In-Memoriam: Pdt. (Em.) Timotius Setiawan Iskandar

Bapak bagi banyak anak yang membutuhkan kasih: yang kukenal dan kukenang

Belum ada komentar 206 Views

Mencari Tempat Kos
Setelah memutuskan untuk mengambil kuliah Magister Manajemen pada kelas Eksekutif (kuliah pada hari Sabtu-Minggu) di Universitas Padjadjaran Bandung pada tahun 2003, maka langkah saya berikutnya adalah mencari tempat untuk kos. Karena kampus terletak di Jalan Dipati Ukur, maka saya berupaya untuk mendapatkan kos yang tidak terlalu jauh dari tempat itu untuk tujuan efisiensi di banyak hal, terutama waktu.

Menjadi kebiasaan saya untuk membangun silaturahmi jika saya pergi ke mana saja, terutama ke luar kota, agar ada kerabat/ kenalan yang menjadi tujuan, sehingga pikiran dan perasaan menjadi tenang karena tidak merasa sendirian di tempat baru/asing. Di Bandung, keluarga Pdt. Budiono Adi Wibowo adalah tujuan utama saya (kalau bukan satu satunya, waktu itu). Saya mendapat sambutan hangat yang selalu saya peroleh jika saya bertandang ke rumah beliau sejak beliau sekeluarga tinggal di Malang.

Ketika saya menceritakan tujuan utama saya datang ke Bandung, yakni mengurus administraasi awal perkuliahan serta mencari kos, beliau menawarkan kemungkinan untuk membantu mencarikan informasi di antara para jemaat GKI Maulana Yusuf yang tinggal di sekitar kampus dan menyediakan kamar untuk kos. Saya pulang ke Sukabumi setelah urusan administrasi selesai sambil menunggu informasi dari Pdt. Budiono perihal kos.

Beberapa hari kemudian Pdt. Budiono menelepon saya dan menginformasikan bahwa ada yang bersedia menyediakan kamar untuk saya di sekitar kampus. Namun demikian, beliau ingin berkenalan dulu dengan saya sambil membicarakan beberapa hal yang dirasa perlu. Hari Sabtu berikutnya saya segera bergegas ke Bandung untuk menghadap beliau.

Pendeta Emiritus yang Penuh Kasih
Inilah pertemuan pertama saya dengan Pdt. (Em) Timotius Setiawan Iskandar di rumah beliau di Jl. Ciung— belakang Telkom Bandung. Beliau adalah orang asli Malang (Arema, kelahiran 15 November 1932), dan ternyata banyak keluarga beliau yang masih di sana telah saya kenal baik, antara lain Tante Hetty, kakak ipar beliau yang tinggal di Jalan Kartini, keluarga Pdt. Wide (alm) dan Ibu Elike Benaja (menantu dan keponakan beliau) beserta anak-anaknya: Alfa, Beta, dan Gamma. Dan juga Ira Verda Maharani, cucu kakak perempuan beliau, yang waktu itu aktif di Komisi Remaja pada saat saya menjadi Ketua Komisi Pemuda GKI Bromo Malang.

Beliau menerima saya layaknya seorang bapak yang menyambut anaknya yang baru muncul setelah dewasa (seperti Irawan yang baru muncul di hadapan Arjuna menjelang perang Bharatayudha). Banyak pertanyaan yang diajukan beliau menyangkut latar belakang, pekerjaann, pelayanan, dan terutama keluarga saya. Sepertinya beliau sedang menjajaki apakah saya cukup pantas menerima uluran kasih beliau. Tanpa beban saya menceritakan dan menjawab semua yang ditanyakan beliau.

Beliau menjelaskan bahwa beliau adalah pendeta pertama di GKI Maulana Yusuf yang didewasakan pada 18 September 1967, yang sebelumnya bernama GKI Juanda. Beliau bahkan telah memulai pelayanan di sana sebelum itu, tepatnya sejak 21 November 1965 ketika beliau (sebagai Pendeta GKI Kebon Jati) ditugaskan untuk merintis Pos PI di daerah Dago lalu mendirikan Pos PI Juanda itu. Kini beliau sudah lama menyandang gelar sebagai pendeta emeritus, sejak 30 November 1992. Beliau kini hidup sendiri karena setahun berselang. Ibu Luisa Sidarta, istri beliau, dipanggil pulang ke Rumah Bapa di surga. Sekarang ini aktivitas beliau lebih banyak mengurusi Panti Wredha Dorkas (yang beliau terlibat di dalamnya sejak awal rencana pendiriannya, tepatnya sejak 31 Januari 1984, sebagai penasihat), pelayanan jemaat di lingkungan, dan di gereja.

