Jakarta kembali kebanjiran. Sebenarnya ini bukan hal yang luar biasa, karena banjir semacam ini sudah diprediksi menjadi ritual lima tahunan. Hanya saja, banjir kali ini menjadi luar biasa karena juga menghampiri tempat-tempat yang di waktu lampau tidak terjangkau. Hujan deras yang turun mulai dari hari Senin 14 Januari dan mencapai puncaknya pada hari Kamis tanggal 17 Januari lalu, menyebabkan genangan, bahkan banjir di mana-mana. Ditambah lagi dengan robohnya sebagian tanggul Jl. Latuharhari yang menyebabkan banjir di kawasan Thamrin, Rasuna Said, Kuningan, bahkan Istana Negara.
Selama dua hari Jakarta pun lumpuh. Sebagian besar aktivitas kerja dan bisnis terhenti, menyebabkan kerugian ekonomi miliaran rupiah bagi negara. Ribuan warga terpaksa meninggalkan rumah mereka, bahkan sebagian harus mengungsi ke tempat-tempat penampungan. Daerah yang paling parah terkena dampak banjir ini adalah kampung Melayu. Tidak main-main, karena kedalaman banjir mencapai 2,5–4 meter. Disusul dengan Pluit yang terendam dengan kedalaman yang sama, Kebayoran Lama, Kelapa Gading dan sekitarnya. Warga kehilangan harta benda, jatuh sakit paska banjir, bahkan jatuh korban jiwa, seperti tiga orang yang kehilangan nyawanya di parkiran UOB Tower, Sudirman dan juga di beberapa tempat lainnya.
Bencana, bisa terjadi karena apa saja. Bisa murni peristiwa alam, namun juga bisa akibat ulah manusia. Bukan saatnya kita mempermasalahkan salah siapa, sebab korban ada di depan mata. Yang dibutuhkan adalah pertolongan segera. Untuk itulah GKI Pondok Indah mengambil bagian dengan membentuk Tim Penanggulangan Bencana GKI PI yang beranggotakan bapel-bapel di dalam Mabid Kespel serta pegiat-pegiat dan relawan, termasuk kaum remaja dan pemuda GKI PI. Hal ini mengingat bencana banjir ini berskala besar dan diperlukan gerak cepat dan berjejaring lebih luas. Atas dasar itu pulalah Majelis Jemaat memutuskan untuk memberikan seluruh persembahan yang terkumpul pada hari Minggu tanggal 27 Januari dan menggunakan seluruh hasilnya untuk pelayanan korban banjir.
Tim GKI PI melakukan pelayanan dalam hal memenuhi kebutuhan makanan jadi dan kebutuhan pokok lainnya, memberikan bantuan dana sesuai dengan kebutuhan masing-masing area bencana, memberikan bantuan obat-obatan, serta memberikan pelayanan kesehatan yang melibatkan dokter-dokter, perawat, peracik obat dan relawan pemuda.
Tim GKI PI menjalin kerjasama dengan berbagai pihak, seperti Gerakan Kemanusiaan Indonesia dari Sinode GKI, STT Jakarta dan gereja-gereja yang berada di lingkungan musibah banjir. Dengan segera Tim Pelayanan GKI PI melakukan koordinasi dengan berbagai pihak di lapangan dan turun tangan membantu saudara-saudara kita yang terkena dampak banjir.
Berikut adalah rangkuman kegiatan Tim Penanggulangan Bencana GKI PI 2013 untuk diketahui jemaat.
Jumat, 18 Januari 2013
Daerah tujuan utama yang dibantu oleh Tim GKI PI adalah daerah Kampung Melayu. GPIB Koininia, yang berlokasi persis di depan daerah yang terkena dampak paling parah, membuka posko dan menjadi andalan masyarakat sekitar untuk mengungsi pada saat banjir. Setelah berkoordinasi dengan GPIB Koinonia, tim bersepakat untuk mengirimkan barang-barang yang dibutuhkan para pengungsi di tempat tersebut.
Pada saat pembelian logistik tersebut, terharu rasanya melihat banyaknya kepedulian untuk menolong para korban yang terkena banjir ini. Tim melihat beberapa orang lain juga berbelanja bahan-bahan kebutuhan yang jelas-jelas dibutuhkan para pengungsi.
Kehadiran Tim GKI PI ke GPIB Koinonia merupakan kali kedua, setelah sehari sebelumnya mengirimkan barang-barang kebutuhan para pengungsi. Ketika hari Kamis Tim hadir di sana, jumlah pengungsi yang ditampung di GPIB Koinonia terhitung sebanyak 300 orang, yang bertambah dua kali lipat menjadi 600 orang pada hari Jumat, bahkan kemudian bertambah hingga 750 orang.
