Perjumpaan Injil dan kebudayaan merupakan sebuah tema klasik di dalam pergumulan iman Kristen di tengah dunia. Sejak awal kelahirannya, Injil tak pernah bisa melepaskan diri dari kebudayaan, sebab Injil senantiasa hadir di dalam totalitas hidup manusia–dan manusia selalu membentuk jatidiri manusia sejak ia lahir. Tidak pernah ada Injil yang “telanjang,” yang lepas dari konteks kebudayaan. Injil tak pernah berada di dalam sebuah ruang yang vakum secara kultural. Kita memang percaya bahwa Injil menyapa umat manusia secara universal dan “melintasi” seluruh kebudayaan dunia. Namun Injil tidak pernah hadir bagi manusia “di luar” kebudayaan.
Namun, sebelum kita mempercakapkan lebih mendalam relasi Injil dan kebudayaan, agaknya kita perlu memahami secara tepat apa yang dimaksud dengan kebudayaan.
Pada tahun 1952, di dalam buku berjudul Culture: A Critical Review of Concepts and Definitions, Alfred Kroeber and Clyde Kluckhohn mendaftarkan 164 definisi tentang kebudayaan. Kemudian, pada tahun 2006, John R. Baldwin et al. (Redefining Culture: Perspectives Across the Disciplines) membuat kompilasi yang berisi lebih dari 300 definsi kebudayaan lintas-disiplin keilmuan, khususnya yang muncul setelah tahun 1952. Hal ini menunjukkan betapa luasnya pemahaman mengenai kebudayaan.
Secara umum, pada masa kini, kebudayaan tidak lagi sekadar diasosiasikan dengan artifak kuno, kesenian tradisional dan atribut-atribut masa silam. Sebaliknya, kebudayaan mengacu pada seluruh fenomena manusia yang tidak tergolong ke dalam genetika manusia. John S. Mbiti secara apik mendefinisi kebudayaan sebagai pola kehidupan manusia dalam menanggapi lingkungan kehidupan manusia, yang diekspresikan dalam bentuk-bentuk fisik seperti agrikultur, seni, teknologi; dalam relasi antarmanusia seperti institusi, hukum, kebiasaan; dan dalam bentuk refleksi atas seluruh kenyataan seperti melalui bahasa, filsafat, agama, nilai-nilai spiritual dan pandangan dunia.
Atas dasar itu, saya ingin memberikan dua catatan penting. Pertama, tidaklah tepat jika kemudian kita memahami bahwa kebudayaan sekadar mengacu pada artifak masa silam dan terwujud lewat kesenian etnis belaka, sebagaimana terekspresi di dalam beberapa kali Bulan Budaya kita. Kedua, gereja mau tidak mau juga memiliki atau meminjam kebudayaan yang jalin-menjalin dengan apa yang dipercayainya secara imani. Atas dasar dua catatan ini, saya ingin memaparkan lima atau enam dasar teologis yang substansial untuk memahami hubungan akrab Injil dan kebudayaan.
Lima (atau Enam) Dasar Teologis
Pertama, kisah penciptaan yang menjadi salah satu tonggak iman umat Israel dan umat Kristen menegaskan bahwa Allah mencipta dan mencinta dunia dengan memberinya peluang dan kebebasan untuk berkembang melalui kebudayaan. Melalui kebudayaan, manusia diundang intuk “mengusahakan dan memelihara” dunia di mana Allah menempatkannya (Kej. 2:15).
Sehubungan dengan pentingnya dimensi penciptaan, Dalam buku God in Context (2003), Sigurd Bergmann menulis, Teologi kontekstual adalah teologi penciptaan. Yang profan dan yang sakral tidak berlawanan satu sama lain sebagaimana ranah kultural dan biologis dari dunia diciptakan dan dipelihara oleh Allah. Teologi kontekstual adalah sebuah teologi demi dunia ini. Ia tidak melegitimasi sebuah pengakuan eksklusif namun mengarah pada sebuah refleksi atas pengalaman-pengalaman dan perjumpaan-perjumpaan dengan Allah yang hidup, yang hadir di dalam ciptaan demi pembaruan ciptaan.