Menjadi Anggota Keluarga
Beliau menerima saya tidak sebagai anak kos, karena pada dasarnya beliau memang tidak menyewakan kamar kos. Beliau menerima saya lebih karena ingin menolong saya yang membutuhkan tempat tinggal selama kuliah di Bandung sesuai pengantar dan penjelasan yang disampaikan Pdt. Budiono kepada beliau. Diharapkan saya juga bisa menjadi kawan beliau berbincang jika kebetulan saya ada di Bandung nantinya. Hanya saja beliau mengingatkan bahwa beliau tidak akan menyediakan perlengkapan lebih apa pun dan saya dihimbau untuk menyediakannya sendiri secara pribadi. Keharuan begitu menyergap dan menguasai saya sehingga saya hanya melongo saja mendengar hospitality yang ditawarkan dan didemonstrasikan beliau.

Kedua anak beliau tinggal bersama keluarga masing-masing. Ci Lily, yang menikah dengan dr. Andito, bersama kedua cucu beliau tinggal di Ciumbulit-Bandung, sedang Koh David (biasa dipanggil Davy), yang menikah dengan Kak Roosmala Djayasukmana, beserta kedua anak mereka tinggal di Jakarta. Perkenalan hari itu diakhiri dengan makan siang hasil olahan beliau sendiri, yang mengantar saya pulang ke Sukabumi dengan dipenuhi perasaan nyaman, keharuan, dan rasa syukur. Saya meyakini ini semua sebagai pemeliharaan Tuhan kepada saya melalui uluran tangan kasih Pdt. Iskandar.

Hari pertama perkuliahan, saya datang ke Bandung pada Jumat sore supaya kehadiran saya tidak terlalu mengganggu Pak Iskandar seandainya beliau hendak beristirahat lebih dini. Beliau menyampaikan beberapa instruksi yang menjadi pedoman bagi saya untuk berperilaku di rumah itu, antara lain: saya tidak perlu berpusing-pusing turut mengurusi kebersihan atau hal-hal lain menyangkut kesejahteraan di rumah itu. Beliau tidak secara khusus akan menyediakan makan bagi saya, tetapi apabila pada waktu makan saya ada di rumah dan kebetulan beliau juga tidak sedang keluar rumah, maka kami akan makan bersama. Pada kenyataannya, saya tidak pernah dibiarkan melewatkan sarapan dan makan malam di rumah, Wajib. Beliau juga berpesan agar jangan pernah membawakan oleh oleh makanan dari luar. Nggak akan pernah dipermasalahkan. Saya diberi kunci-kunci cadangan untuk saya pergunakan mengakses rumah berkat tersebut agar tidak saling menimbulkan ketergantungan dan saling tunggu.

Diangkat Anak
Sejak itu setiap Jumat malam atau Sabtu pagi saya datang ke Bandung, kuliah sepanjang hari Sabtu dan Minggu, lalu Minggu sorenya pulang ke Sukabumi. Waktu berbincang saya, meskipun agak sempit, saya gunakan semaksimal mungkin untuk mengobrol dengan Bapak (begitu saya memanggil beliau setelah pada suatu kesempatan beliau mengangkat saya sebagai anak, di samping anak-anak angkat beliau yang lain). Obrolan kami berkisar pada seputar pelayanan, gereja, suasana kenangan Kota Malang, serta keluarga. Namun kadang-kadang juga peristiwa politik maupun olah raga yang lagi viral. Bagaimanapun juga, tema keluarga menjadi tema yang paling diminati beliau, sehingga saya banyak bercerita tentang keluarga muda saya serta bagaimana pengalaman baru dikaruniai seorang anak. Bapak sangat menaruh perhatian pada penyelenggaraan rumah tangga anak anaknya.

Suatu kali Bapak menyodori saya sebuah buku kecil yang banyak bertuliskan keterangan orang-orang dekat beliau yang secara sengaja diminta beliau untuk membuat coretan yang akan menjadi kenangan beliau, demikian pula dengan saya. Di buku itu saya menuliskan sebaris sajak tentang respons saya atas kebaikan dan penerimaan beliau yang berkenan menolong, menampung dan mengangkat saya sebagai anak: “semua anak adalah putra bagi orangtua yang penuh kasih, tapi tidak semua orangtua adalah bapak bagi anak yang membutuhkan kasih ……. Bapak adalah BAPAK itu.” Rupanya beliau sangat berkenan atas ungkapan perasaan dan respons saya itu.

