Suasana khas Bali begitu terasa ketika jemaat memasuki gedung gereja pada hari Minggu tanggal 22 Agustus yang lalu. Payung-payung adat yang besar menghiasi pintu masuk dan sepanjang lorong utama gereja, sedangkan di dinding balkon menjuntai kain-kain Bali berwarna-warni cerah yang dipadu kain kuning keemasan. Pilar-pilar dibalut dengan kain-kain putih berperada emas yang diikat dengan pita-pita besar berwarna merah atau jingga dan diselipi kipas terbuka di atasnya, sedangkan mimbar ditutupi kain perak yang kedua sisinya dipermanis dengan rangkaian bunga dan persembahan buah-buahan yang disusun tinggi. Papan tema Bulan Budaya “God’s Culture in Me” dan tema ibadah hari itu “Ibadah yang Berkenan Kepada-Nya” menampilkan penari Bali dan bunga-bunga Kamboja merah muda yang ceria. Taplak biru bermotif Bali menutupi meja panjang di depan mimbar dan sebuah payung susun berwarna kuning emas melengkapi dekor yang ditata dengan indah dan cita rasa tinggi.
Jemaat disambut dengan hangat oleh pasangan-pasangan yang berbusana Bali. Para wanita menyanggul rambut mereka dengan selipan bunga Kamboja putih dan para pria mengenakan ikat kepala berwarna merah.
Dalam rangka memperingati hari ulang tahun GKI yang ke-22 dan sekaligus pertukaran mimbar sinode, hari itu kebaktian dipimpin oleh Pdt. Diah N. Kristianti dari GKI Banyuwangi.
Para pekabar Injil yang berjasa menyebarkan agama Kristen di Bali mengalami banyak kendala dan tantangan. Namun pada tanggal 11 November 1931 baptis pertama dlakukan di Tukad Yeh Poh, yang merupakan cikal-bakal jemaat Kristen di Bali.
Masuknya agama Kristen di Bali terbagi atas tiga periode. Periode pertama 1597-1928 merupakan periode persiapan, di mana sejumlah badan misi dunia, baik para zendeling (misi Kristen) maupun misionaris (misi Katolik) datang ke Bali. Pada periode kedua 1929-1936, Gereja Kristen Jawa Wetan (GKJW), Christian Missionary Alliance (CMA) dan Gereja Roma Katolik dengan giat berusaha mengabarkan Injil di Bali, terutama setelah Belanda memberi izin kepada para penginjil asing untuk masuk ke Bali pada tahun 1931. Periode terakhir 1937-1949 adalah masa persiapan kelahiran Gereja Kristen Protestan Bali, yang kini berubah namanya menjadi Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB).
Penginjilan di Bali dilakukan kepada keluarga dan bukan kepada pribadi. Hal ini disebabkan karena kuatnya hukum adat di Bali, yang mengucilkan orang-orang yang berpindah ke agama lain.
Dalam kebaktian ini, secara khusus diceritakan sekilas tentang GKPB wilayah Buleleng di Bali Utara, yang saat ini memiliki 11 gereja induk dan 4 Balai Pembinaan Iman (BPI). Cuaca di sana panas, dengan medan yang berbukit namun juga berpesisir, sehingga merupakan tantangan yang berat bagi pekabaran Injil. Penduduknya juga miskin dengan tingkat pendidikan yang rendah dan kondisi kesehatan yang kurang baik. Oleh karena itu untuk meningkatkan kesejahteraan mereka, GKPB mendirikan koperasi pertanian, sapi dan babi tanpa melihat latar belakang agama. Saat ini sudah berdiri pula Panti Asuhan Widhi Asih III yang menampung anak-anak yatim piatu dari tingkat SD sampai Sekolah Menengah, bahkan ada juga yang sudah menjadi mahasiswa. Pembentukan Yayasan Peduli Sehat dan Pengumpulan uang receh Rp 1000,- dilakukan untuk meningkatkan gizi dan kesehatan ibu & anak, mengurus anak-anak yang menderita Down syndrome, melayani kebutuhan listrik dan air bersih, serta pengadaan pasar tradisional.
Lima gadis remaja kemudian menyambut Pendeta dan para penatua dengan tarian Bali yang riang, diiringi oleh tabuhan gamelan. Mereka juga menari pada saat kolekte dibawa ke mimbar dan pada akhir kebaktian.
