Upaya Menjaga Kebugaran Sungguh tak mudah memulai kembali sebuah rutinitas, terutama yang menyangkut fisik, apalagi kalau memang pada dasarnya malas gerak setelah hampir sebulan terkarantina akibat dinyatakan Positif COVID-19. Otot-otot sudah mulai kaku kembali, tapi yang paling serius aadalah semangat dan kemauan untuk mengubah kebiasaan yang sudah dirasa nyaman.
Namun kesadaran akan perlunya memulihkan kesehatan—setelah pernah tidak sehat selama lebih kurang sebulan— telah mendorong tekad untuk segera menukar kenyamanan semu tadi dengan upaya untuk mencapai kondisi yang lebih baik, meskipun tidak sampai harus pada tataran ideal, namanya saja pemulihan.
Para Pendekar Kehidupan
Namun demikian, ada hal-hal lain yang membuat saya bisa lebih bergairah melakukan aktivitas itu, yakni perjumpaan-perjumpaan dengan ‘kehidupan’ itu sendiri melalui para pelakon perjuangan kehidupan yang saya temui di sepanjang rute perjalanan saya. Sepertinya hidup kembali di-charge mendengarkan kisah upaya dan perjuangan mereka untuk bertahan hidup dan memperjuangkan kehidupan yang lebih baik bagi diri sendiri, keluarga, dan anak-cucu mereka.
Kondisi yang saya sandang sepanjang pandemi ini memang tidak bisa dikatakan menyenangkan, tetapi jika dibandingkan dengan ketidaksenangan dan beban yang harus dipikul oleh para pendekar kehidupan ini sepertinya merekalah yang lebih berhak mengeluh dan meratap. Namun ternyata mereka tidak berlaku demikian. Lalu mengapa saya harus mengeluh atau meratapi ketidaksenangan dan beban yang jelas jelas tidak lebih besar dari mereka semua? Bukannya saya mensyukuri bahwa beban mereka lebih besar, melainkan bagaimana dengan berbagi perjuangan hidup ini kami bersama sama menemukan alasan-alasan untuk bersyukur.
Kembali saya ingin menampilkan cerita perjuangan para pendekar kehidupan yang saya temui di jalan jalan pagi saya. Dengan demikian saya berharap bisa menularkan inspirasi untuk menemukan alasan mensyukuri kehidupan yang telah dikaruniakan kepada kita; yang sering disertai limpahan berkat dan rahmat, tetapi terkadang tidak mampu kita lihat, karena kurangnya kepekaan atau sensitivitas kita.
Ibu Mariyem – ‘Pecel Kehidupan’
Pasangan Pak Samidi dan Bu Mariyem semula adalah petani yang mengolah 2 petak sawah milik mereka beserta beberapa ternak yang mampu menghidupi keluarga beranak tiga itu. Namun karena kegemaran Pak Samidi yang mengasyikkan, yakni berjudi, maka sedikit demi sedikit harta keluarga itu pun lenyap, ludes dipertaruhkan di meja judi. Bahkan seekor kerbau bisa lenyap di meja itu dalam semalam setelah dipertaruhkan berkali-kali sampai nilainya habis. Tidak sampai di situ saja, utang mereka menumpuk di mana-mana karena membiayai kegemaran berjudi Pak Samidi yang tidak pernah direstui keluarganya itu.
Mariyem, gadis belia 13 tahun yang baru saja lulus Sekolah Dasar, dinikahkan dengan Samidi semata mata karena dijodohkan orangtuanya. Ia tidak pernah mengerti rencana dan maksud orangtuanya yang akan menikahkannya dengan Samidi, pemuda sedesa yang belum dikenalnya dan berusia 10 tahun lebih tua darinya, karena ia tidak diajak bicara sebelumnya. Hal demikian sudah biasa terjadi di masyarakat pedesaan suku Jawa. Meskipun ia tidak bisa menolak pernikahan itu, tetapi selama 3 tahun ia tidak/belum bersedia berkumpul dengan Samidi dan memilih tetap tinggal di rumah orangtuanya. Baru kemudian ia menjalani kehidupan bersama Samidi seperti layaknya sebuah keluarga selama 19 tahun dengan romantika seperti di atas, dan dikarunia 3 anak perempuan sebagai buah kasih mereka.