Ternyata Bapak mempunyai banyak anak angkat dari latar belakang yang memiliki kisah perjumpaan yang berbeda-beda dengan beliau. Salah satunya adalah Edwin Daryono, rekan kerja saya di BCA. Ia menjadi anak angkat beliau ketika kuliah di Bandung dan berjemaat di GKI Maulana Yusuf, jauh sebelum bekerja di BCA. Jadi dari segi silsilah anak angkat, Edwin adalah abang angkat saya. “Koh Edwin?” hehehehe ……. wagu banget! Namun ternyata hal itu secara tak langsung menyambung kembali komunikasi saya dengan Edwin yang tak lagi intens karena kami kini bertugas di tempat yang berlainan di BCA.

Konfirmasi Lapangan
Pada suatu pagi, di pertengahan Januari tahun 2004, secara mengejutkan Bapak memberitahu kami kalau beliau sudah sampai di Sukabumi dan bermaksud mengunjungi rumah kami. Dengan penuh sukacita, tetapi tetap dengan diselimuti keheranan yang besar, kami menyambut Bapak dan berupaya menjamu beliau sebisa-bisanya dengan menyuguhkan masakan dari dapur sendiri (kekikukannya serasa menjadi peserta MasterChef yang ditunggui Gordon Ramsay). Dalam percakapan, saya menanyakan keperluan beliau ke Sukabumi sehingga berkenan menyempatkan diri mampir ke rumah kami. Kami terbengong ketika Bapak menjelaskan bahwa beliau memang sengaja ke Sukabumi untuk berkunjung ke rumah kami, sehingga bisa mengenali kebiasaan dan keseharian kami, meskipun sudah mengenal kami seorang demi seorang dalam keluarga kecil ini. Ini adalah cara dan upaya beliau mengenal secara langsung kehidupan rumah tangga anak-anaknya, melakukan konfirmasi lapangan langsung dengan mendatangi keluarga mereka. Hal itu merupakan wujud kepedulian beliau terhadap anak-anaknya serta keluarganya, dan untuk meyakinkan diri sendiri bahwa anak-anaknya mempunyai relasi yang baik dengan Tuhan dan sesama dalam kehidupan sehari-hari. Kami sangat bersukacita dan merasa diberkati dengan kedatangan Bapak ke rumah kami.

Di lain waktu kami sekeluarga pergi ke Bandung karena ada kawan kami yang menikah. Kami menginap di rumah Bapak. Anak kami yang sedang lincah lincahnya bergerak ke sana kemari, pegang ini dan itu, rupanya membuat Bapak sedikit gelisah sehingga mengingatkan kami untuk menjaga Minerva—anak kami itu—dengan lebih ketat. Hal ini sangat bisa dimaklumi, karena di setiap sudut dan sisi rumah beliau terdapat benda-benda dan pernik kecil yang indah, kerajinan tangan, yang dikumpulkan beliau dalam waktu yang lama sebagai oleh oleh/suvenir ketika berpergian, baik di dalam maupun ke luar negeri. Dari situ kami tahu bahwa Bapak sudah tidak terlalu telaten lagi dengan anak kecil, tepatnya balita yang sudah mulai aktif ke sana-kemari sendiri. Setelah itu kami senantiasa menjaga dengan lebih ketat anak kami jika berkunjung ke rumah beliau, baik ketika bertepatan dengan waktu kuliah maupun ketika melakukan silaturahmi wajib karena kami kebetulan sedang di Bandung, agar tidak menimbulkan kegelisahan yang tidak perlu bagi beliau.

Tetap Aktif di Masa Emiritasi
Meskipun berstatus emeritus, bukan berarti Bapak mempunyai waktu yang sangat longgar untuk diisi dengan istirahat saja. Beliau justru mempunyai banyak kesibukan. Tidak semua orang dalam usia aktif bisa bergerak dan menggeluti begitu banyak hal seperti beliau dalam usia emiritus. Bapak banyak mengalokasikan waktu-waktu tertentunya untuk berkunjung, mengurusi keseharian, dan menyediakan fasilitas-fasilitas tertentu bagi Panti Wreda Dorkas, dan tentunya pelayanan rohani untuk menjaga dan menumbuhkan spiritualitas warga penghuninya.

