Namanya Helen Jayanti, biasa dipanggil Helen. Saat ini sedang menjalani Praktek Jemaat 1 di GKI Pondok Indah. Lulusan dari UKDW Yogyakarta dan asal gerejanya dari GKI Bromo, Malang. Ingin mengenal lebih jauh? Yuk simak ceritanya.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) mengatakan mengalir itu berarti bergerak maju. Begitu juga dengan hidup saya dan Anda, terus bergerak maju. Kita tidak bisa berjalan mundur ke masa yang lalu, kecuali mengenangnya. Dalam artikel ini, saya mencoba mengenang beberapa ‘batu’ yang sudah saya lalui di masa lalu, yang membuat saya bisa ada sampai saat ini. Itu semua karena kasih-Nya dan anugerah-Nya. Saya kira, saya memiliki banyak sekali kejadian unik yang boleh Tuhan izinkan untuk terjadi di dalam hidup saya. Hal ini membuat saya menemukan tujuan-tujuan hidup, lebih memaknai hidup, dan menjadi sebuah pelajaran yang cukup berharga bagi saya. Kali ini saya ingin membagikannya sekaligus mengajak pembaca melihat bagaimana kasih Tuhan mengalir di dalam hidup saya terutama dalam panggilan hidup saya.
Perjalanan Keluarga Kami
Saya bertumbuh bersama dengan keluarga kecil yang hangat di kota Malang, Jawa Timur. Finansial kami tidak begitu stabil ketika saya masih sekolah. Kami sering merasakan kelaparan, menghemat pengeluaran, bahkan untuk membeli seragam sekolah menjadi hal yang sulit bagi kami. Mama dan Papa beberapa kali ganti-ganti pekerjaan, demi mencari pekerjaan yang paling baik untuk kami semua.
Namun Papa pada akhirnya menyerah dengan keluarga kami, lalu memilih untuk menarik diri. Papa memilih untuk hidup sendiri, meninggalkan kami di rumah kontrakan yang sudah beberapa hari lagi tidak dapat ditinggali karena tidak sanggup membayar. Barang-barang di rumah pun dijual untuk membayar hutang. Saat itu adik saya masih kelas 5 SD, saya kelas 3 SMP, dan kakak saya kelas 3 SMA. Melihat kondisi yang terjadi tepat sebelum saya melaksanakan Ujian Nasional membuat saya untuk mendorong diri saya lebih lagi, karena saya tahu, bahwa saya tidak dapat melanjutkan SMA di sekolah swasta yang sama. Sepulang dari sekolah saya dengan uang 35 ribu berjalan kaki selama kurang lebih 2 jam (pulang pergi) untuk membeli buku Ujian Nasional. Saya pelajari dan ‘habisi’ buku tersebut sampai tuntas. Alhasil, saya yang dulunya bukan orang yang ‘pintar-pintar amat’ secara akademis, bisa mendapatkan SMA negeri favorit di Malang. Kakak saya pun juga demikian, setelah banyak hal yang harus ia lalui, kakak saya mendapatkan tempat kuliah jalur undangan dan beasiswa penuh di Universitas Brawijaya. Tangan Tuhan tidak kurang panjang untuk selalu menolong hidup kami.
Kasih-Nya terus mengalir. Ketika kami diminta keluar dari rumah kontrakan itu, keluarga pendeta menolong kami berempat untuk mendapatkan tempat tinggal sementara di tempat penyimpanan barang-barang lama gereja, di belakang pastori. Setelah beberapa bulan, kami berpindah lagi menumpang di rumah keluarga jauh yang juga ada di Malang, dan akhirnya kami dapat kontrakan yang terjangkau dan bisa kami tinggali hingga saat ini.
Meski ada banyak hal yang tidak mudah yang kami lewati, namun selalu ada banyak hal yang bisa disyukuri setiap hari. Pendidikan kami berjalan dengan baik, tubuh kami dalam keadaan baik, bisa sering pelayanan di gereja, dan ada banyak sekali dukungan yang membangun melalui rekan-rekan kami.