Berbicara tentang ibadah, Pdt. Diah Kristianti mula-mula mengisahkan pengalamannya ketika pada hari Sabtu malam berjalan-jalan di Citos (Cilandak Town Square) dan mampir di Mr. Bean’s Cafe. Sambil santai mengobrol dengan teman-temannya, tiba-tiba Pdt. Victor dari Bali bertanya, ”Menurutmu, apakah sekarang kamu beribadah atau tidak?” Sejenak Pdt. Diah ragu-ragu menjawab. Apakah duduk-duduk di kafe dapat disebut sebagai ibadah? Ia lalu membuka Alkitab yang dibawanya dan membandingkan bacaan dari Yesaya 58:9b-14, Ibrani 12:18-29, dan Lukas 13:10-17. Kalau ibadah hanya dimaknai sebagai ritual yang dibatasi oleh gedung gereja, maka tentunya duduk-duduk di kafe bukan merupakan ibadah. Tetapi kalau kehidupan dimaknai sebagai suatu liturgi ibadah yang utuh, maka keberadaan di kafe juga merupakan ibadah.
Dalam perbincangannya dengan Pdt. Victor, Pdt. Diah menanyakan, mengapa orang Bali menyematkan bunga di telinga mereka. Ternyata karena bunga menyebarkan keharuman dan kesegaran kepada sekitarnya. Begitu pula seharusnya ibadah kita. Hidup kita merupakan liturgi yang mencerminkan relasi timbal-balik kita dengan Tuhan dan menyebarkan keharuman di manapun kita berada.
Ibadah dapat dikaitkan dengan nilai-nilai budaya di Bali. Ada dua hal yang luhur di dalam adat Bali:
Pertama
Terlepas dari apa yang mereka sembah, kehidupan masyarakat Bali tidak pernah jauh dari ibadah. Mereka rajin memberi sesajen dan sering libur untuk mengikuti perayaan adat. Perjumpaan mereka dengan Tuhan tidak pernah terlepas dari hubungan mereka dengan sesama dan dengan alam semesta.
Kedua
Orang Bali memandang segala sesuatu sebagai kesatuan kosmis yang ada kaitannya satu dengan lainnya. Kalau alam dirusak, maka nanti alam juga akan merusak. Ketika salah satu komponen tidak beres, maka semuanya akan terganggu.
Masyarakat Bali sangat peduli pada alam, lingkungan hidup dan komunitas adat. Ketika ada unsur-unsur komunitas adat yang membelot, maka mereka merasakannya sebagai ancaman, Demikianpun ketika ada orang asing yang masuk ke daerah mereka, merekapun menganggapnya sebagai ancaman. Itulah sebabnya agama Kristen mengalami banyak kendala pada awal perjalanannya di sana.
Pdt. Diah bercerita tentang Bu Made, seorang wanita Bali, yang tidak mau membunuh tikus yang dilihatnya, tetapi malah memberinya makan. Ternyata Bu Made takut terkena karma bila membunuh binatang itu. Ia juga suka menyelipkan uang receh Rp 1000,- di pagar rumah, agar bila ada yang butuh uang, orang itu dapat mengambilnya.
Memang masyarakat Bali sangat menjaga kesatuan hidup mereka dengan kosmis.
Teks di dalam Yesaya 58:9b-14 dapat dibagi dalam dua bagian:
• Pertama
Ibadah harus dikaitkan dengan relasi dan tanggung jawab sosial kita kepada sesama manusia.
• Kedua
Ayat 13 dan 14 mengatakan bahwa kita juga tidak boleh melupakan ibadah dalam kebersamaan (ritual).
Dalam Lukas 13:10-17, kepala rumah ibadat hanya memaknai ibadah sebagai tindakan ritual, tetapi Yesus menunjukkan bahwa penyembuhan yang dilakukan-Nya, dan bahkan seluruh pekerjaan pelayanan-Nya, merupakan bagian dari ibadah.
Belajar dari bacaan Alkitab kita ini, bagaimana wajah GKI setelah 22 tahun bersama dalam satu sinode? Apakah kita sudah menjadi bagian integral dari masyarakat di mana kita berada. Apakah identitas Jabar-Jateng-Jatim sudah melebur menjadi satu, dan apakah kita sudah memberi warna kepada sekitar kita?
Di Bali, banyak anggota jemaat yang mengalami kesulitan karena penolakan oleh masyarakat dan adat. Namun resistensi tersebut jangan lalu dikatakan sebagai pekerjaan Iblis. Mungkin kitalah yang salah, karena tidak berbicara dengan bahasa mereka, tidak “kulo nuwun” terlebih dulu. Karena itu, biarlah ibadah kita mewarnai dunia di sekitar kita. Di dalam Yesaya 58, Tuhan berjanji bahwa kalau kita bersedia menjadikan hidup kita sebagai ibadah, Tuhan akan memberkati kita. Semoga karya layanan kita diberkati.
Dalam ibadah ini, beberapa lagu dinyanyikan dalam bahasa Bali, dan Paduan Suara Agape dari wilayah Bintaro menyanyikan lagu “Yesus Kristus adalah Sumber Perdamaian” dalam langgam Bali. Setelah kebaktian, diadakan penjualan makanan khas Bali di plaza gereja.
[nggallery id=39]
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.