Koki yang Andal
Keahlian Bapak yang sangat menonjol dan dirasakan sebagai berkat bagi banyak orang adalah memasak. Beliau memang mempunyai hobi dan keterampilan masak yang luar biasa. Memasak menjadi salah satu kegiatan utamanya di masa emeritus. Tak jarang beliau memasak untuk keperluan konsumsi kegiatan tertentu di gereja, tetapi juga tak jarang beliau memasak bagi keluarga-keluarga tertentu, dan tentunya yang tetap menjadi perhatian utama beliau adalah Panti Wreda Dorkas.

Bapak selalu memasak dalam ukuran dan porsi yang besar, karena jarang diperuntukkan bagi perorangan, tetapi lebih ditujukan bagi orang banyak atau keluarga. Sup merah adalah masakan favorit beliau yang sangat digemari oleh semua orang, bahkan anak kecil sekali pun, hingga ada yang membuat testimoni: “jangan pernah bercerita tentang enaknya sebuah makanan jika belum merasakan sup merahnya Opa Tjioe.” Nama Tionghoa Bapak adalah Tjioe Tjin Tjwan.

Namun demikian, sekali dua Bapak juga pernah mengajak saya makan di luaran. Kami makan di restoran pilihan beliau untuk merayakan ulang tahun saya. Juga ketika beliau ingin menjamu istri dan anak saya yang ikut ke Bandung untuk mengunjungi beliau, berbareng dengan saya yang berangkat kuliah. Bapak juga pernah mengajak saya makan di warung tenda pinggir jalan yang menyediakan masakan Jawa Timur untuk memanjakan kerinduan mengecap rasa masakan-masakan khas Jawa Timur di warung itu. Bukan tempatnya, tetapi rasa dan kualitaslah yang penting bagi beliau.

Craftsman yang Kreatif dan Hebat
Di samping memasak, ternyata Bapak mempunyai passion dan sangat kompeten berkreasi melalui kerajinan tangan dan jahit-menjahit. Beliau piawai, terampil dan kreatif membuat perangkat dan perlengkapan ibadah, terutama menciptakan corak, motif, dan hiasan pada perangkat ibadah itu. Stola, kantong persembahan, dan kain mimbar senantiasa tersaji agung dan indah, melebihi simbol yang biasa ditampilkan dalam gereja. Beliau begitu tekun secara customized menjahit sendiri dengan tangan hiasan maupun ragam hias yang mewarnai perangkat-perangkat ibadah tersebut. Meskipun ada beberapa yang merupakan permintaan/pesanan gereja atau pendeta tertentu, tetapi beliau lebih sering dan lebih senang membuatnya untuk tujuan yang digagas beliau sendiri, tanpa sepengetahuan dan beban ekspektasi dari penerimanya. Sering kali gereja atau pendeta yang menerimanya sangat terkejut dengan pemberian itu, karena tidak pernah berpikir untuk memiliki perangkat seindah yang diberikan beliau kepada mereka. Meskipun dibuat secara sederhana, manual, dan homemade, tetapi kesan agung, indah, kreatif, dan mewah tampak jelas pada hasil karya Bapak yang dibagikan cuma-cuma itu.

Berkurangnya Komunikasi
Setelah lulus dari kuliah saya benar-benar jarang ke Bandung dan menjumpai Bapak, sehingga komunikasi dengan beliau pun menjadi jarang. Saya sekeluarga pindah ke Jakarta. Bapak pindah ke rumah dr Andito yang di Ciumbuluit Bandung itu, karena dr Andito sekeluarga pindah tugas ke Jakarta. Saya sekeluarga sempat mengunjungi beliau di rumah itu. Rumah asri dan penuh kenangan di Jalan Ciung rupanya telah dijual. Namun saya bersyukur masih bisa ketemu Bapak di Jakarta, meskipun tidak sering, yakni ketika beliau berkunjung ke keluarga Ci Lily di Jakarta dan bergereja di GKI Pondok Indah. Bapak sangat bersyukur dan memberkati saya ketika mendapati saya melayani sebagai Penatua Jemaat di GKI Pondok Indah. Beliau menyampaikan pesan agar saya tetap setia melayani di bidang apa pun sesuai dengan kemampuan dan kompetensi yang telah banyak Tuhan karuniakan kepada saya. Saya mengamini amanat beliau.

