“Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga,” begitulah Injil Matius mencatat kata-kata Yesus (5:3).
“Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah,” begitu Injil Lukas mencatat kata-kata Yesus (6:20).
Dan tinggallah kita yang terbingung-bingung bertanya: Siapakah sebenarnya yang disebut “berbahagia” dan yang “empunya kerajaan” itu? Apakah yang disebut “berbahagia” adalah “yang miskin di dalam roh”, artinya mereka yang bersikap jauh dari congkak di hadapan Allah, yang walaupun telah melaksanakan semua yang wajib dilakukan, toh dengan penuh kerendahan hati berkata, “Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna, kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan”? (Lukas 17:10).
Ataukah yang disebut “berbahagia” adalah mereka yang miskin dalam harta, seperti Lazarus yang menantikan remah-remah roti yang jatuh dari meja si kaya, namun ketika mati dibawa oleh para malaikat ke pangkuan Abraham? (Lukas 16:19).
Pandangan yang ambivalen itu ternyata tidak cuma kita jumpai dalam Perjanjian Baru, tetapi juga dalam Perjanjian Lama. Di satu pihak dikatakan bahwa Allah “menegakkan orang yang hina dari dalam debu, dan mengangkat orang yang miskin dari dalam lumpur” (Mazmur 113:7). Jelaslah ini berkata-kata mengenai mereka yang miskin dalam harta.
Namun, di pihak lain Alkitab juga berbicara mengenai jenis kemiskinan yang lain, yang menyayat manusia sampai ke jiwa. Sehingga, “Lebih baik merendahkan diri dengan orang yang rendah hati daripada membagi rampasan dengan orang congkak” (Amsal 16:19). Di sini, yang penting adalah kerendahan hati, miskin di dalam roh.
Malah di bagian lain dikatakan, “miskin” dan “kaya” bukanlah persoalan utama. “Orang kaya dan orang miskin bertemu; yang membuat mereka semua ialah TUHAN” (Amsal 22:2).
Yang mesti kita katakan adalah bahwa sekalipun amat jelas Allah selalu memihak dan menjadi pembela mereka yang lemah, miskin, dan tertindas; bahwa sekalipun amat jelas Allah mengecam dengan amat keras mereka yang tidak mempunyai kepedulian terhadap atau malah menjadi pengisap orang-orang yang lemah, miskin, dan tertindas; namun Allah tidaklah anti kekayaan. Allah juga tidak anti orang kaya.
Di dalam Taurat ada banyak peraturan yang melindungi orang-orang yang lemah, miskin, dan tertindas dari pengisapan dan kesewenang-wenangan. Ada waktu-waktu tertentu di mana semua budak dibebaskan, semua utang dianggap lunas, dan semua milik yang pernah tergadai kembali ke sang pemilik semula.
Namun, di samping itu jelas-jelas pula harta milik orang per orang juga dilindungi baik dari penipuan, pencurian, perampasan, maupun dari kekerasan.Bila di atas dikatakan bahwa Allah tidak anti kekayaan atau secara apriori anti orang kaya, maka harus pula ditentukan bahwa Allah tidak mengidealisir dan meromantisir kemiskinan.
Allah mengasihi orang miskin. Allah membela orang miskin. Yesus mengidentifikasikan diri-Nya sebagai saudara bagi orang miskin. Namun demikian, Dia tidak menghendaki kemiskinan. Hidup yang dijanjikan-Nya bagi semua orang adalah hidup yang berkelimpahan atau paling sedikit berkecukupan. “Masing-masing akan duduk di bawah pohon anggurnya dan bawah pohon aranya dengan tidak ada yang mengejutkan” (Mikha 4:4).
Oleh karena itu, gereja-gereja di Indonesia harus berdiri di dalam solidaritas dengan si miskin, dan bertekad bulat memerangi segala sesuatu yang menjadi penyebab kemiskinan maupun permiskinan.
