Etika merupakan pelajaran sistematis mengenai persoalan-persoalan yang paling utama dan terutama dari tindakan manusia (human conduct). Di dalamnya terkandung hal yang bersifat universal, yang membedakannya dengan sopan santun yang kebanyakan bersifat lokal (misalnya cium tangan/sujud, dll).
Ada dua kata kunci yang perlu dan tidak dapat dilepaskan dalam upaya memahami etika, yakni karakter dan kebiasaan. Di dalam kedua kata itulah termaktub pelbagai pengertian dan perumusan mengenai etika. Jika pengertiannya lebih menekankan pada tingkah laku manusia maka akan dikatakan etika itu adalah pengetahuan mengenai perilaku: ethics is the science of behaviour (Emil Bruner: The Divine of Imperative, 1947, P.83). Jika kecenderungannya pada nilai-nilai yang membentuk kepribadian (karakter), maka etika akan disebut sebagai ajaran menyangkut karakter manusia (doctrine of human character).
Tidak berbeda dengan pengertian di atas, Jongeneel, salah satu pakar Etika yang cukup dikenal di Indonesia, merumuskan bahwa etikka adalah ajaran yang baik dan yang buruk dalam pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dan masyarakat (Jongeneel: Hukum Kemerdekaan I, 1980. h. 10). Hal itu lebih diperluas lagi oleh pakar lain yang mengatakan bahwa bukan hanya soal baik dan buruk, tetapi menyangkut persoalan benar dan salah. Apa yang baik di dalam semua tindakan baik? Apa yang buruk di dalam semua tindakan yang salah dan jahat? Apa yang benar dan apa yang membuat tindakan yang benar itu benar, apa yang salah dan apa yang membuat tindakan itu salah? Dan mengapa yang benar ditemukan dalam apa yang baik? (Niebuhr: Faith and Ethics, 1957. P.120).
Dalam pertanyaan-pertanyaan di atas sudah tergambar muatan yang sesungguhnya dari etika itu. Namun belumlah cukup. Satu perkataan lain yang sangat akrab di telinga manusia masih diperlukan, yakni: moral. Niebuhr dengan tandas mengatakan bahwa moral sangat memainkan peran dalam etika. Menurutnya, keberadaan moral (moral existence) merupakan keberadaan pribadi (personal existence). Masih menurut Niebuhr, dasar dari sebuah keputusan moral adalah hati (reason of heart) dari orang yang sungguh-sungguh. Pengutamaan moral itu bagi Niebuhr adalah juga disebabkan pemahamannya bahwa tidak ada alat yang lebih besar bagi penyamarataan kehidupan yang membuat manusia setara (equal), kecuali moral. Dalam relasinya dengan keagamaan, Niebuhr juga melihat kerusakan moral berkaitan dengan dosa, yang dari dimensi religius dikatakannya sebagai pemberontakan terhadap Allah dan upaya untuk menduduki secara paksa tempat atau kedudukan Allah. Kerusakan moral karena dosa., dari dimensi sosial adalah ketidakadilan.
Kata absolutisasi menjadi suatu pokok tersendiri untuk memasuki wilayah politik dari dimensi etika itu. Semua mengetahui dan mengakui bahwa tidak ada yang absolut di dunia ini. Satu yang tunggal, yakni Allah pencipta semesta itulah yang absolut. Jika kerusakan moral terjadi dan manusia mencoba dengan paksa untuk menduduki tempat (kedudukan) Allah, maka manusia membuat dirinya absolut, menjadi penafsir tunggal kebenaran atau hukum dan menjadi kebenaran dan hukum itu sendiri. Inilah yang disebut absolutisasi kebenarannya sendiri. Dan, di dalam proses manusia merebut paksa dan kemudian mempertahankan kedudukan yang dimiliki Allah itu, dimensi sosial akan menunjukkan kenyataan yang dipenuhi pelbagai ketidakadilan di segala bidang kehidupan.
Politik
Perkataan yang berasal dari kata Yunani, Po’lis diartikan kota (city). Dalam perkembangan berikutnya kota-kota memperluas dirinya atau menyatukan diri dan kemudian disebut Negara. Sebagai ilmu, politik merupakan analisa tentang pemerintahan, proses-proses di dalamnya, bentuk-bentuk organisasi, lembaga-lembaga dan tujuannya (William Ebenstein: Political Science, 1972. P.309). Dalam bentuk yang lebih operasional, politik merupakan pembuatan keputusan yang dilakukan masyarakat; suatu pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan-kebijakan publik (Joice & William Mitchel: Political Analysis and Public Policy, 1969 P.4).
