Tidak tahukah kamu bahwa segala sesuatu yang masuk ke dalam mulut turun ke dalam perut lalu dibuang di jamban? Tetapi apa yang keluar dari mulut berasal dari hati dan itulah yang menajiskan orang (Mat. 15:17-18)
Sebuah pantun populer di Indonesia mengatakan, “Dari mana datangnya lintah, dari sawah turun ke kali. Dari mana datangnya cinta, dari mata turun ke hati.” Cinta memang biasanya berawal dari mata, kemudian turun ke hati. Lalu dari hati cinta memancar ke luar dalam wujudnya yang konkret.
Yesus juga mengingatkan para pengikut-Nya prinsip ini, karena ada banyak orang yang dalam kehidupan berimannya lebih mengutamakan hal-hal jasmaniah agamawi; hal-hal yang kasat mata. Orang-orang ini beranggapan hidup beriman itu artinya mempraktikkan dengan ketat semua aturan hukum tertulis, Tata Gereja, liturgi dan berbagai ritual agama tanpa cacat cela. Orang-orang ini bahkan bisa saja tampak sangat religius.
Namun, seringkali kita lupa bahwa iman yang sejati tidak diukur dari seberapa sempurnanya kita mematuhi dan mempraktikkan hal-hal jasmaniah agamawi semacam itu. Iman yang sejati harus menjadi wujud konkrit dari apa yang ada di hati kita. Karena itu yang penting bagi Allah memang bukan terutama kesucian ragawi kita, melainkan kesucian hati kita. Percuma kita memiliki raga yang suci tak bercela, tetapi hati kita penuh dengan ketidaksucian. Yesus mengajarkan, bukan apa “yang masuk ke dalam mulut” yang bisa membuat kita najis, melainkan apa “yang ke luar dari mulut,” karena itulah yang berasal dari hati kita. Kalau hati kita suci, maka suci pula apa yang ke luar darinya. [Pdt. Paulus S. Widjaja]
DOA:
Sucikanlah hati kami, ya Bapa, agar apa pun juga yang ke luar dari hati kami berkenan kepada-Mu. Amin.
Ayat Pendukung: Yes. 56:1, 6-8; Mzm. 67; Rm. 11:1-2a, 29-32; Mat. 15:(10-20), 21-28
Bahan: Wasiat, renungan keluarga.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.