Liturgi Penahbisan dan Emeritasi Pendeta

Liturgi Penahbisan dan Emeritasi Pendeta

Belum ada komentar 3030 Views

Pada tanggal 10 November 2008 saya dan isteri menghadiri kebaktian penahbisan Pdt. Helen Aramada di GKI Cinere, sekalipun kami tidak diundang. Kami hadir karena Pdt. Helen Aramada sering melayani acara Persekutuan Doa Subuh di GKI Pondok Indah, juga karena suaminya adalah mantan murid isteri saya.

Keesokan harinya, yakni Selasa, 11 November 2008, kami berdua menghadiri kebaktian emeritasi Pdt. M.A. Christian, atas undangan Majelis Jemaat GKI Kebayoran Baru, di mana saya pernah melayani sebagai penatua selama tiga masa jabatan, dan selalu sebagai ketua umum, sehingga mendapat julukan dari rekan-rekan sesama anggota majelis sebagai spesialis ketua umum. Kebijakan yang ditempuh waktu itu adalah bahwa tanda tangan ketua umum, sekretaris umum, dan bendahara umum hendaknya tidak sering diganti dalam hubungan dengan bank, notaris, dan auditor, sehingga kami bertiga pun menjabat selama tiga tahun penuh pada tiap masa jabatan.

Tulisan ini dibuat karena kelihatannya liturgi yang dibuat Sinode untuk kedua jenis kebaktian termaksud tidak sesuai dengan hukum gereja GKI, seperti dirumuskan dalam Tata Gereja. Apabila dicermati, proses kehadiran pendeta di jemaat, mulai dari pemilihan, perkenalan, orientasi, pemanggilan, bahkan sampai kepada tahap penahbisan pendeta dan emeritasinya, semuanya menjadi tugas dan tanggung jawab Majelis Jemaat yang bersangkutan, karena berpusat pada keputusan Persidangan Majelis Jemaat (PMJ). Pendeta adalah bagian dari Majelis Jemaat dan berbasis pada jemaat, bukan di atas atau di bawah Majelis Jemaat.

Perlu diketahui bahwa dalam Akta Sinode Am yang merekam keputusan persidangannya di Malang (Akta tersebut, yang menyebut tanggal persidangan, telah saya berikan kepada seorang calon pendeta kita) dinyatakan, bahwa Tata Gereja milik GKI Jawa Tengahlah yang dijadikan rujukan dalam merumuskan Tata Gereja GKI, karena dianggap sebagai yang paling up-to-date. Tata Gereja GKI Jawa Tengah saat itu berporoskan jemaat setempat, yang dewasa dan berdiri sendiri di bawah kepemimpinan sebuah majelis gereja yang berdaulat penuh dan berazaskan kepemimpinan presbiterial yang egaliter dan bersifat melayani, yakni meneladani kepemimpinan Kristus (Pasal 1, ayat 1, Tata Laksana GKI Jawa Tengah). Perumusan jemaat setempat yang melembaga menjadi gereja merujuk kepada ketentuan Staatsblad 156/1927, tentang posisi hukum suatu gereja, yang gemar dikutip oleh Departemen Agama, sekalipun keliru, karena Staatsblad itu hanya berlaku bagi gereja Protestan (Indische Kerk) dan gereja Katolik. Status hukum rumpun gereja-gereja Gereformeerd diatur oleh Staatsblad No. 72/1928.

Saya pernah menjadi anggota Komisi Tata Gereja GKI, mewakili GKI Kebayoran Baru (semula ada tiga orang penatua tetapi kemudian tinggal saya sendiri), sehingga saya adalah pelaku sejarah, karena menghadiri pembubaran Sinode AM GKI dan pembentukan Sinode GKI, bertempat di Jalan Menowosari 23A, Magelang, Jawa Tengah, pada tanggal 31/10/1999, yang mensahkan Tata Gereja GKI pada tanggal tersebut, dan diberlakukan pada tanggal 23/08/03.

Menurut hemat saya, tata ibadah yang dipakai pada kebaktian penahbisan dan emeritasi tersebut di atas tidak sesuai dengan Tata Gereja GKI, seperti akan dijelaskan di bawah ini, serta berkesan sangat pendeta-sentris, Kedua tata ibadah tersebut sama sekali tidak menyebut peran Majelis Jemaat. Gejala ini dapat membuat GKI mengarah kepada “gereja pejabat” (baca pendeta), seperti Gereja Katolik dengan jabatan gerejawi yang berjenjang dan piramidal, di mana Sri Paus menduduki Tahta Suci di puncak piramida tersebut.

