KEMATIAN usia produktif kini banyak mengisi iklan dukacita koran. Buat dunia medik, itu kasus mati prematur (premature death). Bahwa sejatinyalah mati prematur dapat dicegah. Kehilangan nyawa oleh penyakit yang masih bisa dicegah, atau masih dapat diselamatkan oleh fasilitas medis yang tersedia, tergolong kasus mati prematur.
Pasien mampu bisa membayar rumah sakit berkesempatan mengulur umur. Namun pasien gagal ginjal jadi meninggal begitu batal cuci darah. Seperti itu yang kini terjadi di dunia. Lebih banyak penyakit yang tak perlu ada hanya karena masyarakat tak diberi tahu cara mencegahnya.
Kerugian negara akibat mati prematur bangsanya justru bermuasal dari penyakit yang sebetulnya bisa dicegah. Serangan jantung koroner, stroke, dan kanker, kini kasus tersering yang menjadikan negara kehilangan sumber daya usia produktif, masih mungkin dibatalkan.
Cukup waktu mencegahnya
Potensi umur manusia (mean lifetime potential) secara biologi mencapai 120 tahun (Dr Robert Butler). Kalau umur manusia di dunia kini hanya orang Okinawa, Jepang yang meraih seratusan tahun (centenarian), itu lantaran salahnya manusia melakoni hidup.
Kanker berisiko mati prematur masih mungkin dicegah jika benar pilihan menu harian, minimal terpolusi, dan rendah saja stres kehidupan. Studi di China mengungkap provinsi yang kelebihan konsumsi daging lebih tinggi angka kankernya (The China Study, Colin Campbell, 2006). Mayoritas “penyakit peradaban” orang sekarang lebih lantaran keliru memilih gaya hidup.
Di semua negara maju, akibat menu boros lemak, kolesterol darah sudah meninggi sejak usia anak. Itulah tunas terbentuknya penyempitan pembuluh darah jantung dan otak. Bila kemudian kebiasaan makan enak bangsa dibiarkan, malas gerak (sedentary life) jadi pola hidup, dan stres terus mendera, sumbatan pembuluh jantung dan otak bertambah tebal dua persen setiap tahun. Ketika tiba masa usia produktif, lebih separuh penampang pembuluh darah jantung dan otak sudah tersumbat. Pada saat mana serangan jantung dan atau stroke mengancam nyawa.
Kondisi itu yang menjelaskan mengapa krisis usia produktif bangsa kini datang lebih awal. Padahal serangan jantung dan stroke tidak terjadi dalam satu hari. Perlu puluhan tahun untuk menjadikan pasokan darah jantung dan otak menjadi tersumbat. Artinya masih tersedia cukup waktu untuk mencegah agar yang berisiko memunculkan mati prematur itu bisa batal terjadi.
Butuh peran negara
Singapura menganggap perlu menyuluh eksekutif usia produktif agar selain sehat, juga supaya tidak mati muda. Kekonyolan buat negara bila kehilangan warga usia produktif hanya karena membiarkan kelompok ini keliru memilih gaya hidup.
Negara harus berubah, manusia juga harus berubah, begitu seruan Sydney Resolution 2009 (A Call to Action) mencegat kematian yang tak perlu. Proyeksi bila gaya hidup tak berubah, dalam sepuluh tahun ke depan dunia bakal kehilangan 388 juta nyawa mati muda.
Peran pemerintah bagi warganya di Singapura tidak berhenti sampai di situ. Jangan heran kalau cita rasa menu rata-rata restoran di Singapura cenderung anyep. Pemerintah ikut campur agar warga tidak jadi darah tinggi gara-gara kelebihan mengonsumsi garam dapur. Karena sejatinya bukan daging yang bikin darah tinggi. Kasus darah tinggi orang sekarang lebih sebab kelebihan menu asin. Darah tinggi tak terkontrol berisiko mati prematur juga.
Kesehatan itu investasi. Hanya bila negara tidak terlambat berinvestasi hidup sehat bagi rakyatnya, derajat kesehatan bangsa mudah dikatrol. Tidak membiarkan kelebihan berat badan sejak bayi, langkah awal negara berinvestasi sehat. Singapura sudah melakukan itu. Para eksekutif dunia tidak gemuk manakala kelompok usia produktif kita sedikit saja yang tidak tambun. Perlu campur tangan pemerintah agar rakyat berpeluang sehat sepanjang hayat.
“Falsafah pakai helm”
Hukum wajib pakai helm oleh negara lebih demi melindungi keselamatan rakyat. Seperti itu eloknya motivasi negara menuntun rakyatnya tepat memilih cara bagaimana hidup sehat sehingga batal mati prematur.
Orang papa dan yang berkecukupan kini sama memikul “penyakit peradaban”. Kimiawi makanan, polusi limbah industri, pola hidup tidak tertib dipikul semua rakyat. Itu sebab kini suplemen vitamin dan detoxifikasi yang sebetulnya proses alami, diperlukan tubuh karena pilihan hidup tak alami lagi, dan orang makin tak tertib tidurnya.
Gaya hidup bikin tubuh manusia sekarang semakin tak natural lagi. Gemuk (“penyakit dagu berlipat”) tapi kurang gizi karena menu harian hanya tinggal ampas. Selebihnya zat pencetus kanker (carcinogenic) kian penuh mengisi jajanan, selain meja makan restoran.
Sekolah Kedokteran Harvard belajar sehat dari nelayan Okinawa. Bahwa cara hidup yang benar itu mirip tradisi nenek moyang kita. Maka bukan burger, sosis, dan bistik yang bikin sehat sepanjang hayat, melainkan sepiring nasi, sepotong ikan, tahu, tempe, dan semangkuk sayur lodeh, atau sayur asam. Menu begini yang mengantarkan orang Okinawa dan generasi nenek dulu terbebas kanker, serangan jantung, dan stroke.
“Generasi ayam goring” kini yang tak suka menu neneknya memikul risiko mati prematur bila pemerintah tidak ikut campur urusan pola dan gaya hidup rakyat yang telanjur salah kaprah. Bahwa menjadi gemuk itu “bom waktu” bakal meledaknya semua penyakit metabolisme yang berujung mati prematur.
Belum terlambat pemerintah turun tangan. Ongkos memberi tahu rakyat mencegah semua penyakit berujung mati prematur tidak lebih mahal dari harga ekonomi akibat kehilangan usia produktif bangsa sebab telanjur mati muda.
Dr Handrawan Nadesul
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.