Ketika diletakkan dalam konteks penciptaan, perjumpaan Injil dan kebudayaan berangkat dari asumsi bahwa Allah merengkuh dan merangkul dunia, termasuk seluruh kebudayaan di dalamnya. Allah tampil sebagai Dia yang ramah dan mudah didekati; Allah yang misteri sakramental-Nya dapat dijumpai dalam setiap pernik kehidupan dunia. Dunia lantas dipandang sebagai graced creation (ciptaan yang dirahmati).
Kedua, Alkitab juga memberitakan Sang Sabda yang menjadi manusia (berinkarnasi) demi seluruh umat manusia, di mana pun dan kapan pun. Namun, prinsip inkarnasi sendiri mengandaikan bahwa kemanusiaan yang dirangkul oleh Sang Sabda itu selalu memiliki dimensi kebudayaan. Itu sebabnya, Yesus lahir di sebuah titik sejarah tertentu dan di lokasi geografis tertentu. Yesus terlahir sebagai seorang anak manusia yang berbudaya. Jadi, jika kita dengan mudah menolak kebudayaan, bisa jadi sikap tersebut mencerminkan pengabaian terhadap prinsip inkarnasi.
Kisah pentakosta–turunnya Roh Kudus–menjadi dasar teologis ketiga yang tak kalah pentingnya. Jika inkarnasi memberitakan bahwa Allah berkenan menjadi tuan-rumah (host) dan menerima bangsa-bangsa menjadi tamu-tamu (guests) bagi-Nya, Roh Kudus justru menghadirkan Allah yang menjadi tamu (Guest) yang hadir di lahan kebudayaan-kebudayaan lokal yang menyambut-Nya (hosts). Roh Kudus memasuki kebudayaan-kebudayaan dunia melalui bahasa lidah yang adalah bahasa-bahasa lokal–produk kebudayaan. Ketika keduanya diperdampingkan bersama–Sang Anak dan Roh Kudus–maka Allah dipahami senantiasa terlibat di dalam sejarah dan konteks budaya yang beraneka ragam.
Lagi-lagi Sigurd Bergmann menulis, Misteri inkarnasi berarti bahwa Sang Pencipta itu sendiri menjadi bagian dari sebuah konteks khusus dan bahwa kontinuitas historis dari kekristenan dipelihara melalui tindakan mempertanyakan terus-menerus, bagaimana Allah menemui kita dalam konteks-konteks tertentu. Teologi kontekstual adalah teologi inkarnasi tentang Sang Anak dan teologi inhabitasi tentang Roh Kudus yang mendiami dan menyekitari kita.
Keempat, kehadiran gereja di tengah dunia sesungguhnya mere-present-asi (membuat hadir) Allah melalui Kristus dan Roh Kudus di dalam dan bagi dunia. Gereja adalah sekaligus umat Allah, tubuh Kristus dan bait Roh Kudus yang berpartisipasi ke dalam misi Allah Trinitas (Bapa, Anak dan Roh Kudus) bagi dunia. Maka, sama seperti kehadiran Kristus dan Roh Kudus yang senantiasa berdimensi kultural, kehadiran gereja di tengah dunia pun senantiasa berdimensi kultural. Gereja diundang senantiasa menjaga ketegangan antara relasinya dengan kebudayaan dunia (“di dalam dunia”), sekaligus identitas yang berbeda dari kebudayaan dunia (“bukan dari dunia”). Ketika salah satu dari dua sisi ini luruh atau malah secara berlebihan ditekankan, maka hakikat gereja pun terancam.