Jemaat Setempat

Mukadimah (terdiri dari sepuluh alinea) merumuskan dasar teologis eksistensi gereja dalam wujud Gereja Kristen Indonesia (GKI) serta visi dan misinya di Indonesia, sedangkan Penjelasan Mukadimah menempatkan GKI dalam lintas sejarah tiga gereja asal (GKI Jawa Barat, Tengah, dan Timur), yang bersepakat membentuk GKI yang bersatu. Sebagai bagian dari Tata Gereja, maka Tata Dasar menampilkan pengertian jemaat setempat (Pasal 1 ayat 2a Tata Dasar serta Pasal 5 ayat 1 a-c Tata Laksana) dalam lingkup kesatuan jemaat (lingkup manusia) serta lingkup wilayah, dan persyaratan tentang pelembagaannya menjadi gereja. Alur berpikir ini jelas sekali mengikuti pola Tata Gereja GKI Jawa Tengah (Pasal 1 ayat 1 Tata Laksana) yang berporoskan jemaat setempat serta kepemimpinan Majelis Jemaatnya. Selanjutnya, Tata Gereja GKI menjelaskan unsur kepemimpinan dalam struktur organisasinya, yakni status Majelis Klasis, Majelis Sinode Wilayah, dan Majelis Sinode GKI.

Tentang kritik saya sehubungan dengan liturgi Sinode dalam kasus penahbisan dan emeritasi di atas, yang saya anggap bersifat sangat pendeta-sentris, maka demi kesamaan persepsi kita, saya kutip ketentuan Tata Gereja, agar dapat dilihat dengan jernih peran Majelis Jemaat. Jelas sekali terlihat peran Majelis Jemaat, yang menjadi titik sentral dalam proses pengambilan keputusan PMJ tentang kependetaan, yang dimulai dari tahap pemilihan pendeta (Pasal 69 ayat 5 a Tata Laksana), tahap perkenalan (Pasal 69 ayat 5 b), tahap orientasi (Pasal 69 ayat 5 d), tahap pemanggilan (Pasal 69 ayat 5 2), dan tahap peneguhan (Pasal 69 ayat 5 f).

Tentang peneguhan pendeta, Tata Gereja menetapkan bahwa “Penahbisan/peneguhan dilayani oleh pendeta (Pasal 69 ayat 5 sub 6 b Tata Laksana). Dalam kasus Pdt. Riani Josaphine, peneguhan dilakukan oleh Pdt. Agus Susanto, mewakili Majelis Jemaat GKI Pondok Indah. Pendeta lain, termasuk pendeta yang diundang dan bertoga, turut menumpangkan tangan (Ayat 5 sub ayat 6 c Tata Laksana).

Penyimpangan yang terjadi terhadap peran Majelis Jemaat dapat dijumpai pada tahap emeritasi, yang diametral berbeda dengan tahap pemanggilan dan penahbisan. Pada tahap emeritasi, peran Majelis Jemaat sekonyong-konyong bergeser dan beralih secara tidak logis kepada Badan Pekerja Majelis Sinode (Pasal 69 ayat 9 e 1 Tata Laksana). Hal ini otomatis memunculkan struktur organisasi piramidal, dan Sinode pun muncul di puncak piramida itu, seperti pada gereja Katolik.

Prinsip manajerial yang baku menentukan bahwa Majelis Jemaat yang berwenang dan bertugas memanggil pendeta, maka logislah bahwa Majelis Jemaat juga yang meneguhkannya sebagai pendeta. Oleh karena itu, Majelis Jemaat pula yang berwenang mengemeritasi pendeta. Apalagi tanpa penumpangan tangan, sehingga Ketua Umum Majelis Jemaat yang harus berperan. Saya berharap bahwa hal ini dilaksanakan pada emeritasi Pdt. Agus Susanto di bulan Mei 2009.

Karena Tata Gereja menentukan bahwa seorang pendeta GKI “berbasis pada Jemaat,” (Pasal 69 ayat 3 Tata Laksana), akan tetapi sebagai pejabat gerejawi GKI dia dicatat secara administratif di Sinode Wilayah dan Sinode GKI, demikian juga di PT Dana Pensiun GKI.

Status Tata Gereja

Tata Gereja GKI menetapkan hukum gereja, yang sebaiknya tidak sering diubah dan agar dinotarialkan. Supaya tidak sering diubah, maka hendaknya cakupan Tata Gereja GKI dibatasi pada Bab XXIX pasal 110 tentang Pedoman Pelaksanaan, yang sepadan dengan anggaran rumah tangga suatu korporasi, serta ditutup dengan Bab XXIX tentang Perubahan, dan disertai tujuh buah lampiran. Dengan demikian, Tata Gereja GKI tidak terlalu tebal, sehingga anggota Majelis Jemaat mau membacanya.