Setelah berkeliling melihat keadaan, Tim GKI PI mempelajari sistem pengaturan pengungsian yang dilakukan oleh GPIB Koinonia. Sebagai gereja yang berada di tengah area yang selalu terkena dampak banjir, GPB Koinonia sudah belajar mengatur keberlangsungan pengungsian dengan sangat piawai. GPIB Koinonia juga sangat terbuka untuk seluruh bantuan yang datang, baik dari jemaat gerejanya sendiri, jemaat gereja tetangga, gereja lain, organisasi profesi, pelayananan tanpa membawa nama gereja, perseorangan dan lain-lain. Bahkan pada saat Tim GKI PI berada di sana, kami bertemu dengan teman-teman dari GKI Kayu Putih yang datang dengan membawa selimut. Suatu hal yang sangat kami syukuri karena kami tidak berhasil mendapatkannya. Ada lagi pemuda-pemudi dari World Harvest dan Gisi Peduli yang datang untuk memberikan kebutuhan para pengungsi berupa paket berisi susu cair, air mineral, biskuit, dll.
Gereja juga bekerja sama dengan Dinas Kesehatan yang kebetulan berada di sebelah lokasi gereja bagi penyediaan pelayanan kesehatan yang bersifat mendesak. Sementara untuk pelayanan kesehatan umum, rekan-rekan dari Obor Berkat Indonesia dan Ikatan Dokter Indonesia membantu pelayanan tersebut pada hari Kamis.
Meskipun GPIB Koinonia bukanlah sebuah gereja yang kecil, tapi dengan keberadaan pengungsi yang sangat banyak, ditambah dengan beberapa tenda peleton untuk menunjang pengungsian, maka gereja benar-benar berfungsi sebagai basecamp pengungsian.
Mengenai penyediaan konsumsi bagi para pengungsi, gereja berjejaring dengan STT Jakarta untuk memasakkan makanan bagi para pengungsi. Jadi begitu sampai di gereja, makanan sudah siap dibagikan sesuai dengan jumlah pengungsi yang ada. Bila gereja menerima sumbangan berupa sembako, telur, dll., maka seluruh bahan tersebut akan dikirim ke STT Jakarta untuk selanjutnya diolah oleh tim relawan yang sudah siap memasaknya di sana. Yang menarik, gereja juga sangat menyadari bahwa waktu pengungsian akan berlangsung lebih dari satu atau dua hari, karena itu gereja mengadakan pembagian tugas memasak. Komisi Wanita dari tiap wilayah (gereja) digilir dan diberi tugas untuk memasak.
Seluruh pengaturan kegiatan pengungsian melibatkan banyak orang: para anggota majelis, pendeta dan sebagian besar adalah para pemuda dan remaja. Mereka menerima logistik, mendata, mengatur penempatan, selanjutnya mendata para pengungsi, pembagian kupon, pembagian makan dan logistik lainnya semua dengan sukarela. Tidak hanya pemuda gereja setempat, bahkan tim juga melihat beberapa pemuda dari gereja lain, dan bahkan beberapa remaja berkerudung yang datang dan menawarkan diri untuk ikut membagi logistik. Sungguh luar biasa! Semua terbeban, semua tergerak dan semua bergerak.
Sabtu, 19 Januari 2012
Sebagian dari Tim GKI PI berangkat mengunjungi para korban banjir di Cileduk. Sorenya Tim berangkat menuju Pluit sebagai daerah yang terkena dampak sangat parah. Di tempat ini, Tim sempat benar-benar meliput kondisi banjir yang masih terus berlangsung. Di sana, Tim berkoordinasi dengan GKI Muara Karang.
GKI Muara Karang juga mengajak Tim untuk meninjau dan mengamati kondisi pengungsian dan berbagai hal yang dihadapi, serta peran gereja di sana. GKI Muara Karang berbagi cerita dan informasi mengenai penanganan pengungsi, serta manajemen pengungsian. Baik Tim GKI Muara Karang maupun Tim GKI PI mendiskusikan juga rencana untuk kerja sama di waktu yang akan datang sebagai tindak lanjutnya.
Misi Tim Penanggulangan Banjir GKI PI di Pluit diakhiri dengan jamuan makan malam yang diberikan oleh GKI Muara Karang, tentunya dengan menu darurat bencana.
Minggu 20 Januari 2013
Koordinasi dan peninjauan Tim Kesehatan ke Muara Karang dan penyelenggaraan bakti sosial (baksos) kesehatan di Laguna untuk melayani kurang lebih 300 pasien. Setelah itu, Tim GKI PI melakukan kunjungan ke Pos jemaat GKI Perniagaan dan memberikan bantuan keperluan dapur umum, selimut, dan obat-obatan. Di lokasi ini, para pengungsi terkepung air sehingga sulit dijangkau. Sebagai jalan keluar, bantuan diturunkan dari atas jalan tol ke bawah.
Sebagian Tim GKI PI juga melayani ke lokasi Jatiasih Bekasi.
