Di sekolah kehidupan bernama Indonesia ini saya belajar bahwa, barang langka adalah barang yang susah dicari. Binatang langka adalah binatang yang nyaris punah dari muka bumi. Dan manusia langka adalah manusia yang susah dicari bandingannya dalam masyarakat. Ia [mereka] ada dan dirasakan kehadirannya oleh banyak orang. Namun, jumlahnya yang begitu sedikit, membuat mereka bisa dihitung dengan jari tangan.
Manusia langka selalu unik dan otentik. Dan keunikan serta keotentikan dirinya bukanlah terutama karena soal-soal tampilan fisik yang nampak, meski terkadang soal penampilan fisik mempertegas keunikan mereka di masyarakat, melainkan lebih bertalian dengan sikap hidup dan cara pandang yang terpuji dan teruji secara konsisten.
Ada banyak cara dan ukuran yang bisa digunakan untuk mengelompokkan manusia langka di negeri bernama Indonesia ini. Namun, hemat saya, kelompok manusia yang dikenal karena kejujuran, kesederhanaan, keberanian, dan integritas pribadinya adalah jenis kelompok yang paling langka di tanah air kita. Begitu langkanya, sehingga terkadang saya amat sangat ragu apakah manusia dengan empat karakteristik semacam itu masih ada di sekitar kita.
Orang kaya, banyak. Orang miskin, lebih banyak. Pejabat publik, banyak. Yang berminat menjadi pejabat publik, lebih banyak lagi. Pemimpin formal, pemimpin informal, juga banyak. Para direktur, banyak. Para pegawai, lebih banyak. Orang yang sudah menikah, banyak. Dan yang belum menikah, lebih banyak. Orang yang bergelar, banyak. Yang tidak bergelar, lebih banyak. Dan seterusnya. Namun, begitu kriteria jujur, sederhana, berani, dan punya integritas dimasukkan, maka yang banyak-banyak itu saling berguguran satu per satu, nyaris tak bersisa.
Jumlah manusia Indonesia yang jujur, sederhana, berani, dan punya integritas memang amat sangat langka. Dan dari jumlah yang sudah amat sangat sedikit itu, belum lama ini kita harus merelakan dua di antaranya kembali kepangkuan ilahi. Mochtar Lubis [19..-2004] dan Hoegeng Iman Santoso [1921-2004] telah dipanggil Tuhan.
Untuk mengenang Mochtar Lubis, seorang penyair, Agus R. Sarjono, belum lama ini menulis artikel berjudul Integritas.
Tulisan tersebut menjelaskan makna integritas in action, dalam sepak terjang Mochtar Lubis, sastrawan yang dikenal sebagai pendiri harian Indonesia raya, perintis dan pemrakarsa Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, pendiri majalah sastra Horison, pendiri penerbit Obor, dan seabrek kegiatan lain yang bertalian dengan usaha-usaha membangun demokrasi di Indonesia.
Dan dengan cara itu penulisnya mengingatkan saya bahwa, ketika kita memiliki model, contoh, teladan, atau panutan yang jelas mengenai sosok manusia Indonesia yang jujur, sederhana, berani, dan punya integritas tinggi, maka kita tidak memerlukan kamus atau penjelasan lebih jauh mengenai makna kata-kata tersebut.
Agus R. Sarjono menulis, antara lain:
….Salah seorang putra terbaiknya, Mochtar Lubis, telah pergi, dan bersamanya nyaris pergi pula sesuatu yang makin langka , bahkan nyaris mustahil, bagi Indonesia, yakni: Integritas. Mochtar Lubis, sastrawan lembut hati berkepala besi itu, pergi tepat tangal 1 Juli 2004 ini. Ia pernah menghebohkan Indonesia dengan ceramahnya di Taman Ismail Marzuki, yang kemudian dibukukan, berjudul Manusia Indonesia.
