catatan seorang pramugari

Catatan Harian Seorang Pramugari

1 Komentar 329 Views

Kali ini saya membagikan suatu cerita berdasarkan catatan harian…

Saya, seorang pramugari dari China Airline. Seperti layaknya pramugari, setiap hari pekerjaan saya melayani penumpang, dan hal itu saya jalani bertahun-tahun dan tidak meninggalkan pengalaman yang mengesankan. Sampai pada tanggal 7 Juni yang lalu, ketika saya menjumpai suatu pengalaman yang mengubah pandangan saya terhadap pekerjaan maupun hidup saya.

Hari itu jadwal perjalanan kami dari Shanghai menuju Beijing, penumpang sangat penuh. Di antara penumpang, saya melihat seorang kakek sepertinya dari desa, merangkul sebuah karung tua dan terlihat jelas sekali gaya “ndesonya”. Pada saat itu saya berdiri di pintu pesawat menyambut penumpang. Kesan pertama dari pikiran saya ialah, zaman sekarang sungguh tidak mengherankan bila seorang dari desa naik pesawat.

Ketika pesawat sudah terbang, kami mulai menyajikan minuman. Pada saat melewati baris ke 20, saya melihat kembali kakek tua itu, duduk tegak dan kaku bagaikan patung di tempat duduknya dengan memangku karung tua. Kami menanyakannya mau minum apa, dengan terkejut ia melambaikan tangan menolak. Ketika kami hendak membantunya meletakkan karung tua di atas bagasi tempat duduk, hal itu juga ditolaknya. Kami membiarkannya duduk dengan tenang.

Menjelang pembagian makanan, ia terlihat duduk dengan tegang di tempat duduknya, dan ketika kami menawarkan makanan kepadanya, ia juga menolaknya. Akhirnya kepala pramugari dengan ramah bertanya kepadanya apakah ia sakit. Dengan suara kecil ia menjawab bahwa ia hendak ke toilet tetapi takut apakah di pesawat boleh bergerak sembarangan, takut merusak barang di dalam pesawat. Kami menjelaskan kepadanya bahwa ia boleh bergerak sesuka hatinya dan menyuruh seorang pramugara mengantarnya ke toilet.

Pada saat menyajikan minuman yang kedua kali, kami melihatnya melirik ke penumpang di sebelahnya dan menelan ludah. Tanpa bertanya lagi, kami meletakkan segelas minuman teh di mejanya, namun ternyata gerakan kami mengejutkannya, dan dengan terburu-buru ia mengatakan, “Tidak usah, tidak usah.” Kami mengatakan, “Nggak apa-apa, minumlah.” Pada saat ini dengan spontan dikeluarkannya segenggam uang logam dari sakunya dan disodorkan kepada kami. Kami menjelaskan kepadanya bahwa minumannya gratis. Ia tidak percaya. Katanya, pada saat dalam perjalanan menuju bandara, ia merasa haus dan meminta air kepada penjual makanan di pinggir jalan, namun tidak diladeni, malah diusir. Pada saat itu kami mengetahui bahwa demi menghemat biaya perjalanan dari desa, ia berjalan kaki sampai mendekati bandara dan setelah itu baru naik mobil. Karena uang yang dibawanya sangat sedikit, ia hanya dapat meminta minuman kepada penjual makanan di pinggir jalan. Itupun kebanyakan ditolak dan ia dianggap sebagai pengemis. Setelah kami membujuknya, akhirnya ia percaya dan duduk dengan tenang minum secangkir teh. Kami menawarkan makanan tetapi ia menolaknya.

Ia bercerita bahwa ia mempunyai dua orang putra yang sangat baik. Putra sulungnya sudah bekerja di kota dan yang bungsu sedang kuliah di tingkat tiga di Beijing. Anak sulung yang bekerja di kota telah menjemput kedua orangtuanya untuk tinggal bersamanya di kota, tetapi kedua orangtua tersebut tidak biasa tinggal di kota dan akhirnya pulang kembali ke desa. Kali ini orangtua tersebut hendak menjenguk putra bungsunya di Beijing. Anak sulungnya tidak tega jika orangtua tersebut naik mobil begitu jauh, sehingga membeli tiket pesawat dan menawarkan diri untuk menemani ayahnya pergi ke Beijing, tetapi kakek itu menolak karena menganggap bahwa hal itu terlalu boros mengingat tiket pesawat sangat mahal. Ia bersikeras dapat pergi sendiri. Akhirnya dengan terpaksa anaknya menyetujuinya.

Ketika melewati pemeriksaan keamanan di bandara, kakek itu disuruh menitipkan karung berisi ubi kering yang dibawanya itu di tempat bagasi tetapi ia bersikeras membawanya sendiri. Katanya, jika ditaruh di sana, ubi tersebut akan hancur, dan anaknya tidak suka makan ubi yang sudah hancur. Dengan tenang kini ia duduk sambil merangkul sekarung penuh ubi kering yang disukai anak bungsunya. Kami membujuknya untuk meletakkan karung tersebut di atas bagasi tempat duduk. Akhirnya ia bersedia dan dengan hati-hati meletakkan karung tersebut.