Tujuan Hidup
Pada saat saya duduk di bangku SMA, sama seperti anak seumuran pada masa itu, kami memikirkan kira-kira lanjut kuliah atau tidak, kalau kuliah: jurusan apa yang akan diambil ketika kuliah, kalau tidak: apa yang akan saya lakukan? Saya pun mengambil jurusan-jurusan seni seperti desain, seni rupa, dan musik. Tidak satupun saya dapatkan. Segala jalur dengan beasiswa penuh sudah saya lalui, tetapi tidak ada satupun yang lolos. Saya mencoba masuk ke IPDN (Institut Pemerintahan Dalam Negeri), namun tidak lolos juga. Saya merasa sangat sedih dan kecewa kepada diri sendiri. Saya pun menyadari bahwa ternyata saya perlu memiliki arah hidup yang jelas.
Suatu ketika saya melayani dalam vocal group PSM dengan lagu yang dituliskan sendiri oleh PSM (Putu Steven Mendra) atau yang akrab dipanggil ‘kak Steven’. Lagu itu berjudul “Hidup Bagi-Mu”, kami nyanyikan dalam persembahan pujian di Ibadah Minggu pada tahun 2017. Lagu ini kemudian menjadi refleksi saya untuk melihat apa yang menjadi tujuan mulia; apa tujuan Tuhan mati di kayu salib untuk saya; dan apa yang Tuhan inginkan untuk saya lakukan.
Saat itu, tante saya yang berada di Kupang, NTT mengajak saya untuk tinggal bersamanya. Saya sangat senang dengan hal-hal baru, lalu saya mengiyakan ajakan itu. Untuk pertama kalinya saya berangkat naik pesawat, mengikuti konser paduan suara, menginjakkan kaki di NTT yang sangat indah, dan lain sebagainya. Sungguh suatu pengalaman yang sangat indah. Di sana, saya membantu usaha catering tante saya yang dikelola sendiri. Saya pun lupa dengan rasa stress yang saya alami, sebab sejauh mata saya memandang selalu ada langit yang indah yang bisa saya nikmati.
Suatu ketika tante saya bertanya, kira-kira jurusan kuliah apa yang cocok dengan saya? Apa yang menjadi passion-mu? Apa yang menjadi ‘kelengkapan’-mu (pengalaman, passion, talenta/ kemampuan). Saya mengatakan bahwa saya suka sekali mengajar, bertemu dengan orang banyak, bercerita, melayani dan menyanyi. Tanpa berpikir lama tante mengatakan, “Sekolah Teologi aja!” Saya sama sekali tidak tahu sekolah macam apa itu. Saya kemudian menanyakan kepada suami tante yang adalah Pendeta GMIT.
Let it Flow
Saya kembali ke Malang mencoba menggali apa yang menjadi arah hidup saya bersama dengan Ibu Lydia, ibu pembina di gereja kami. Dengan sabar, Ibu Lydia mempersiapkan diri saya untuk tes dan untuk sekolah teologi meskipun saya sendiri belum tentu akan lolos mengikuti seleksi yang katanya cukup banyak dan sulit. Saya mulai bertanya-tanya kepada kakak-kakak teologi yang saya kenal. Saya ingat, pada saat diajak mengikuti Natal Komisi Pemuda GKI Blimbing tahun 2017, saya bertemu dengan kak Siska yang adalah mahasiswa teologi UKDW. Beliau mengatakan ‘let it flow’, ikuti seleksi dengan ‘mengalir aja’, ikuti hidup ini ‘mengalir saja’. Mungkin ada banyak batu yang harus kita lewati, tetapi biarkan mengalir. Kata-kata sederhana yang saya ingat sampai hari ini dan membuat saya bisa melakukan proses ini sampai hari ini.
Tentu dalam proses ini bukan hal yang mudah bagi saya. Saya pernah forsir untuk belajar dan pelayanan hingga mengalami Demam Berdarah dan membawa saya pada bayang-bayang maut karena trombosit yang sangat rendah dan alergi terhadap obat tertentu; pertengahan kuliah saya harus mendapatkan telepon dari Polisi yang mengabarkan bahwa papa saya meninggal dunia karena serangan jantung; dan pandemi di akhir kuliah. Ada banyak kekecewaan, pergumulan, dan roller coaster kehidupan yang kadang membuat saya muak untuk menghadapinya. Tetapi di situlah saya bisa merasakan kasih Tuhan. Selalu ada penghiburan, selalu ada mujizat Tuhan yang terus terjadi, dan selalu ada sukacita yang memeluk erat.•
Helen Jayanti
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.