Politik jelas akan berbicara tentang pengaturan menyangkut hajat hidup manusia, kepentingan masyarakat, termasuk kepentingan kelompok-kelompok di dalamnya. Dalam perspektif ini, kebutuhan mengenai peraturan, pengatur dan pelaksana (pemerintah) adalah sesuatu yang tidak tertolak. Dalam melaksanakan tugasnya, pemerintah pada tiap Negara jelas membutuhkan dan sekaligus akan mengeluarkan pelbagai kebijakan publik, sesuai dengan programnya. Berdasarkan kebijakan atau peraturan yang dikeluarkan itu, mujatan atau warna politik dari suatu pemerintahan akan terbaca.
Tidaklah salah jika dikatakan bahwa tiap kebijakan atau peraturan yang keluar dalam suatu Negara, merupakan produk politik dari rezim yang sedang berkuasa. Di sinilah titik krusial dari politik itu. Sebab, subjektivitas tidaklah dengan sendirinya hilang, bahkan sering dapat mencuat manakala kekuasaan membesar pada seseorang atau sekelompok orang. Paling tidak, para penguasa akan mempengaruhi rumusan dan muatan dari suatu kebijakan publik atau peraturan yang keluar pada masa pemerintahannya, baik itu mengenai ekonomi, hukum, lingkungan hidup, pendidikan dan lain sebagainya.
Dalam sejarahnya, sebagaimana asal kata itu, Yunani merupakan kiblat dari ilmu politik. Namun, sejarah juga tidak bisa mengabaikan kontribusi Yahudi dalam proses-proses politik itu sendiri. Gagasan-gagasan awal mengenai persaudaraan manusia (brotherhood of man) dan konsepsi tentang dunia yang satu (one world) sangat memberi inspirasi dalam lintas pemikiran politik. Banyak yang mengaitkan hal itu dengan lahirnya pemahaman monoteisme Alkitab, terutama Perjanjian Lama.
Dalam arus gagasan yang demikian, pemaknaan koinonia dari tri-tugas gereja, jelas memiliki kesejajaran dengan pengertian po’lis itu. Bedanya adalah fundamentalnya, antara persekutuan yang didasarkan keyakinan terhadap Yesus Kristus dan persekutuan yang diikat secara politis kebangsaan, kerajaan atau bentuk-bentuk lain. Inti makna yang dapat dilihat adalah bahwa po’lis atau politik itu adalah penataan kerhidupan sekelompok manusia ke arah yang mereka kehendaki.
Etika Politik
Arena politik merupakan ruang yang sangat memungkinkan bagi pemberlakuan syalom Kerajaan Allah, tetapi sekaligus juga menjadi wilayah yang sangat terbuka bagi terjadinya pemberontakan terhadap Allah. Absolutisme yang merupakan prerogative Allah semata dan tidak terbagi terhadap siapapun, ternyata dalam sejarah bisa ditarik dan diambil paksa oleh manusia. Namun, selalu ada konsekuensi dari sikap pemberontakan itu, yang selalu merugikan pihak manusia, termasuk orang-orang yang saleh.
Kita dapat melihat kekerasan hati Fir’aun (absolutisasi) yang berujung pada pemberontakan. Kita tidak disodorkan Alkitab jumlah korban, baik fisik material maupun jiwa. Hitler dengan keyakinan Arianisme (absolutisasi) mengakibatkan ratusan ribu nyawa melayang, termasuk orang-orang yang saleh. Termasuk juga diktator-diktator di Negara-negara berkembang yang memakan anak-anak bangsanya.
Etika politik sesungguhnya berbicara pada tataran nilai tentang Negara dan proses-proses yang manusiawi di dalamnya. Kesadaran tentang keberdosaan manusia dan kecenderungannya untuk menjadi ilah, membuka kesadaran perlunya batas-batas etis menyangkut proses dan perilaku politik dalam suatu negara. Karena itu politik tidak bisa dibiarkan berjalan begitu saja, hanya sekadar diurus orang-orang tertentu atau diserahkan kepada para politisi semata.
Lembaga-lembaga yang ada di dalam masyarakat, terutama kelompok-kelompok kepentingan, termasuk lembaga keagamaan, merupakan kekuatan tersendiri untuk mempengaruhi kebijakan publik atau keluarnya suatu peraturan. Lembaga-lembaga yang ada itu dapat mendengar dan menyalurkan pelbagai keprihatinan dan aspirasi yang ada di tengah-tengah sekelompok masyarakat untuk menekan penguasa memberi perhatian atau mengeluarkan kebijakan pada tuntutan masyarakat tersebut.