Sebagai jurnalis, dialah sosok pejuang kebebasan pers yang tak bisa diragukan lagi. Korannya, Indonesia Raya, adalah Koran yang mengawinkan idealisme pers dengan industri pers. Namun, manakala kepentingan industri dan kepentingan ideal bertabrakan, Mochtar Lubis dengan tegar memilih idealisme. Korannya dibredel dan Mochtar Lubis dikirim ke penjara oleh dua rezim sekaligus: Orde Lama dan Orde Baru.
Ketika Pramoedya, sahabat dan seteru politiknya, mendapat penghargaan Magsaysay, Mochtar Lubis yang lebih dulu mendapatkan penghargaan bergengsi itu tidak setuju. Tanpa ragu-ragu ia mengembalikan penghargaan Magsaysay sekaligus uangnya yang karena kurs dan inflasi jadi membengkak luar biasa. Tentu banyak sastrawan Indonesia yang berani memprotes sesuatu, namun hampir pasti, tak seorang sastrawan Indonesia pun akan berani memprotes sesuatu dan sekaligus menanggung risikonya secara penuh: risiko politis maupun risiko ekonomis.
Pengembalian hadiah Magsaysay tentu membuat gempar dan gentar panitia Magsaysay. Mereka merasa pasti bahwa hubungan mereka secara pribadi dengan Mochtar Lubis akan habis setelah peristiwa itu. Dan mereka terperangah! Mochtar Lubis ternyata tetap tampil hangat seolah tidak terjadi apa-apa.
Prinsip adalah prinsip dan hubungan personal adalah hubungan personal. Mochtar Lubis terlalu besar untuk berubah menjadi ketus, dengki, judes, dan bersemangat memakmurkan perseteruan secara personal hanya karena berbeda prinsip dan pendirian. Demokrasi bukan sesuatu yang sekadar menempel di bibir untuk dijilatkan di berbagai keperluan sebagai pemanis penampilan, melainkan telah menyatu menjadi darah dan tindakan. [Sumber: KOMPAS, 11 Juli 2004; hlm.17]
Selang empat hari, Rosihan Anwar, wartawan senior, menulis di harian yang sama “In Memoriam” Hoegeng Iman Santoso. Kutipannya:
Karier Hoegeng berkembang. Dikirim belajar ke Amerika Serikat, ditugaskan ke Jawa Timur, tahun 1956 diangkat menjadi Kepala Reserse dan Kriminal Sumatera Utara di Medan yang “kesohor” sebagai tempat pedagang Tionghoa punya hobi menyuap pejabat-pejabat. Namun, Hoegeng tidak bisa disuap. Di tengah dunia judi, smokkel, korupsi, dan rayuan wanita cantik, dia kokoh sebagai polisi yang jujur dan lurus, an honest and straight cop.
Tahun 1968 Presiden Soeharto mengangkat Hoegeng sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo. Masa itu kasus penyelundupan merajalela. Yang terkenal ialah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi Robby Tjahyadi atau Sie Tjie It.
Tahun 1969 penyelundupan itu dideteksi polisi. September 1971 Hoegeng mengumumkan kepada masyarakat tentang usahanya yang berhasil membekuk penyelundupan mobil mewah lewat pelabuhan Tanjung Priok. Mobil-mobil itu dimasukkan dengan perlindungan tentara, dan dilaporkan Ibu Tien terlibat pula.
Hoegeng bukannya diberi pujian, melainkan beberapa hari kemudian dia dipecat sebagai Kepala Polri. Sebelum itu Hoegeng mendapat tawaran untuk menjabat sebagai Duta Besar di Belgia melalui Menhankam Jenderal M. Panggabean.
Dalam buku yang ditulis Ramadhan KH diceritakan Hoegeng masih dipanggil Soeharto. “Lho bagaimana, Mas, mengenai soal Dubes itu?” Tanya Soeharto. “Saya tak bersedia jadi Dubes, Pak,” jawab saya. “Tapi, tugas apa pun di Indonesia, akan saya terima.” Presiden bilang, “Di Indonesia tak ada lagi lowongan, Mas Hoegeng.” Maka saya pun langsung nyeletuk, “Kalau begitu, saya keluar saja.” Mendengar itu dia diam. Saya juga diam. Mau ngomong apa lagi? Setelah kurang lebih setengah jam pertemuan, saya pun pamit, kata Hoegeng.
