Don’t Judge a Book from Its Cover
Ada orang yang perilakunya baik, ramah, sopan, tidak suka berbantah, dan sikapnya sangat menjanjikan, sehingga menimbulkan ketenangan pikiran dan batin. Tindakan serta perilakunya menumbuhkan harapan besar bagi terciptanya sebuah hasil yang baik dan memuaskan. Namun sayang, terkadang kenyataan yang terjadi justru mengecewakan karena tidak sesuai dengan harapan. Sebenarnya hal itu bukan karena si pelaku kurang bertanggung jawab atau abai untuk menolong, melainkan karena sangat besarnya harapan yang ditumpukan kepadanya, taken for granted. Hal apa yang mampu membuat si petani tadi kembali beristirahat dengan tenang? Bukankah karena harapannya pada hasil kerja si sulung yang tampak begitu patuh menerima tugas yang diberikannya?
Di sisi lain ada orang yang menurut kita berperilaku kurang menyenangkan, suka bertanya, komplain, tidak setuju, berargumen, suka memikirkan alternatif lain, dan tampaknya tidak menjanjikan apa-apa. Tindakan dan perilakunya menimbulkan ketidaktenangan dan ketidakpastian, sehingga kita mudah melabelnya sebagai “orang yang tidak berguna, pemberontak, tukang ribut, atau biang kerok”. Si maverick. Namun pada saat yang telah ditargetkan, ternyata ia mewujudkan apa yang diharapkan darinya. Perasaan apa yang timbul? Kekaguman? Malu terlanjur melabel? Syukur? Atau bahkan cemooh? Dari mana semua perasaan itu berasal? Dari perilaku dan perbuatan orang itu atau dari perasaan kita sendiri? Kebanyakan dari perasaan kita sendiri. Perasaan kagum atau syukur timbul karena tadinya kita sudah tidak berharap, bahkan yakin ia pasti gagal, tapi nyatanya terwujud. Perasaan malu timbul karena kita sudah terlanjur melabel buruk, namun kenyataan berbicara lain. Bagaimana halnya dengan cemooh? Cemooh lebih disebabkan karena kekerasan dan kedegilan hati kita saja. Kita tidak mau mengakui prestasi orang lain dan cenderung bangga mempertahankan pendapat dan perasaan kita, meskipun pada kenyataannya kita tidak lebih baik dari dia.
Ternyata semua perasaan lanjutan kita sangatlah ditentukan oleh respons kita dari awal seluruh rangkaian cerita. Kesan baik atau buruk yang kita bangunlah yang akan menentukan respons kita, entahkah itu berharap atau kecewa, bersyukur atau mengutuk, tenang atau gelisah, dsb.
Karena itu, “terbuka” membutuhkan kebesaran hati, karena “terbuka” bersedia mempertimbangkan pemikiran, sikap atau perilaku yang berbeda dengan kita.
>> Sujarwo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.