Bapak Berpulang
Saya tetap menjaga komunikasi dengan Bapak melalui WA. Meskipun sering hanya sekadar beruluk salam dan menyampaikan kabar sukacita, tetapi kadang-kadang juga saling berkirim gambar atau video indah yang penuh makna. Bahkan tak jarang pula saling berkirim humor yang sama-sama kami mengerti, terima, dan tertawakan. Terus terang saya kaget dan merasakan kehilangan yang mendalam ketika mendapat kabar dari Pdt. Albertus Patty bahwa Bapak meninggal dunia pada tanggal 12 Januari 2022 sore. Tidak saya dengar kabar atau berita bahwa Bapak sakit atau dirawat di rumah sakit, seolah-olah beliau tiba-tiba dipanggil menghadap ke hadirat Tuhan. Namun rasa penasaran itu terjawab ketika mendengar cerita dan kesaksian dari Koh Davy pada ibadah tutup peti, 13 Januari 2022, dan penjelasan dari dr. Andito pada ibadah pelepasan jenazah Bapak, 14 Januari 2022, sejenak sebelum diberangkatkan ke krematorium.

Kesan dari Jemaat GKI PI

Ketika saya menyampaikan berita duka berpulangnya Bapak di media sosial, ada beberapa warga jemaat GKI PI yang turut menyampaikan rasa belasungkawanya sambil menyatakan bahwa mereka mengenal, mengenang, dan mempunyai pengalaman pribadi dengan beliau.

Hari A. Santoso

Bapak Hari Santoso, seorang warga senior yang sangat saya hormati, menyampaikan kesaksian bahwa beliau dibaptis/sidi oleh Bapak pada tahun 1962 di Cirebon kala masih kelas 2 SMA.

Pak Hari sangat terkesan dengan cara Bapak membimbing para pemuda dan remaja, khususnya pada momen ketika memperingati/merayakan hari raya gerejawi, seperti Natal dan Paska. “Sebagai sutradara dan perancang kostum para pemain drama, Boksu Tjioe—begitu pak Hari menyebut Bapak—punya banyak keterampilan yang diajarkan kepada para remaja untuk membuat sendiri kostum mereka.” Semuanya dilakukan di pastori, sehingga pada jam setelah pulang sekolah, pastori Bapak pasti penuh dengan pemuda-remaja yang berkreasi. Dan yang tidak pernah terlupakan, selalu ada nasi bungkus yang enak buat konsumsi mereka. Pak Hari mengatakan bahwa Bapak penuh kreativitas serta menjadi pembimbing anak muda yang dedikatif dan penuh kasih dalam mengantar mereka menemukan jati diri mereka.

Beberapa tahun yang lalu Pak Hari kembali bertemu dengan Bapak di GKI Pondok Indah ketika beliau menjabat sebagai penatua. Pak Hari menyampaikan bahwa Bapak juga tahu bahwa beliau pernah menjabat sebagai pengurus BPK Penabur. Pak Hari merasa terharu ketika Bapak menyatakan kebanggaan dan syukurnya bahwa beliau diberi kesempatan untuk turut berperan serta mengentaskan anak-anak didik beliau menjadi pelayan Tuhan melalui pelayanan kepada sesama di segala bidang.

Jakub & Susana Zakaria

Pasangan Pak Jakub dan Ibu Susana Zakaria menyatakan bahwa Bapaklah yang memberkati pernikahan mereka berdua pada tanggal 21 Januari 1967 di Bandung. Ayah Pak Jakub adalah sahabat dan mitra kerja Bapak, dan keduanya sangat aktif berupaya mengembangkan pelayanan di GKI Kebon Jati. Pak Jakub dan Ibu Susana bergereja di GKI Juanda yang dilayani oleh Bapak.

Bapak sangat dekat dengaan keluarga orang tua Pak Jakub. Setiap kali Mama Pak Jakub ulang tahun, beliau selalu mengirim makanan yang dimasak sendiri dalam jumlah banyak sebagai hadiah ulang tahun. Macaroni schotel, bubur, sup ayam, dan berbagai kreasi masakan lain dalam panci besar. “Dominee Tjioe, demikian Pak Jakub dan Bu Susana memanggil Bapak, memang hobi membagi-bagikan masakan lezat hasil olahan beliau sendiri.”