Keterlibatan politik secara kritis (critical engagement) dari lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok kepentingan dalam masyarakat akan menjadi sarana dan alat yang sangat efektif untuk mengontrol segala tingkah pongah penguasa dan dengan itu batas-batas etis kekuasaan yang layak tetap terjaga. Upaya-upaya melakukan kritik, menekan pemerintah dan melakukan kontrol, jika dilakukan secara berkesinambungan dan terhormat, jelas akan membiasakan suatu bangsa atau negara hidup dalam keseimbangan yang terukur. Juga, pemerintah akan dididik untuk tunduk pada yang seharusnya.
Pendidikan politik suatu bangsa akan berjalan dengan baik di dalam dan melalui proses kesadaran kelompok-kelompok yang ada di dalam masyarakat untuk terus menerus membiasakan diri melakukan kritik dan kontrol terhadap proses politik yang sedang berjalan. Suatu bangsa atau negara, yang berjalan dalam situasi demikian, akan membiasakan dirinya terbuka dan siap melakukan perbaikan. Di samping itu, politik tidak akan menjadi suatu potret seram yang menakutkan, tetapi sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Kritik tidak akan dianggap sebagai ancaman, dan para pengritik tidak diperlakukan sebagai musuh.
Perubahan-perubahan yang dilakukan penguasa terhadap kebijakannya yang salah atas desakan masyarakat merupakan pendidikan politik yang paling baik. Dengan itu akan lahir kebiasaan-kebiasaan yang positif, yang pada akhirnya akan berujung pada suatu karakter politik yang terbuka dan mau berubah ke arah yang lebih baik dan maju. Kebiasaan-kebiasaan baik yang berjalan dalam pemerintahan itu, akan menjadi etika politik suatu bangsa.
Perspektif Alkitab
Usahakanlah kesejahteraan kota (baca: po’lis, politik)… dan berdoalah untuk kota (po’lis, politik) itu (Yer. 29:7). Naikkanlah permohonan, doa syafaat dan ucapan syukur untuk semua orang, untuk raja-raja dan untuk semua pembesar, agar kita hidup tenang dan tentram dalam segala kesalehan dan kehormatan (1 Tim 2:1-2).
Gereja diutus ke dunia, ditugaskan ke dunia untuk menggenapkan firman Allah, memproklamasikan Injil Yesus Kristus (Mat 28:19-20, Mark 6:15, Luk 4:18-19) dan tidak diperintahkan untuk mencari sorga. Dalam bahasa realita kontekstual saat ini. Gereja diutus untuk menyampaikan kabar baik bagi orang-orang yang busung lapar, berita pembebasan bagi para buruh, nelayan, petani yang dijerat (menjadi tawanan) para pemodal, pendidikan bagi orang-orang pinggiran yang tersisihkan (buta) dan orang-orang tergusur (ditindas).
Semua yang di atas adalah muatan dan realitas politik yang sesungguhnya dan tidak ada satu pun yang dapat dilewatkan begitu saja. Lebih tandas lagi: mewujudkan Kerajaan Allah di dunia dalam naungan syalom-Nya. Untuk mewujudkan hal itu, Gereja tidak mungkin melepaskan diri dari persoalan-persoalan politik. Apalagi ciri dari syalom itu adalah: kesejahteraan, keadilan, kejujuran, kebenaran dan ketertiban, bagi seluruh ciptaan (integrity of creation).
Etika Alkitab yang dapat merembes ke seluruh bidang dan sendi kehidupan, termasuk ke dalam arena politik adalah: kudus dan bertanggungjawab. Prinsip-prinsip inilah yang sesungguhnya masih sangat kurang di dalam arena politik di Indonesia. Itu sebabnya, semua orang beragama, berurusan terus dengan agama dan bahkan fanatik beragama, tetapi korupsinya merajalela pada saat Gereja menggebu dan simultan harus membangun etika politik bangsa.
Pdt. Saut Sirait, M.Th/skt
Disampaikan dalam PTJ di GKI Pondok Indah, Jkt., 12 Oktober 2006
Pdt. Saut Sirait, M.Th. dari HKBP, alumnus STT Jakarta, pernah aktif di Biro Pemuda PGI, GMKI, GAMKI, PIKI, LSM di Sumatra Utara dan Jakarta, mantan Wakil Ketua Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) dan sekarang menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partisipasi Kristen Indonesia (Parkindo), 2005-2010
1 Comment
Jasa Purba
Januari 31, 2024 - 7:21 pmSangat mendidik, komprehensif, terstruktur dan holistik. Tk.