Kamis, 24 Januari 2013
Pada hari Kamis, bertepatan dengan hari libur nasional, Tim GKI PI kembali ke lokasi Posko GPIB Koinonia. Di sini kami mengadakan baksos kesehatan dan melayani 120 pasien sambil membagikan makan siang serta membersihkan lokasi Posko bersama tim Kesehatan dan pemuda GKI PI.
Siangnya, Tim langsung melakukan pelayanan ke Teluk Gong, yang pemukiman sekitarnya masih tergenang air, dan melayani 300 pasien.
Walaupun lelah karena Tim sudah berangkat sejak pagi, kami tetap merasakan suka cita karena dapat menolong banyak orang.
Sabtu 26 Januari 2013
Tim kesehatan bekerja sama dengan Tim GKI Panglima Polim dan beberapa gereja melakukan baksos kesehatan di area Tanjung Priok-Warakas. Area ini merupakan daerah kumuh di pinggiran rel kereta. Di lokasi ini kami kebanjiran pasien dengan jumlah kurang lebih 430 orang dan juga memberikan memberikan bantuan makan siang.
4-8 Februari 2013
Tim memasuki saat jeda pada minggu terakhir bulan Januari dan terus berkomunikasi dengan jejaringnya untuk tetap siap sedia kapan pun diperlukan untuk turun ke lapangan, dan ternyata banjir kembali melanda kota Jakarta.
Tim GKI PI kembali melayani area Jatiasih, Bekasi pada tanggal 5-8 Februari, karena banjir kembali melanda pemukiman penduduk ini pada malam sebelumnya. Untuk itu kami diminta untuk menyediakan bantuan makan siang sebanyak 300 bungkus dan beberapa keperluan serta dana. Kami bersyukur atas kesediaan para relawan yang siap belanja, mengatur distribusi dan mengantar semua keperluan, serta ibu-ibu yang memasak dan menyiapkan nasi bungkus.
Penutup
Bencana memang melahirkan banyak cerita duka, namun selalu ada hikmah di baliknya. Di tengah bencana dan derita, juga muncul banyak cerita mengharukan dari tindakan solidaritas spontan sebagai bentuk empati dan kepedulian. Terlihat para pejabat datang langsung ke lokasi bencana dan penampungan pengungsi. Ada Presiden yang naik perahu, Gubernur yang naik gerobak dan ikut mengangkati karung, atau Menteri yang blusukan ke tempat pengungsi. Memang benar, itu adalah tugas mereka untuk mencari solusi. Tapi setidaknya kehadiran mereka di tengah masyarakat yang terkena musibah cukup memberi arti, bahwa mereka yang terkena musibah tidak sendirian dan tetap dipedulikan. Juga spontanitas masyarakat mendirikan posko-posko bantuan yang ada di hampir setiap daerah banjir. Masyarakat berbagi sebisanya, untuk sekadar meringankan beban mereka yang terkena bencana. Semua itu mereka lakukan dengan tulus, tanpa pamrih. Tak ada urusan dengan publikasi, kampanye, apalagi pencitraan.
Peringatan banjir ini memang belum berakhir. Namun. ini bukan waktunya untuk marah, kecewa, sakit hati, bahkan menyalahkan orang lain. Inilah waktunya kita mengintrospeksi diri, apa yang sudah kita lakukan bagi kota yang sama-sama kita tinggali, Jakarta.
Melalui kejadian ini, seharusnya kita justru belajar dari pengalaman langsung, yang menjadi momen yang tak terlupakan bagi kita semua. Banjir tentu saja bukan saja akibat hujan deras, tetapi juga dampak dari tindakan manusia yang tidak menjaga keseimbangan lingkungan dengan baik.
Banyak hal yang dapat membuat kita marah dan mengeluh dari kejadian ini. Namun, itu adalah pilihan. Kami mengajak jemaat untuk memilih berpikir dan bersikap positif dalam menghadapi kondisi yang tidak menyenangkan seperti bencana. Mari kita memilih untuk bersyukur dan berbagi dari keberuntungan kita yang masih bisa menikmati rumah yang kering, kasur yang nyaman dan makanan yang melimpah. Belajar untuk peduli melalui perilaku yang ramah lingkungan dan solidaritas untuk berbagi.
Akhir kata, biarlah kejadian ini menjadi momen titik balik bagi kita untuk benar-benar menghargai betapa pentingnya menjaga lingkungan, terlebih lagi betapa pentingnya bersatu, berdoa, berbagi dan melakukan tindakan untuk menopang sesama di tengah situasi semacam ini. Semoga bencana ini kembali mengajarkan kita untuk akan nilai-nilai kesetiakawanan, solidaritas, kepedulian dan ketulusan.
1 Comment
lolok
September 14, 2013 - 3:10 pmbeberapa hikmah yang dapat kita ambil karena di negara kita sering terjadi bencana