Sepanjang sisa penerbangan, kami terus menambah minuman untuknya, dan ia selalu membalas dengan ucapan terima kasih yang tulus. Meskipun begitu ia tetap tidak mau makan, padahal kami tahu bahwa sesungguhnya ia sangat lapar.

Saat pesawat hendak mendarat, dengan suara berbisik ia bertanya kepada saya, apakah ada kantong kecil, dan meminta saya meletakkan makanannya di dalam kantong tersebut. Ia mengatakan bahwa ia belum pernah melihat makanan yang begitu enak dan ingin membawa makanan tersebut untuk anaknya. Kami semua sangat kaget. Makanan yang menurut kami begitu biasa karena melihatnya setiap hari, di mata seorang desa ternyata begitu berharga. Dengan menahan lapar, disisihkannya makanan tersebut demi anaknya.

Dengan terharu kami mengumpulkan makanan yang masih tersisa dan belum kami bagikan kepada penumpang, lalu memasukkannya ke dalam kantong yang akan kami berikan kepada kakek itu. Di luar dugaan, ia menolak pemberian kami dan hanya menghendaki bagiannya yang belum dimakan. Ia tidak menghendaki yang bukan haknya. Perbuatan yang tulus tersebut benar-benar membuat saya terharu dan menjadi pelajaran berharga bagi saya.

Pada saat semua penumpang sudah turun dari pesawat, ia menunggu untuk keluar paling akhir. Kami membantunya keluar dari pintu pesawat dan sebelum keluar ia melakukan sesuatu hal yang sangat tidak bisa dan tidak akan saya lupakan seumur hidup saya. Ia berlutut dan menyembah kami, sambil mengucapkan terima kasih dengan bertubi-tubi. Ia mengatakan bahwa kami semua adalah orang paling baik yang pernah dijumpainya. “Kami di desa hanya makan sehari sekali dan tidak pernah minum air yang begitu manis dan menyantap makanan yang begitu enak. Hari ini kalian tidak memandang hina terhadap saya dan meladeni saya dengan sangat baik. Saya tidak tahu bagaimana mengucapkan terima kasih kepada kalian. Semoga Tuhan membalas kebaikan kalian.” Itu semua diucapkannya sambil menyembah dan menangis. Kami semua dengan terharu memapahnya dan menyuruh seorang anggota yang bekerja di lapangan untuk membantunya keluar dari lapangan terbang.

Selama 5 tahun bekerja sebagai pramugari, beraneka-ragam penumpang sudah saya jumpai. Ada yang banyak tingkah, yang cerewet dan lain-lain, tetapi belum pernah saya bertemu dengan orang yang berterima kasih sambil menyembah kami. Padahal kami hanya menjalankan tugas rutin kami dan tidak memberikan sesuatu yang istimewa. Seperti biasanya, kami hanya menyajikan minuman dan makanan, tetapi kakek tua berumur 70 tahun tersebut sampai menyembah kami untuk mengucapkan terima kasih.

Sungguh, saya mendapat pelajaran berharga dari orang “ndeso” yang merangkul karung tua berisi ubi kering dan menahan lapar untuk menyisihkan makanan bagi anak tercinta, serta tidak bersedia menerima makanan yang bukan bagiannya. Perbuatan itu membuat saya sangat terharu dan menjadi pengalaman yang sangat berharga buat saya.

Moral cerita: Jangan memandang orang dari penampilan luar tetapi harus tetap menghargai setiap orang dan mensyukuri apa yang kita dapat. “Don’t judge the book by it’s cover,” kata Tukul Arwana.

Selamat bersyukur!

Eddy Nugroho

1 Comment

  1. Pdt.Anang Sugeng

    BAGUS SEKALI CERITA INI KAMI MENDAPAT PELAJARAN YANG BERHARGA,BIARLAH DARI YANG LEMAH TUHAN JUGA BISA MENYAMPAIKAN NASEHATNYA UNTUK KITA SEMUA.tUHAN MEMBERKATI

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Edukasi
  • THE ART OF LISTENING
    Menjadi pendengar yang baik? Ah, semua juga bisa! Tapi apakah sekadar mendengar bisa disamakan dengan menjadi pendengar yang baik?...
  • To infinity and beyond!
    Saya salah satu penggemar petualangan seru dan epik dari Buzz Lightyear dan Woody, sahabatnya (Film: Toy Story 1995). Buzz...
  • Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Antara Si Badu & Akhir Tahun
    Selamat pagi, siang, sore, dan malam. Menjalani setiap hari dengan rutinitas yang sama, sampai tiba saatnya Natal dan Tahun...
  • WOMEN ON FIRE
    Perempuan Warga Kelas Dua Sepertinya dari dulu perempuan cenderung ditempatkan sebagai warga kelas dua dalam status sosial. Hal ini...
  • Doketisme
    Doketisme
    doktrin keilahian yang kebablasan
    Fanatisme Spiritualitas Fanatisme sebuah spiritualitas yang secara berlebihan menekankan hal-hal tertentu dan kurang menganggap penting hal-hal lain, sering kali...