Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.
(1 Korintus 9:19)
Ikut Merayakan Hari Imlek
Saya teringat ketika melayani Jemaat GKI Ambarawa pada tahun 1965. Saat itu usia saya baru 26 tahun dan saya masih menjadi calon pendeta. Ketika tiba Hari Raya Imlek, Penatua Gereja meminta saya memberi selamat kepada para anggota jemaat yang sudah lanjut usia, dengan mendatangi mereka di rumah mereka masing-masing. Sekarang sudah lazim diadakan perayaan Imlek di beberapa gereja.
Hari Raya Imlek adalah istilah umum, yang dalam bahasa Tionghoa disebut dengan Chung Ciea, yang berarti Hari Raya Musim Semi. Hari raya ini jatuh pada bulan Februari dan di negara Tiongkok, Korea dan Jepang, ditandai dengan mulainya musim semi. Sebagai negara agraris, tibanya masa panen di Tiongkok bertepatan dengan musim semi. Cuaca cerah dan indah, bunga-bunga pun bermekaran. Masyarakat beria-ria lalu mengucapkan Gong Xi Fa Cai kepada keluarga dan handai-taulan. Mereka membersihkan rumah, memberikan ang pao, mempersiapkan makanan yang enak-enak, memasang kembang api dan lain sebagainya yang menyenangkan hati.
Sebagai pengikut Kristus, tentu saja tidak ada salahnya jika etnis Tionghoa ikut ambil bagian dalam keceriaan Imlek, mengingat nenek moyangnya berasal dari Tiongkok. Segala sesuatu yang positif, seperti mensyukuri berkat Tuhan, bersukacita, saling mengunjungi kerabat, semua itu dapat dilakukan karena tidak bertentangan dengan iman Kristen.
Ada satu catatan, yaitu untuk tidak ikutan menyembah leluhur dengan mengangkat dupa, sebab hal itu menyangkut ibadah atau penyembahan. Namun bila hanya sebatas tradisi, ada baiknya tetap dipertahankan demi persatuan dengan sesama etnis Tionghoa di perantauan dan di Tiongkok.
Sikap Rasul Paulus Terhadap Dunia di Luar Dirinya
Pertama, ia berkata bahwa ia bebas terhadap semua orang. Tidak ada rasa takut. Hal itu kita lihat ketika ia bergaul dan hidup di tengah masyarakat yang beraneka ragam, termasuk orang-orang yang memegang kekuasaan. Rasul Tuhan ini sedikit pun tidak merasa takut atau gentar. Sebagai orang yang merasa paling besar dosanya—yang dikatakannya di 1 Timotius 1:15b, “….dan di antara mereka akulah yang paling berdosa” sehingga sudah selayaknya dihukum seberat-beratnya oleh Tuhan—ia telah diampuni dan ditebus oleh darah Kristus. Hidupnya semata-mata merupakan anugerah Tuhan yang Maha Pemurah. Jika semua itu menguasai seluruh perasaan dan pikiran Paulus, maka tidak ada apa pun lagi yang ditakutinya. Di dalam kasih dan rahmat Kristus, kini ia sudah menjadi orang yang sebebas-bebasnya. Semboyannya, “Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan” (Filipi 1:21).
Mengacu pada sikap hidup Paulus ini, selaku anak Tuhan yang juga telah merasakan besarnya anugerah dan rahmat Tuhan Yesus Kristus, seharusnya kita memiliki rasa percaya diri yang besar terhadap apa dan siapa pun. Hidup dan tindakan kita tidak ditentukan oleh sikap manusia, sebab kini kita sudah menjadi milik Tuhan Yesus.
Kedua, Paulus bersedia menjadikan dirinya hamba dari semua orang, karena ia telah berguru pada Yesus Kristus. Bukankah Gurunya itu telah rela mengosongkan diri-Nya? “…walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri dan mengambil rupa seorang hamba dan menjadi sama dengan manusia” (Filipi 2:6-7). Ini merupakan toleransi ilahi yang luar biasa, yang patut menjiwai rasul Paulus dan siapa saja yang disebut sebagai pengikut Kristus.
Jika kita membaca 1 Korintus 9:20-22, maka kita melihat seorang Paulus yang sedang belajar dari Gurunya untuk dapat hidup sedemikian merendah, dan bersedia menjadi hamba bagi orang lain. Namun jangan sampai salah memahami Kristus maupun Paulus! “Bersedia dan sudi menjadikan diri hamba dari semua orang” tidak berarti hidup tanpa prinsip dan keyakinan. Tidak berarti menjual murah atau mau menukar kebenaran dan iman dengan apa pun yang ditawarkan. Bukan “menyesuaikan diri” tapi “membawa diri” atau bahkan “menempatkan diri” dalam pergaulan luas dan buas sekali pun! Tidak memilih sikap pasif yang mudah dikuasai dan didikte, tetapi proaktif, menyenangkan dan dibutuhkan dalam hidup bersama dengan masyarakat dan dunia. Tidak merugi dalam iman karena jiwa kita terperangkap dan dipengaruhi oleh dunia, tetapi sebaliknya lebih andal dan memberikan pengaruh yang positif kepada semua orang.
Ketiga, selanjutnya Rasul Paulus berkata, “Supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang” (1 Korintus 9:19). Dengan demikian kita melihat gaya hidupnya, berdasarkan iman yang teguh. Lentur dan “lunak” karena berharap untuk dapat menangkap sebanyak mungkin jiwa agar diselamatkan oleh Kristus. Bukankah dengan demikian ia telah menjadi penjala manusia, seperti yang diperintahkan oleh Tuhan Yesus? Bukankah ia telah memberlakukan kasih seperti ajaran Kristus? Kita memang tidak perlu “menyembunyikan” Kristus, tapi juga jangan menonjol-nonjolkan-Nya, sebagaimana Kristus sendiri tidak mau berbuat demikian. Biarlah masyarakat luas mengetahui identitas kita selaku orang Kristen, lalu pancarkanlah hidup dalam kasih Kristus yang indah dan memesona itu. Dengan demikian kita telah menjaring banyak orang untuk makin mendekat kepada Kristus yang selalu siap membahagiakan hidup mereka.•
» Pdt. Em. Daud Adiprasetya
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.