Dimensi masa depan (teologi Kristen menyebutnya dimensi eskatologis) menjadi dasar kelima yang dominan dalam relasi Injil dan kebudayaan. Iman Kristen memercayai bahwa masa depan dunia ini berada di tangan Allah yang masih terus bekerja memulihkan dan memperbarui dunia. Wahyu 21:1-2 mencatat bahwa “langit dan bumi baru” yang kita impikan meliputi pula komunitas kultural (“kota yang kudus”) yang baru. Kristus berjanji akan memperbarui (bukan menciptakan) “segala sesuatu” yang sudah diciptakan sebelumnya (Why.21:5). “Segala sesuatu” di sini tentulah berarti juga kebudayaan manusia.
Kelima prinsip dasar di atas kiranya menjadi pintu masuk bagi kita untuk menyadari dan memahami bahwa iman Kristen tidak pernah bisa terlepas dari perjumpaannya dengan kebudayaan. Akan tetapi kelima prinsip dasar tersebut tidak dengan mudah membuat relasi Injil dan kebudayaan menjadi sebuah relasi yang harmonis dan mesra, sebab kita tidak boleh melupakan dimensi lain yang senantiasa membuat pesan Injil begitu bermakna dan relevan, yaitu dosa. Kita bisa memandangnya sebagai prinsip keenam. Dosa merusak bukan hanya manusia secara personal, namun juga struktur sosial dan kultural yang dibangun manusia.
Kebudayaan apa pun tidak pernah tidak dicemari oleh dosa, sebelum kelak secara penuh dan menyeluruh diperbarui oleh Allah di dalam Kristus melalui kuasa Roh Kudus. Dan, karena kebudayaan jalin-menjalin membentuk sebuah tekstur sosial yang bernama gereja, maka gereja pun tidak pernah luput dari pergumulannya melawan dosa. Gereja senantiasa menjadi komunitas dari orang-orang yang “sekaligus dibenarkan dan berdosa” (simul iustus et peccator).
Berbagai Model Relasi Injil dan Kebudayaan
Jika Anda memperhatikan dengan seksama keenam prinsip di atas, maka dengan mudah kita bisa membayangkan bahwa relasi Injil dan kebudayaan akan selalu berada di antara dua kutub yang berlawanan. Kutub pertama adalah resistensi (penolakan). Kebudayaan ditolak sepenuhnya sebab Injil menegaskan identitas kristiani yang bisa dengan mudah dicemari oleh kebudayaan yang terkotori oleh dosa. Sikap ini bisa muncul dalam dua varian. Varian pertama menolak kebudayaan dengan cara menghindarinya demi menjaga kemurnian identitas kristiani. Varian kedua juga menolak kebudayaan namun dengan cara memerangi dan berusaha menobatkannya menjadi “kebudayaan Kristen.”
Kutub kedua adalah adaptasi dan asimilasi. Kebudayaan dipandang secara positif dan Injil perlu menemukan bahasa bersama yang dapat diterima oleh kebudayaan. Injil harus relevan bagi kebudayaan dunia. Sikap yang pertama memiliki kelebihan dalam hal mempertahankan integritas dan identitas kristiani, namun ketika ditarik secara ekstrim, ia dengan mudah melarikan diri dari dunia demi menjaga kemurnian kristiani (varian pertama) atau memanfaatkan segala cara untuk secara pongah mengubah kebudayaan (varian kedua). Sikap yang kedua memiliki kelebihan dalam keluhurannya menghargai dunia sebagai cara manusia mengembangkan kebudayaannya, namun ketika ditarik secara ekstrim, kekristenan dapat dengan mudah kehilangan identitasnya dan malah melebur dengan dunia.
James Davison Hunter menulis sebuah buku anyar yang menurut hemat saya sangat menarik. Judul buku tersebut adalah To Change the World: The Irony, Tragedy, and Possibility of Christianity in the Late Modern World (Oxford, 2010). Di dalamnya, Hunter memaparkan tiga model yang secara khusus mencerminkan model-model di atas. Saya akan mendaftarkan ketiga model yang dipaparkan oleh Hunter dan mengaitkannya dengan model-model perjumpaan Injil dan kebudayaan yang baru saja saya sampaikan.