Meskipun telah diperingatkan berkali kali untuk menghentikan kebiasaan judi—yang sekadar menyenangkan tapi secara perlahan menghancurkan ekonomi bahkan mental keluarganya—tetapi Pak Samidi tetap bersikeras dengan kebiasaan buruknya itu, sehingga Bu Mariyem pergi meninggalkan rumah dan merantau ke Cikarang. Dalam keputusannya itu, Bu Mariyem bertekad mencari peruntungan yang bisa menolong ekonomi keluarga, menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya serta membayar utang judi yang makin menumpuk tadi. Ia melarang Pak Samidi untuk menyusulnya jika tidak lebih dulu menghentikan kebiasaan buruk yang merusak diri dan keluarganya itu.
Baru setahun kemudian, tepatnya pada tahun 2005, Pak Samidi nekad berangkat ke Jakarta karena ada pekerjaan di proyek perumahan yang baru dibuka pembangunannya. Setelah mendapatkan informasi dan akses ke bu Mariyem yang berada di Cikarang— yang waktu itu membantu saudaranya berdagang—maka enam bulan setelah menekuni dan menganggap pekerjaannya cukup layak, Pak Samidi mengajak Bu Mariyem untuk tinggal bersama di kontrakannya sambil membangun upaya untuk bersama-sama memperbaiki ekonomi keluarga. Melihat kesungguhan Pak Samidi untuk berubah, Ibu Mariyem pun setuju. Sementara itu anak-anak mereka tetap bersekolah di kampung dalam asuhan kakek-nenek mereka.
Mulailah sejak saat itu Ibu Mariyem berdagang pecel di sudut terluar kompleks perumahan itu hingga sekarang. Ia tidak membuka warung atau kedai, sangat bisa jadi berkaitan dengan kesulitan mendapatkan izin resmi dari pengembang. Ia hanya menggelar dagangan kecil dan sederhana di atas sebuah meja berukuran 60×120 cm dan dinaungi payung golf besar saat duduk di kursi plastik di belakang meja itu.
Selain pecel, Ibu Mariyem menyajikan lontong isi, gorengan dan bothok sebagai pelengkap tambahannya. Meskipun disajikan secara sederhana dan dijual dengan harga sangat murah, tetapi bumbu pecel buatan Ibu Mariyem sangat bercitarasa, terutama bagi mereka yang sudah biasa merasakan nikmatnya pecel Madiun. Bu Mariyem memang berasal dari daerah Walikukun, sebuah desa di Kabupaten Ngawi, Karesidenan Madiun.
Dengan berjualan pecel—yang lebih memberikan pemasukan secara ajek dibandingkan pekerjaan pak Samidi yang timbul tenggelam— Bu Mariyem berhasil menyekolahkan ketiga anaknya hingga tamat SMA. Ia bahkan mampu menikahkan ketiga anaknya—meskipun secara sederhana dan ala desa dan menggelar hiburan campursari yang sangat digemari masyarakat di desanya. Bu Mariyem berkeinginan keras untuk terus membangun kehidupan di masa tuanya, karena itu dengan giat dan disiplin tinggi ia menabung untuk membangun rumah masa tuanya di desa yang kini sudah terwujud.
Sebenarnya besar keinginannya untuk segera kembali dan memulai kehidupan baru masa tuanya di desa, tetapi apa daya ‘untung tak dapat diraih dan malang tak dapat ditolak’, menantu tertuanya yang dikatakan begitu baik dan sangat bertanggungjawab meninggal karena kecelakaan di tempat kerjanya. Jadilah Bu Mariyem bertahan di Jakarta untuk mengurus keluarga almarhum yang meninggalkan empat orang anak, yang terkecil masih berumur dua bulan waktu itu. Kedua putri Bu Mariyem lainnya hidup dengan keluarga mereka masing-masing secara cukup dengan pekerjaan yang pantas.