Dilihat dari aspek GKI sebagai badan hukum, maka paralel dengan status badan hukum suatu korporasi, pengaturannya terdapat dalam anggaran dasarnya (Articles of Association), dan dinotarialkan serta diumumkan dalam Berita Negara. Hal-hal yang sering diubah dimasukkan dalam anggaran rumah tangga (Bylaws).
Tata Gereja GKI Jawa Tengah dalam menampakkan statusnya sebagai badan hukum tidak merumuskannya sendiri, karena itu bukan kompetensinya, seraya melampirkan dokumen ybs. (Pasal 3 ayat 10 Tata Laksana). Ini berbeda dengan Tata Gereja GKI yang berani merumuskannya sendiri dan keliru (Pasal 1 ayat 3 c Penjelasan Atas Tata Dasar).

Apa yang dikemukakan di atas dibuktikan oleh Persidangan XVI Majelis Sinode GKI tanggal 25-28 November 2008, yang tidak sanggup menyelesaikan agendanya, karena terlampau bersemangat mengatur semuanya, dan tidak mau membedakan mana yang pokok dan mana yang ranting, yang sebaiknya didelegasikan dan menjadi wewenang Majelis Jemaat.

Penutup

Saya memiliki liturgi Sinode yang dipakai dalam kebaktian penahbisan Pdt. Helen Aramada tanggal 10/11/08 di GKI Cinere, dan kebaktian emeritasi Pdt. M.A. Christian tanggal 11/11/08 di GKI Kebayoran Baru, yang menjadi bahan tulisan ini. Menurut pemahaman iman kita, memang Tuhan Raja Gereja yang memanggil Pdt. Helen Aramada. Tetapi Roh Kudus tidak bekerja dalam lingkup hampa udara, melainkan melalui Majelis Jemaat GKI Cinere, yang memanggil Pdt. Helen Aramada, sehingga harus dirumuskan dalam tata ibadah. Demikian pun kebaktian emeritasi Pdt. M.A. Christian, di mana Pdt. Hamakonda, yang berstatus pendeta emeritus (Non-Struktural), artinya secara struktural bukan lagi merupakan bagian dari Majelis Jemaat, sehingga tidak dapat mewakili Majelis Jemaat GKI Kebayoran Baru (Pasal 69 ayat 9 d 1 Tata Laksana). Karena pada kebaktian emeritasi tidak ada penumpangan tangan, maka seharusnya Ketua Umum Majelis GKI Kebayoran Baru yang mengucapkan pernyataan emeritasi itu, sebagai keputusan Persidangan Majelis Jemaat. Dalam hal ini, penyerahan Piagam Emeritasi oleh Badan Pekerja Majelis Sinode adalah masalah adiministratif belaka.

Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan, bahwa dalam kebaktian emeritasi Pdt. Agus Susanto di bulan Mei 2009, Ketua Umum Majelis Jemaat GKI Pondok Indah, akan berperan melepaskan pendeta kita itu, yang dengan penuh dedikasi telah melayani kita selama ini, berdasarkan keputusan Persidangan Majelis Jemaat (PMJ) GKI Pondok Indah. Ini sangat penting untuk meluruskan apa yang patut diluruskan, apalagi karena hal itu terjadi menjelang perayaan seperempat abad kelahiran GKI Pondok Indah, yakni pada tanggal 20 Juni 2009.

Paul P. Poli

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Liturgi
  • Perjamuan Kudus di GKI
    Perjamuan Kudus di GKI
    Perayaan Perjamuan Kudus sebenarnya telah dilakukan oleh gereja perdana. Dalam kehidupan bergereja, PK diterima sebagai sakramen yang diperintahkan...
  • Epifania
    Epifania
    Sebelum abad IV, Hari Epifania (bahasa Yunani: penampakan diri) dirayakan sebagai hari kelahiran Kristus, yaitu pada tanggal 6 Januari...
  • Pemberitaan Firman II:  Pengakuan Iman dan Doa Syafaat
  • Pemberitaan Firman I: Doa sampai dengan Saat Hening
  • Berita Anugerah
    Berita Anugerah
    Berita Anugerah = Kabar Gembira Bagi Umat yang Lemah Ketika dinyatakan sebagai berita anugerah, maka ini merupakan pernyataan bahwa...