Di zaman ini, dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin cepat, manusia justru diperhadapkan dengan berbagai macam masalah sosial seperti kesenjangan, kemiskinan, pengangguran, kriminalitas, kenakalan remaja, aliran sesat, konflik SARA, pencemaran lingkungan, pelecehan seksual, korupsi, kesenjangan hukum dan sebagainya.
Negara, lingkungan dan masyarakat yang jauh dari persoalan-persoalan tersebut adalah impian kita bersama. Karena itu pembangunan sumber daya manusia adalah satu-satunya jalan, atau meminjam kata-kata Nelson Mandela, pendidikan adalah senjata yang paling ampuh.
Akan tetapi, pendidikan macam apa? Senjata model apa yang bisa digunakan? Tentunya, model pendidikan yang dibutuhkan adalah model pendidikan yang dapat menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi pembawaan baik jasmani maupun rohani manusia sehingga mimpi untuk mendapatkan manusia yang berkualitas, berkarakter dan yang akan bebas dari berbagai permasalahan sosial saat ini dapat diwujudkan.
1. Pendidikan Kontekstual Izinkan saya menggunakan istilah pendidikan kontekstual untuk menyebut model pendidikan tersebut. Pendidikan kontekstual adalah pendidikan yang memfasilitasi kebutuhan anak dari latar belakang ras, suku, agama, budaya dan keluarga yang berbeda- beda sesuai potensi mereka. Karena latar belakang itu yang membentuk minat, motivasi, gaya belajar dan tingkat kecerdasan seorang anak.
Model pendidikan seperti ini yang sedang kami kembangkan di beberapa desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur seperti Kie, Oemasi, Kium, Tliu dan Nunukniti. Secara khusus di Komunitas Belajar O’of Tilun, Desa Oebo, Kecamatan Kuanfatu, Kabupaten Timor Tengah Selatan.
Desa Oebo ini merupakan salah satu desa di Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS) yang menyumbangkan angka kemiskinan dan beberapa masalah sosial dalam data masalah sosial Pemerintah Daerah Kabupaten TTS sehingga diperlukan pengembangan pendidikan alternatif dengan model pembelajaran yang berpihak pada adat dan budaya masyarakat setempat (Atoin Meto).
Atoin Meto adalah suku yang khas karena mendiami Pulau Timor bagian Barat sejak zaman dahulu dengan kemampuan beradaptasi yang unik. Buat Atoin Meto, pendidikan kontekstual berarti menggali narasi-narasi budaya, keindahan bertutur (disebut natoni), belajar bertenun dan memahami spiritualitas bertanam ataupun menyimpan jagung di dalam Ume Kebubu (Rumah bulat asli Timor, tempat memasak dan menyimpan jagung tahunan dengan cara pengasapan. Pemahaman panen jagung bagi orang Timor adalah cara Tuhan memelihara hidup mereka. Jadi jagung tidak dijual dan bukan dikomersialisasikan untuk pendapatan.) sebagai bagian dari rasa hormat syukur kepada Tuhan, Sang Pemberi Kehidupan. Pendidikan kontekstual tidak memiliki standar acuan nasional. Ia bergantung pada konteks di mana pendidikan tersebut diadakan. Itu sebabnya “pintar” tidak lagi bisa disamaratakan secara nasional. Pintar di kota, adalah ketika anak bisa menghitung uang ribuan dan jutaan. Pintar di desa adalah ketika mereka dapat memanjat pohon kelapa, memilih dan memetik kelapa muda dalam hitungan kurang dari lima menit saja. Anak kota tidak boleh berkata anak desa tidak pintar karena tidak dapat menghitung uang ribuan, karena anak desa mungkin belum perlu menghitung uang sekarang. Sebaliknya jika anak kota itu ada di desa, mungkin ia yang ditertawakan karena tidak bisa memanjat pohon kelapa! Anak pintar, bergantung pada konteks dan kemampuan menguasai keterampilan kehidupan (life skills) dimana anak itu hidup dan dibesarkan.
Dengan adanya pendidikan kontekstual ini, generasi muda diharapkan tumbuh sebagai generasi yang berintelektual dan berakhlak serta berguna bagi bangsa dan negara di manapun ia ditempatkan. Bagi masyarakat secara umum, dengan segala keberadaanya dapat memberdayakan dirinya untuk keluar dari jerat kemiskinan dan keterbelakangan, berdaya menyelesaikan masalah sosial yang disebutkan di awal artikel ini.
Pendidikan kontekstual yang berpihak ini juga menjunjung konsep integrasi literasi teknologi, literasi budaya dan pendidikan karakter diterapkan untuk generasi- generasi baru disiapkan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi tidak melupakan identitas budaya mereka sebagai Atoin Meto sehingga persoalan-persoalan mendasar yang selama ini dihadapi tidak terjadi lagi.