Yang menarik dari kisah Bu Mariyem adalah bagaimana ia mempunyai semangat besar untuk berbagi dan meyakini bahwa hal itu tidak akan membuatnya berkekurangan, apalagi miskin. Jika hingga sekitar pukul 11.00 pagi dagangannya tidak habis, maka ia akan meramu dan membungkusnya untuk dibagi bagikan kepada orang-orang yang dirasanya patut mendapat kasihnya, dalam sajian yang layak dan tetap memenuhi kepantasan sebuah pemberian. Tidak itu saja. Bu Mariyem juga punya waktu khusus untuk berbagi, yakni Jumat berkah. Setiap Jumat saat ia membuka dagangannya, ia akan mengemas ramuan pecel dan kelengkapannya untuk beberapa orang yang akan diberikannya secara gratis. Kriteria mereka yang pantas menerimanya sudah ada dalam ketentuan Bu Mariyem. Hal ini sebenarnya berawal dari perilaku seseorang (beberapa) yang memesan beberapa bungkus pecel kepada Bu Mariyem untuk dibagikan kepada orang-orang tertentu. Hal inilah yang kemudian diikuti oleh Bu Mariyem apabila kebetulan orang-orang itu tidak memesan khusus untuk dibagikan. Bu Mariyem bahkan tidak segan libur berdagang hanya untuk melayani pesanan khusus seperti ini, maupun inisiatifnya untuk turut berbagi kepada mereka yang membutuhkan. Cara Bu Mariyem bersyukur dengan berbagi sungguh menginspirasi.
Pak Wahid – Kerupuk 7 Presiden RI
Kakek berusia lebih dari 80 tahun kelahiran Subang ini lahir ketika Jepang belum masuk Indonesia. Sejak kecil ia hidup di lingkungan pertanian yang miskin. Pada usia belasan ia merasa tidak mampu bertahan untuk terus bertani mencangkul tanah yang tak lagi menghasilkan apa-apa, karena itu ia mencoba mencari peruntungan ke luar dari desanya, barangkali saja ia bisa mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang lebih baik.
Dari Subang berangkatlah ia menuju Jakarta. Setelah berkeliling ke sana kemari tanpa bekal pengenalan destinasi yang cukup, perjalanannya berakhir di Sukatani, Kabupaten Bogor, ketika bertemu dengan seorang juragan kerupuk goreng pasir. Ia kemudian diberi pekerjaan untuk menjajakan kerupuk goreng pasir itu dengan cara dipikul keliling. Sejak saat itulah, masih di zaman Bung Karno menjadi Presiden RI, Pak Wahid berjualan kerupuk goreng pasir hingga kini. Awalnya, Pak Wahid berjualan secontong-nya 5 ketip (setengah rupiah). Sekarang ini dengan ukuran yang kira-kira sama, kerupuk itu dijual lima ribu rupiah. Jadi Pak Wahid ini sudah berjualan kerupuk hingga harganya naik 10.000 kali lipat.
Pada awal ia datang ke Jakarta— demikian ia berkisah—terminal bisnya masih di Bungur. Karena buruknya prasarana, ketika bus berjalan masuk atau keluar terminal, batu-batu alas jalannya terlepas dari aspal dan mencelat ke sana-kemari. Jakarta masih sepi. Masih lebih banyak kampung daripada jalan-jalan raya serta gedung-gedung beton yang menjulang tinggi seperti sekarang. Banyak tempat masih terhubung dan bisa dijangkaunya dengan berjalan kaki keliling menjajakan kerupuk pasir dagangannya.
Dulu, kenangnya, di zaman Presiden Soeharto ia sempat mengalami masa kejayaannya berjualan kerupuk pasir. Banyak sekali pembeli di kampung kampung yang dilewatinya, baik anak-anak kecil, orang muda dan tua. Ia merasa diberkati dengan berjualan kerupuk pasir waktu itu, sehingga bisa menikah dan dikaruniai 5 orang anak. Usia dengan istrinya terpaut cukup jauh, Jika ditanya berapa selisih umur keduanya, Pak Wahid cuma menjawab: “Sekolah saya dulu namanya Sekolah Rakjat (SR), sedangkan dia namanya sudah Sekolah Dasar (SD).” Sekolah Rakjat adalah istilah untuk sekolah pendidikan dasar di zaman penjajahan Jepang, setara dengan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) dan Europeesche Lagere School (ELS) pada zaman Belanda. Sedang Sekolah Dasar (SD) adalah istilah pengganti untuk Sekolah Rakjat, yang diresmikan sejak 3 Maret 1946. Jadi Pak Wahid sekolah pada zaman Jepang sedang istrinya sekolah pada zaman pasca kemerdekaan, sehingga bisa diperkirakan bahwa umur mereka terpaut antara 10-15 tahun.
