Gabungan keempat budaya yang menyemarakkan Bulan Budaya tahun ini di GKI Pondok Indah tampak begitu serasi menghiasi gedung gereja pada kebaktian penutupan tanggal 29 Agustus yang lalu. Rumah betawi di mimbar dan bunga-bunga kertas yang menyembul riang di sepanjang lorong masuk gereja, balutan kain putih berprada emas di pilar-pilar dan tenunan bali di balkon, kain karo bersalur-salur emas yang menutupi meja panjang di depan mimbar dan tim pemusik GKI PI yang mengenakan topi papua, mencerminkan perpaduan jemaatnya yang berasal dari berbagai penjuru tanah air.
Keanekaragaman ini juga diperlihatkan oleh busana para penatua yang mewakili daerah-daerah yang ditampilkan, dan seluruh tarian yang dibawakan dengan indah oleh remaja-remaja Bali, Papua dan Betawi. Kelompok pemusik Betawi Bermazmur ikut mengambil bagian di dalam ibadah ini. Dalam rangka pertukaran pelayan firman dan penatua, kebaktian hari itu dipimpin oleh Pdt. Yohanes Tuwaidan dari GKI Palsigunung, sedangkan penatua diwakili oleh GKI Ciledug.
Memulai khotbahnya, Pdt. Yohanes Tuwaidan mengatakan bahwa kasih yang inklusif memberi tempat kepada semua orang, tanpa membeda-bedakan. Amsal 25:6-7 mengingatkan bahwa ketika kita mencari tempat bagi diri kita sendiri, kita akan dipermalukan, tetapi ketika kita mencari tempat bagi orang lain, kita akan dipermuliakan. Ibrani 13:1-8, 15-16 mengatakan bahwa ketika kita menjamu orang lain, kita menjamu malaikat Tuhan dan mempersembahkan korban syukur yang berkenan kepada Allah. Lukas 14:1, 7-14 juga mengatakan hal yang sama.
Kasih yang inklusif atau terbuka ini, tidak membuat tembok pembatas. Dulu Indonesia terkenal dengan semangat gotong royongnya, namun saat ini ada upaya-upaya untuk membuat tembok pembatas yang hanya untuk kalangan sendiri, untuk umat Kristen saja, dsb. Padahal kasih yang inklusif sudah ada sejak awal penciptaan dunia ketika Tuhan menjadikan laki-laki dan perempuan agar keduanya saling bekerja sama.
Orang Betawi gemar mengungkapkan perasaan melalui puisi dan sanjak, sementara daerah lain menyampaikannya melalui nyanyian. Dengan kasih yang merangkul, kita dapat mengenal orang yang berbeda dengan budaya yang berbeda pula. Pada saat kita berkunjung ke rumah orang mungkin ada hal-hal berbeda yang dapat memperkaya diri kita. Bahkan ketika kita mengunjungi orang yang sudah bertahun-tahun sakit, kita dapat diperkaya karena sukacita yang dimilikinya, meskipun ia menanggung penderitaan yang begitu lama. Begitu pula dalam keluarga ada perbedaan. Anak-anak memiliki karakter yang berbeda-beda, sehingga kita diperkaya dengan cara-cara untuk menasihati dan menghadapi mereka.
Perbedaan justru memperkaya kita. Wajar kalau ada sedikit benturan dan penyesuaian, tetapi semakin kita mengenal, semakin kita tahu cara bergaul dan mendekati orang. Ada sebuah keluarga yang suaminya Batak dan istrinya Jawa. Ketika ada acara adat Batak, si istri mencoba untuk ikut. Di sana, semua orang diberi hak untuk berbicara dan semua dilibatkan. Orang Batak bersifat blak-blakan dan terus terang. Sebaliknya ketika si suami mengikuti acara keluarga istrinya, ia juga harus menyesuaikan diri karena di dalam budaya Jawa, ada makna di balik setiap kata yang diucapkan. Pertanyaan: “Mau ndak?” dan dijawab ”Ndak”, belum tentu berarti tidak mau. Apabila jawaban “Ndak” itu disampaikan dengan pelan, sebenarnya hal itu berarti mau.
Tetapi kalau kita tertutup dan hanya berkumpul dengan orang-orang yang sepikiran dan cocok dengan kita, kita tidak akan mendapat apa-apa. Kita akan mengenal Allah melalui setiap budaya di tengah-tengah pelayanan, keluarga, dan pekerjaan kita. Karena itu marilah kita membuka hati untuk semua orang. Sewaktu kita mendapat masukan yang tidak berkenan di hati kita, sebenarnya kita sedang diukir dan dibentuk menjadi bejana yang indah. Ada kreasi dan gairah. Kasih Tuhan memang selalu baru, tidak monoton dan penuh warna.
Dalam ibadah pukul 9 disampaikan tanda kasih kepada keempat gereja daerah yang telah membantu program Bulan Budaya GKI PI pada tahun ini.
[nggallery id=40]
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.