2. Komunitas Oof Tilun di Oebo, Timor Tengah Selatan
Model pendidikan kontekstual yang kami terapkan di Oebo bukanlah sebuah model pendidikan yang baru. Model pendidikan ini sudah sukses diterapkan di beberapa sekolah seperti Sanggar Anak Alam Jogja, Sekolah Pagesangan, Erudio Indonesia, Sokola Rimba dan beberapa sekolah non dan in- formal lainnya di Indonesia. Beberapa sekolah yang saya sebutkan menjadi destinasi perjalanan belajar kami di Jawa selama bulan Februari 2023.
Dalam konteks di Oebo, penerapan model pendidikan kontekstual di Oebo berangkat dari kesempatan menerapkan konsep pendidikan kontekstual dengan masalah-masalah sosial yang terjadi secara umum di Nusa Tenggara Timur seperti migrasi anak muda keluar daerah dan negeri, perdagangan manusia, kemiskinan dan ilmu pengetahuan lokal yang semakin bergeser karena perkembangan teknologi.
Komunitas Oof Tilun juga dibentuk dari idealisme anak-anak muda agar anak-anak muda Oebo tidak lari ke kota mencari nafkah sebagai driver ojek, supir angkot atau tukang bangunan. Jika anak- anak muda berdaya di desa, maka kehidupan di desa menjadi sentral dan anak-anak muda tidak tergiur pergi ke kota.
Mewakili masyarakat secara keseluruhan, komunitas ini menunjukkan rasa ingin tahu melalui model pembelajaran yang berpihak. Proses yang tidak membunuh bakat dan minat anak serta budaya dari suku itu sendiri, menjadi bagian pembelajaran generasi muda di Oebo. Ambil contoh bagaimana anak-anak kembali belajar tenun dan melestarikan budaya tenun dari komunitas ini. Memasak dan mengupayakan pangan lokal, menanam kebun yang menghasilkan jagung, sayur, kacang, ubi dan minyak kelapa, menggantikan mie instan, camilan perasa kentang, nasi dan minyak goreng kemasan.
Kegiatan bermain tidak lagi dipisah dengan belajar karena bermain itu sendiri adalah belajar. Darinya anak-anak desa Oebo bersama membahas berbagai topik, menjadi bagian pembelajaran penting terkait dengan tiga pelajaran dasar: membaca, menulis, aritmatika (3R – Reading, Writing dan Arithmetic).
3. Kami Juga Ingin Belajar Mamat merupakan budaya suku
Mamat merupakan budaya suku Dawan, yang berarti makan sirih-pinang. Puah ma manus (pinang dan sirih) bukan hanya suguhan dalam kunjungan tamu atau camilan di tengah pembicaraan keluarga besar. Sirih pinang adalah bahan pemersatu dan media komunikasi dan merupakan salah satu budaya tertinggi dalam suku Dawan (Ukuran kasih kadang diukur dari mamat. Semakin sering ia memberi puah ma manus, atau melakukan mamat bersama orang lain, semakin ia dikenal dengan seorang yang baik hati.). Perbedaan pendapat diatasi dengan mengunjungi mereka yang salah paham, membawa sirih pinang. Perseteruan selesai jika makan sirih pinang bersama, tanda penerimaan. Sirih pinang juga simbol kebersamaan, sukacita dan rasa kasih persaudaraan. Dalam konteks pendidikan kontekstual, anak-anak muda desa Oebo belajar sirih pinang untuk mengasah rasa, berinteraksi dalam budaya mereka.
Contoh sirih pinang di Oebo adalah contoh pelajaran berinteraksi dan mengolah rasa. Anak-anak muda Oebo berharap, pembelajaran kontekstual dapat membantu mereka berdaya dari desa. Mulai dari belajar mengelola kebun dan usaha, mengumpulkan data dan menyimpulkan dan bekerja sama menyelesaikan berbagai permasalahan. Semua dibangun dalam kerangka belajar lokal, dari mereka untuk mereka.
Selain tiga pembelajaran dasar (Reading, Writing and Arithmetic), belajar berinteraksi termasuk pembelajaran dasar ke empat, Relationships. Pelajaran mengolah ‘rasa’ dalam interaksi keseharian perlu menjadi bagian dari pembelajaran, agar anak-anak muda sadar tidaklah mungkin mengambil hak milik sesama, menyakiti dan mengabaikan hak hidup orang lain semarah apapun dia. Pendidikan kontekstual perlu didorong agar permasalahan sosial diselesaikan dengan cara yang baik dan setiap anak belajar mengembangkan potensi sesuai dengan panggilan hidupnya, dimanapun ia ada, baik di kota maupun di desa.•
Neno Anderias Salukh
Joyce Heryanto
Yayasan Mentari Menerangi Indonesia
IG: @sunshineprojct FB: Sunshine Projct
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.