Namun ini tidak dilakukannya dengan serta-merta memandang si kaya sebagai musuh. Yang harus dilakukan, janganlah memertentangkan yang miskin melawan yang kaya seperti dalam teori revolusi sosial atau teori pertentangan, tetapi justru bagaimana memertemukan keduanya. Agar yang kaya menginsafi bahwa setiap kelebihan yang ia miliki adalah utangnya pada yang berkekurangan. Dan karena itu, yang dituntut dari si kaya bukanlah sikap “membagi” karena rasa iba semata-mata, melainkan sikap “berbagi” (sharing) dari sesuatu yang sebenarnya adalah milik bersama.
Di sini gereja tidak boleh menjadi penyulut api kebencian, tetapi harus menjadi pembawa obor kesetiakawanan. Namun sekali lagi, itu tidak berarti bahwa gereja dapat bersikap netral. Sama sekali tidak!
Gereja mesti menegaskan diri di mana ia berdiri: Di pihak si miskin. Gereja mesti menegaskan sikapnya yang pasti: Menentang segala bentuk ketidakadilan dan kesewenang-wenangan. Dan apa pun yang ia lakukan, ia lakukan bukan dengan sikap sok kepingin jadi pahlawan, melainkan dalam sikap kerendahan hati dan dengar-dengaran kepada Tuhan.
Sangat menarik bahwa dalam satu pasal (Lukas 10) dikisahkan dua cerita yang seolah-olah tak ada hubungannya, tetapi sebenarnya punya kaitan yang amat dalam.
Yang pertama adalah kisah orang Samaria yang murah hati. Melalui kisah ini Yesus mau mengatakan, “Ada sesuatu yang harus kita kerjakan bagi mereka yang tergelepar dan terkapar di tepi jalan!”
Namun setelah itu, yang kedua adalah kisah tentang Marta dan Maria. Marta seolah-olah mau menaati pesan Yesus di atas: sibuk dengan tindakan dan kegiatan. Toh Yesus lebih memuji Maria yang duduk bersimpuh di kaki Yesus dan menyimak kata-kata-Nya. Tentang Maria, Yesus berkata, “Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil daripadanya” (Lukas 10:42).
Kita membutuhkan sikap “miskin di hadapan Allah” sebelum kita sibuk bergiat menolong mereka yang “miskin dalam harta”. Sebab tidak jarang godaan yang terbesar adalah sikap “menjual” orang miskin hanya demi kebesaran kita. Entah agar disebut jagoan. Entah agar keuntungan masuk ke kantong sendiri. Dan bila demikian, alangkah makin malangnya nasibmu, hai kaum papa. Namamu dijual, tetapi tak sesen pun kaunikmati labanya.
Dikutip dari buku “Iklan bagi Anak Hilang”, karya Pdt. Eka Darmaputera, Ph.D, terbitan Gloria Graffa
1 Comment
Arnold A.Abbas
Maret 2, 2010 - 1:35 amKeberpihak Gereja terhadap kaum miskin merefleksikan solidar Allah sendiri terhap mereka yang menderita dan “hina” tsb. Karena itu, dalam Injil Matius 25:42-45 di situ jelas Yesus mengidentifikasikan dirinya dengan mereka yang menderita (yang lapar, haus, telanjang dan penjara,dsb). Pada umumnya di dunia ini orang menderita kemiskinan dan penindasan, karena situasi yg tidak adil, atau karena struktur di dalam masyarakat itu tdk berpihak kepada kelompok orang-orang yg terpinggirkan tsb. Dewasa ini di dunia kita ini, ada sekiat satu miliar orang yang terjerumuskan dalam kemiskinan karena ketimpangan relasi negara-2 Utara dan Selatan. Maka salusinya disampai diakonia karitatif, Gereja juga harus melaksanakan diakonia reformatif dan transformatif . Gereja harus memberdayakan kelompok marginal dan memperjuangan perubahan struktur yang tdk adil (exploitatif).