Bapak mempunyai perhatian yang sangat luas terhadap banyak hal. Pada waktu GKI Juanda sedang dalam proses pengadaan dan pembelian tanah untuk gereja, beliau sangat aktif mencari keterangan apakah gereja punya hak untuk memiliki status hak milik atas tanah, karena beliau tidak ingin mendapat kesulitan di belakang hari.

Setelah jemaat GKI Juanda berhasil membeli sebidang tanah di jalan Maulana Yusuf, maka dibangunlah gereja di atas tanah itu, kemudian ibadah GKI Juanda dialihkan ke sana dan GKI Juanda berubah menjadi GKI Maulana Yusuf dengan Dominee Tjioe Tjin Tjwan sebagai pendetanya.

Pak Jakub dan Ibu Susana tetap sering bertemu dengan Bapak manakala beliau sedang ke Jakarta dan bergereja di GKI PI. Pada setiap kesempatan yang bisa digunakan sebagai perjumpaanm maka Pak Jakub dan Ibu Susana melayani dan menjamu beliau sembari mengobrol dan mengucap syukur atas kebaikan dan pemeliharaan Tuhan kepada semua.

Leni Sindhu

Ibu Leni Sindhu punya cerita juga tentang Bapak. Ibu Leni—yang kala itu masih remaja— mengenal Bapak pertama kali ketika beliau baru memulai pelayanan di GKI Pengampon Cirebon pada tahun 1962. Tepat 60 tahun yang lalu.

Ibu Luisa Sidarta (Sie Kiok Loey), almarhumah istri Bapak, adalah sepupu mamanya Ibu Leni yang dari Indramayu.

Sebagai remaja, Ibu Leni sangat mengagumi Bapak dan cara beliau membimbing para remaja. Bu Leni mencatat bahwa Bapak membawa banyak warna dan perubahan bagi aktivitas maupun cara penghayatan spiritualitas para remaja GKI Pengampon.

Perayaan Paska dan Natal menjadi begitu hidup dalam bimbingan Bapak sebagai kreator acara maupun sutradara dari drama-drama yang ditampilkan. Bapak sangat kreatif dalam membuat dan menyuguhkan acara yang sangat menarik. Hal itu juga disebabkan beliau tidak segan terjun langsung dalam persiapan dan pelaksanaannya.

Bu Leni kembali bertemu Bapak di Bandung pada tahun 1968, ketika beliau kuliah di ITB dan menjadi anggota GKI Juanda Bandung yang digembalakan oleh Bapak, sebelum nantinya berubah nama menjadi GKI Maulana Yusuf.

Mengikhlaskan Kepergian Bapak

Bapak adalah orang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Beliau adalah pemenang dalam pertandingan yang dijalani dalam hidupnya. Bapak telah menanam banyak benih kebaikan yang terus tumbuh dan berkembang. Meskipun tanpa suara riuh, benih itu jelas membekas dan terpatri di dalam hati sanubari anak anak (baik anak kandung maupun anak angkatnya) serta orang-orang yang pernah merasakan kasih beliau. Tuhan sangat berkenan atas hidup Bapak sehinggga dimampukan menjadi berkat bagi banyak orang serta mendatangkan kemuliaan Tuhan di segenap perjalanan hidup beliau.•

|SUJARWO

 

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Sudut Hidup
  • Aku mencari wajah-mu, Tuhan…
    Kesaksian Dapot Parulian Pandjaitan
    Berharga di mata Tuhan (kematian) semua orang yang dikasihi-Nya (Mazmur 116:15) Oops… Kematian? Suatu kata yang sering dihindari orang...
  • Kasih-Nya Mengalir
    Namanya Helen Jayanti, biasa dipanggil Helen. Saat ini sedang menjalani Praktek Jemaat 1 di GKI Pondok Indah. Lulusan dari...
  • Jalan Pagi Lagi di Antara Jiwa-Jiwa
    perjumpaan dengan inspirasi kehidupan lain yang juga mendatangkan syukur
    Upaya Menjaga Kebugaran Sungguh tak mudah memulai kembali sebuah rutinitas, terutama yang menyangkut fisik, apalagi kalau memang pada dasarnya...
  • Jalan Pagi di Antara Jiwa-Jiwa
    Perjumpaan-perjumpaan yang menginspirasi kehidupan dan mendatangkan syukur.
    Jalan Pagi Untuk menjaga kondisi dan kesehatan jasmani di masa yang menekan ini sehingga tidak banyak aktivitas yang bisa...