“Saya berjualan kerupuk sejak zaman Bung Karno. Sudah ganti presiden 7 kali dan saya masih tetap memikul kerupuk ini.” kisahnya. Dengan demikian sudah sekitar 60 tahun Pak Wahid berjualan kerupuk pasir dan menjajakannya dengan cara dipikul keliling. Ia mengeluh bahwa anak anak di kampung sekarang tinggal sedikit, bahkan hampir tidak ada lagi yang menyukai jajanan kerupuk pasir. Padahal sebenarnya mungkin jumlah anak di kampung tetap saja banyak, hanya saja minat dan pilihan jajanan kini makin beragam dan lebih menarik daripada jajanan kerupuk pasir. Bahkan jika mau melihat kenyataan, ujarnya, kerupuk pasir ini sudah hampir tidak ada lagi yang meminatinya. Ia berjalan keliling ke rute yang relatif tetap sepanjang kurang lebih 20 kilometer setiap hari. Namun demikian, kerupuk pasir dengan volume sama seperti yang dibawanya sejak pasca Orde Baru tidak pernah sekalipun habis, bahkan laku setengahnya pun tidak. Ia—yang mendapat keuntungan dari selisih antara kulakan dan hasil penjualannya itu—harus puas jika bisa membawa hasil setiap hari. Ketika ditanya apakah ia tidak pernah berpikir untuk beralih profesi atau berjualan hal yang lain, Pak Wahid menjawab bahwa bisanya cuma ini dan begini, yakni mengambil barang secara konsinyasi, dan memperoleh penghasilan dari selisih antara harga dasar dan harga jual. Untuk bekerja lain, menjadi kuli bangunan misalnya, ia merasa tidak biasa (dan mungkin tidak kuat), sedangkan untuk berjualan sendiri jelas ia tidak punya modal. Karena itu ia berusaha menekuni pekerjaan ini, sambil terus bersyukur bahwa ia masih bisa terus menghidupi keluarganya.
Namun demikian, pilihan profesinya itu tidak mampu menghasilkan lebih, sehingga hanya cukup untuk makan saja. Sedangkan sekolah anak-anaknya terpaksa tidak bisa dibiayai sehingga mereka hanya sampai pada tingkat Sekolah Dasar, dan itu pun tidak sampai lulus. Karena itu tidak ada seorang pun yang bekerja di kantor sebagai pegawai, ataupun usaha sendiri, melainkan bekerja kasar dan serabutan.
Meskipun badan Pak Wahid kelihatan tinggi dan tegap yang mengisyaratkan kesehatan yang baik, tetapi menurut dia, tenaganya sudah jauh berkurang. Sekarang ini ia lebih sering berhenti, duduk untuk beristirahat, sambil memberi kesempatan calon pembeli untuk menemukannya di suatu tempat tertentu. Namun ia tetap mensyukuri kondisi yang ada, karena meski hanya beras seliter tetap bisa dibawanya pulang ke rumah sebagai hasil dari berjualan kerupuk goreng pasirnya itu.
Empat dari lima anaknya sudah berkeluarga dan tinggal bersama keluarga mereka masing-masing. Hanya tinggal si bungsu yang belum berumah tangga dan masih menjadi tanggungjawab Pak Wahid serta tinggal bersama di rumahnya. Meskipun anak anaknya hidup sederhana, tetapi Pak Wahid bersyukur bahwa mereka tetap bisa membentuk keluarga mandiri yang tidak menjadi beban siapa pun.