Mas Hoegeng, yang tadinya ikut dalam band Hawaian Seniors yang biasa bermain di TVRI dan Radio Elshinta dan digemari publik. Gara-gara menandatangani Petisi 50 harus menghentikan siaran. Ucapannya pada akhir siaran Aloha tidak terdengar lagi. … [Sumber: KOMPAS, 15 Juli 2004; hlm.5]
Kenangan tentang Hoegeng Iman Santoso tak hanya ditulis Rosihan Anwar. Rekannya di Petisi 50, Chris Siner Key Timu, juga ikut membuat catatan mengenai tokoh ini. Di samping menekankan soal disiplin waktunya yang luar biasa, Timu juga menuturkan informasi berikut:
Ketika Presiden Soekarno menunjuk Pak Hoegeng menjadi Direktur Jenderal [Dirjen] Imigrasi, sehari sebelum pelantikannya Pak Hoegeng meminta Ibu Merry [istri Pak Hoegeng] untuk menutup toko kembang, usaha Ibu Merry di Jalan Cikini untuk menambah pendapatan sehari-hari. Alasannya, karena keesokan harinya akan dilantik menjadi Dirjen Imigrasi.
Ketika ibu Merry menanyakan apa hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembangnya, Pak Hoegeng menjawab singkat, “Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya.”
Karena dikaryakan dari Kepolisian ke Imigrasi, Pak Hoegeng membawa juga sebuah mobil jip dinas untuk tugasnya nanti sebagai Dirjen Imigrasi. Ketika Sekretariat Negara [setneg] memberinya lagi satu mobil dinas, Pak Hoegeng menolak dengan alasan dia hanya membutuhkan satu mobil dinas untuk tugasnya, dan jip yang dia bawa dari kepolisian adalah juga miliki negara sehingga itu sudah cukup baginya.
Ketika menjadi Menteri Iuran Negara, oleh Setneg diminta untuk pindah dari rumah di Jalan Prof. Moh. Yamin ke rumah yang berlokasi di jalan protokol, juga ditolak Pak Hoegeng dengan alasan rumah yang ditempatinya sudah cukup representatif dan negara tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuknya. Katanya, sebagai Menteri Iuran Negara dia bertugas mencari uang untuk negara, bukan sebaliknya, menghabiskan uang negara untk rumah dan fasilitas yang bukan-bukan.
Seorang yang hidupnya senantiasa jujur, seorang yang menjadi simbol bagi hidup jujur, dan simbol bagi kejujuran yang hidup. Ada guyonan di masyarakat tentang kejujuran seorang Hoegeng bahwa hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Polisi Hoegeng dan polisi tidur. [Sumber: KOMPAS, 15 Juli 2004; hlm. 1 dan 11]
Mochtar Lubis dan Hoegeng Iman Santoso mengingatkan saya pada sosok lain yang juga sudah tiada, seperti Mohamad Hatta, Tahi Bonar Simatupang, dan Yap Thiam Hien. Mereka inilah yang saya sebut sebagai “Manusia Guru”, yakni manusia-manusia yang telah melampaui tahap “Manusia Pembelajar” maupun “Manusia Pemimpin” [lihat: Menjadi Manusia Pembelajar, Penerbit Kompas, Cetakan ke-7, 2004; hlm 202-203].
Lewat kata dan tindakan yang jujur dan konsisten, mereka menyentuh hati masyarakatnya dan menantang angkatan muda negeri ini untuk melakukan yang terbaik, memuliakan kemanusiaannya masing-masing, dengan cara bersikap jujur, sederhana, berani, dan berintegritas. Dan bila angkatan muda Indonesia dewasa ini mengikuti suri teladan mereka, maka bukan mustahil di tahun 2020 Indonesia akan tersingkir dari daftar teratas negara-negara yang paling korup di dunia.
Salam pembelajar mahardika.
Andrias Harefa, Penulis buku terlaris Menjadi Manusia Pembelajar [Kompas, 2000] dan fasilitator www.pembelajar.com
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.