Menemukan Model Terbaik
Pertama, tentu saja, menurut saya, sub-judul di atas–”Menemukan Model Terbaik”–tidak akan pernah bisa tercapai. Tidak pernah ada model hubungan Injil dan kebudayaan yang terbaik. Semua model senantiasa memiliki kelebihan dan kelemahannya masing-masing.
Alasan lain mengapa tidak ada model terbaik adalah karena kebudayaan itu sendiri tidak bisa digeneralisasi. Ia tidak sama di semua tempat di muka bumi ini. Ia juga tidak sama di satu tempat untuk segala waktu. Ia berubah dan dinamis. Namun, seakaligus, kebudayaan senantiasa memiliki dimensi-dimensi yang kompleks dengan kebaikan dan keburukan yang bercampur begitu rupa. Kebudayaan yang selalu bersifat dinamis itu pada saat bersamaan merawat serta mengembangkan kemanusiaan dan merusak serta menghancurkan kemanusiaan.
Dengan kata lain, selalu ada dimensi kebudayaan yang memang perlu ditolak, ditransformasi atau diterima dan bahkan dikembangkan. Jika pemahaman ini diterima, maka ada kalanya memang kita harus menolak kebudayaan, namun ada kalanya kita menerima kebudayaan. Ada kalanya kita menjauhi dimensi tertentu dari kebudayaan dan ada kalanya kita merangkul dan merayakan cinta Allah melalui dimensi kebudayaan tertentu.
Kedua, James Hunter sebenarnya menyampaikan model keempat yang dipercayainya sanggup menjawab panggilan Yesus agar kita “tetap di dalam dunia namun bukan dari dunia.” Ia menyebut model keempat itu faithful presence (kehadiran yang setia). Artinya, kita tetap berada di dalam dunia yang dicintai Allah dan ikut mencintai dunia itu, sembari menjaga kesetiaan kita pada identitas kristiani yang telah diubah oleh Injil. Dengan tetap berada di dalam dunia itu, kita berelasi secara dinamis dengan kebudayaan-ada kalanya kita menerima dan bahkan mengelola serta mengembangkan kebudayaan yang sepadan dengan misi Allah, namun ada kalanya kita harus menolak dan melawan kebudayaan yang berlawanan dengan misi Allah. Jadi, kesetiaan kepada Allah terkadang diwujudkan lewat penolakan dan perlawanan terhadap kebudayaan, terkadang diwujudkan lewat penerimaan dan penghargaan terhadap kebudayaan.
Ketiga, pertanyaan yang paling penting adalah bagaimana memiliki kebijaksanaan untuk menngetahui kapan kita perlu bersikap terhadap kebudayaan dan dengan sikap semacam apa kita melakukannya; kapankah kita perlu melakukan konflik, kompromi, atau kolaborasi dengan kebudayaan lokal yang ada.
Keempat, akhirnya, kita perlu sungguh-sungguh bersikap kritis lebih pada bagaimana gereja kita pada masa kini berinteraksi dengan kebudayaan modern yang dihidupinya. Kita dengan mudah mengajukan sikap kritis atau apresiatif terhadap kebudayaan-kebudayaan etnis tertentu, namun kerap gagal menengarai (apalagi mengambil sikap) terhadap kebudayaan modern yang ternyata kita hidup secara aktual.
| Pdt. Joas Adiprasetya
Materi dari Forum Diskusi Teologi, GKI Pondok Indah, 15 Agustus 2011. Diselenggarakan oleh Mabid Pembinaan Umum GKI Pondok Indah bekerja sama dengan Panitia Bulan Budaya 2011.
1 Comment
DAVID
Februari 20, 2024 - 7:02 pmSyalom, tulisan yang sangat menarik sekaligus memberi arahan bagi setiap orang kristen dalam tugas panggilannya memberitakan Injil bagi dunia. Salah satu tantangan bagi pekabaran Injil adalah budaya, tetapi sekaligus dapat menjadi sarana pemberitaan Injil ketika kita dapat menemukan titik perjumpaan antara keduanya.