Pak Wahid tidak bisa bercerita lebih banyak karena agaknya beliau memang pendiam dan bicaranya sepotong sepotong, sehingga diperlukan upaya ekstra untuk menggali informasi yang agak utuh. Dan ini adalah hasil tiga kali berbincang dengannya sambil membeli sekantong kerupuknya setiap kali berbincang.
Mas Pon – ‘Pemain’ Ketoprak
Pria kelahiran Tegal pada tahun 1981 ini nama aslinya adalah Sorichin. Tak penah diketahui arti dan alasannya mengapa dia dinamai demikian. Pada waktu ia sekolah namanya berubah menjadi Solichin, karena menurut insting Pak Guru, namanya seharusnya begitu. Namun karena ia kemudian menjadi gampang sakit, maka orang orang tua yang ada di sekitarnya (ia tinggal bersama neneknya karena ayahnya sudah meninggal dan ibunya telah menikah lagi) berupaya mencarikan nama yang dianggap bisa menguatkan fisiknya. Akhirnya tibalah mereka pada pilihan nama menurut pasaran dalam weton (hari kelahiran menurut penggalan Jawa). Karena ia lahir (metu) pada hari Rabu Pon, maka ia kemudian dipanggil ‘Pon’, menurut nama pasaran hari kelahirannya itu. Dengan penjelasan itu gugurlah perkiraan saya bahwa nama panjangnya mungkin adalah Ponijan, Ponidi, Ponari, atau bahkan mungkin Pontius Pilatus hehehehehehe…..
Karena kondisi ekonomi neneknya yang serba kurang, maka Mas Pon hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 2 SD. Sekeluar dari sekolah si Pon kecil lantas bekerja serabutan apa saja asal bisa membantu ekonomi neneknya. Karena ia tinggal di kampung nelayan, maka ia banyak belajar tentang bagaimana menjadi nelayan dengan mengikut kapal-kapal nelayan kecil untuk memancing dan menjala ikan di laut.
Berdasarkan pengalamannya itu, pada tahun 1999, seorang tetangganya yang menjadi nahkoda kapal ikan di Jakarta mengajaknya untuk turut bekerja di kapal ikan. Akhirnya pemuda Pon itu bergabung dalam kapal nelayan pencari ikan yang dinahkodai oleh tetangganya itu.
Bermacam-macam kapal (yang dibedakan menurut sasaran tangkapannya) pernah ia ikuti, dari yang lamanya melaut cukup 4 hari saja, hingga yang lamanya 4 bulan. Ia melaut sampai di perbatasan Australia, jika sasaran tangkap kapalnya adalah ikan tuna, yang membutuhkan waktu melaut hingga 4 bulan.
Setelah 5 tahun malang melintang di berbagai kapal penangkap ikan, pada suatu hari dalam perjalanannya untuk menangkap ikan tuna yang harus melintasi Samudra Indonesia, di tengah malam saat anak-anak buah kapal sedang terlelap tidur, kapalnya mengalami pecah lambung di Selat Sunda, dekat gugusan Gunung Krakatau. Untuk menyelamatkan supaya kapal agar tidak tenggelam atau karam, maka seluruh beban kapal yang masih belum banyak dipergunakan itu (bisa dibayangkan banyaknya perbekalan yang disediakan untuk 4 bulan dan baru digunakan sehari) dibuang ke laut. Yang ada dalam pikiran nahkoda dan seluruh anak buah kapal pada waktu itu adalah menyelamatkan nyawa dulu, perhitungan lainnya bisa dilakukan nanti. Mereka bersyukur karena kapal tidak tenggelam dan semua selamat.
Pengalaman itu rupanya membuat Mas Pon trauma sehingga memutuskan untuk hanya bekerja di darat saja. Ia kemudian pulang kampung dan mencoba beternak burung puyuh. Namun tidak sampai satu tahun usahanya gulung tikar karena informasi awal yang menyesatkan. Pada saat belajar, ia hanya diberi gambaran sukses, sukses, dan sukses saja. Ternyata potensi risiko yang timbul tidak pernah dibicarakan. Meskipun ia tidak merasa tertipu, tapi jelas bahwa ia telah keblondrok.
Ia kemudian mencoba peruntungan dengan bekerja pada seorang pengusaha konveksi dengan tujuan agar suatu saat ia bisa melakukan usaha itu sendiri. Namun menurut pengamatannya, ternyata si bos yang telah 10 tahun mengerjakan hal itu belum juga bisa dikatakan maju, apalagi dia yang baru 3 bulan masuk ke bisnis itu.
Akhirnya pada tahun 2005 Mas Pon pergi ke Jakarta lagi dan mengikut seorang juragan bakso. Ia berkeliling ke kampung-kampung dan perumahan-perumahan menjajakan baksonya. Sambil berjualan bakso, Mas Pon berpikir bagaimana caranya mempunyai usaha sendiri. Setelah satu tahun berjualan bakso, ia mampu menemukan gambaran usaha yang akan dilakukannya nanti. Prinsip utamanya adalah jangan sampai penataan bahan dagangannya mengharuskannya memiliki kulkas. Ia memutuskan untuk berjualan ketoprak (makanan khas Jakarta; terdiri atas ketupat, tahu, dan tauge berbumbu kacang), menjadi ‘pemain’ ketoprak.
Ternyata berdagang ketoprak cukup bisa diandalkan untuk menyokong ekonomi keluarga, karena itu setelah 3 tahun berdagang Mas Pon berani menyunting gadis pujaannya dan mengajaknya menikah. Pada saat itu tidaklah sulit menghabiskan 50 porsi ketoprak yang dijajakannya dalam sehari. Istrinya juga berupaya membantu ekonomi keluarga dengan bekerja pada sebuah rumah tangga di kompleks tempat Mas Pon menjajakannya ketopraknya. Istri Mas Pon disebut sebagai penyetrika terbaik, menurut induk semangnya.
Namun begitu pandemi melanda, otomatis jualan Mas Pon menjadi sepi. Saat ini untuk menghabiskan 30 porsi sehari saja terasa sangat berat. Bahkan terkadang di kompleks cuma bisa laku 3-4 porsi saja, karena itu ia berupaya keras untuk bisa mendapatkan tambahan dari luar kompleks. Ia— yang biasa berbelaskasihan kepada sesama—berupaya melayani mereka menurut kemampuannya. Tak jarang pemulung, tukang gali, polisi cepek, atau para tunawisma yang ditemuinya di jalan memohon bisa membeli ketopraknya, tetapi dengan harga yang jauh di bawah tarif normal jualannya. Mas Pon tetap melayani mereka dengan baik dan layak serta penuh hormat, karena ia berpikir bahwa ia tidak akan menjadi miskin atau rugi karena menolong mereka. Mas Pon sangat menghayati bahwa rezeki Tuhanlah yang mengatur semuanya. Baginya, tidak peduli seberapa banyak uang yang bisa dibawanya pulang hari itu, yang penting esok masih bisa membeli bahan-bahan mentah untuk diolah lagi.
Istrinya juga telah lama berhenti bekerja, akibat pandemi, agar bisa lebih membantu anak sulung mereka yang duduk di kelas 5 SD belajar online, serta mengasuh anak bungsu mereka yang saat ini berusia 3 tahun. Mas Pon berprinsip bahwa bagaimana pun juga ia nanti akan kembali ke kampung dan di sanalah ia akan menjalani kehidupan masa tuanya bersama istrinya. Karena itu ia dengan tekun menyisihkan sebagian penghasilannya untuk membangun rumah di sana. Saat ini bangunan itu sudah berdiri meskipun masih perlu dirapikan terlebih dulu sebelum bisa ditempati.
Demikianlah sekelumit cerita pengalaman dan perjuangan. Meski pun tidak semuanya menunjukkan happy ending, tetapi pergulatan menghadapi kehidupan yang makin keras tetap menunjukkan, bahwa sekalipun mungkin mereka bukan pemenang, mereka adalah para pejuang kehidupan. Tetap ada nilai yang bisa diambil sebagai inspirasi bagi kehidupan yang kebanyakan tidak seberat mereka. Tuhan memberkati.•
|Sujarwo
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.