Sudah sejak awal bisa diduga kalau BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) bakal tekor, dan kini menjadi kenyataan. Ketekoran itu konon lebih dari Rp 20 T. Seturut kaidah asuransi, jelas ini tidak sehat. Subsidi silang orang sehat terlalu kecil untuk menopang yang sudah jatuh sakit. Mengapa bisa terjadi?
Sudah Telanjur Sakit
Kalau diamati, BPJS dilahirkan empat tahun lalu di tengah kondisi masyarakat yang kebanyakan sudah telanjur sakit. Masyarakat telanjur sakit, karena peran Puskesmas sejak tahun 70-an makin lama makin menjauh dari konsep awal primary health care, yang sejatinya—selain mengobati—terlebih wajib membina masyarakat supaya tidak jatuh sakit. Lebih banyak Puskesmas yang hanya berperan mengobati, ketimbang memberdayakan masyarakat supaya cerdas hidup sehat dan dimampukan untuk membatalkan setiap kemungkinan jatuh sakitnya.
Berbeda dengan poliklinik dan rumah sakit, Puskesmas yang mengemban sejumlah program seyogianya membangun masyarakat di wilayahnya agar dimampukan untuk membatalkan setiap kemungkinan jatuh sakitnya. Namun apabila masyarakat di wilayah Puskesmas masih banyak yang jatuh sakit, dan sakitnya itu-itu lagi, itu bisa berarti kerja Puskesmas belum sepenuh kewajiban yang dipikulnya. Puskesmas seperti itu hanya melakukan peran sebagai poliklinik, padahal semua program lain yang lebih sepuluh itu—di luar upaya pengobatan—lebih dimaksudkan untuk pencegahan (preventive medicine).
Kalau pengunjung yang berobat ke Puskesmas makin tahun makin meningkat, ini satu indikator bahwa masyarakat yang dibinanya masih tetap banyak yang jatuh sakit. Apalagi kalau angka kunjungan yang terus meningkat ini diakibatkan oleh penyakit yang sama. Kondisi Puskesmas sekarang kebanyakan memang masih seperti itu. Implementasi program pencegahan lebih lemah ketimbang upaya pengobatan, sehingga masyarakat masih berkunjung untuk penyakit yang sama, karena tidak dimampukan untuk mencegah, atau menggagalkan jatuh sakitnya.
Kondisi seperti itu nyaris terjadi pada semua Puskesmas. Hanya Puskesmas teladan, yang dokternya sungguh sungguh melaksanakan semua program seturut konsep primary health care, akan berhasil membina masyarakatnya. Karena itu berulang kali Pemerintah bermaksud untuk merealisasikan revitalisasi Puskesmas, supaya kerja Puskesmas kembali ke tujuan awal, yakni mendahulukan preventif-promotif ketimbang hanya kuratif.
Yang dimaksud masyarakat Puskesmas ialah masyarakat yang memanfaatkan layanan medis “jalur lambat”, oleh karena tidak semua datang berobat ke Puskesmas. Inilah kelompok masyarakat kebanyakan yang tidak mampu memilih layanan medis swasta. Dan mereka adalah kelompok masyarakat yang rata-rata rentan jatuh sakit, kurang gizi, lemah wawasan hidup sehatnya, dan sebagian belum tentu selalu bisa berobat setiap kali jatuh sakit, selain lebih sering membutuhkan layanan kedaruratan medis, akibat penyakitnya sudah berkomplikasi.
Oleh karena masih tetap banyak masyarakat “jalur lambat” yang jatuh sakit, dan sebagian besar disebabkan oleh penyakit yang sama lagi, maka angka penyakit menahun (chronic disease) masyarakat kebanyakan terus saja bertambah tinggi. Yang kini menjadi keprihatinan kita adalah bahwa penyakit menahun paling banyak menyumbang tingginya kasus penyakit kritis (critical illness) kelompok penyakit katastropik, yang butuh biaya berobat yang luar biasa tinggi. BPJS sedang memikul beban besar itu sekarang.
Tak bisa dimungkiri kalau sejak awal, tahun 2014 BPJS mengejar target, agar sebanyak-banyaknya masyarakat, termasuk masyarakat “jalur lambat”, bisa diliput BPJS. Maka dalam kondisi demikian mudah dihitung betapa kantong BPJS bakal jebol melihat sebagian besar masyarakat yang saat diliput BPJS sudah dalam status telanjur sakit. Apalagi kalau jenis penyakit yang sudah telanjur diidapnya tergolong penyakit kritis yang harus merogoh kantong BPJS lebih dalam. Sebut saja antara lain penyakit gagal ginjal, jantung koroner, kanker, dan stroke.
Membangun Kesehatan di Hulu
Belum terlambat untuk memulai pembangunan kesehatan di hulu, yakni memberdayakan masyarakat dengan penyuluhan (komunikasi informasi-edukasi) pembangunan yang berorientasi memampukan masyarakat membatalkan, atau menggagalkan setiap kemungkinan jatuh sakitnya. Bersamaan dengan itu peran Puskesmas perlu direvitalisasi agar secara penuh membina masyarakatnya, selain gerakan nasional upaya penyuluhan sampai ke pelosok desa dengan memanfaatkan radio dan televisi, mengadopsi program Kelompencapir zaman Orde Baru dulu, yang pada waktu itu berhasil memberdayakan petani sampai ke pelosok desa, dan dijadikan program nasional.
Namun yang terjadi sekarang, pemberian obat murah dan rumah sakit gratis justru ketika masyarakat sudah banyak yang jatuh sakit, menghabiskan lebih banyak anggaran kesehatan untuk belanja obat. Padahal ongkos menyuluh masyarakat jauh lebih murah, hanya menyisihkan sedikit saja dari anggaran belanja obat.
Tak bisa dimungkiri kalau pilihan membangun kesehatan di hilir yang cenderung hanya menunggu rakyat sakit lalu diberi obat murah dan rumah sakit gratis, harus diakui, tidak lebih murah dibandingkan upaya penyuluhan kesehatan bagi masyarakat luas, sebagaimana diamanatkan oleh konsep primary health care, melihat kondisi dan pranata kesehatan mayoritas masyarakat kita yang masih belum seluruhnya melek hidup sehat.
Dalam kondisi BPJS telanjur meliput masyarakat yang sudah sakit, selain revitalisasi Puskesmas kembali ke khitahnya, BPJS perlu ikut memadukan secara terintegrasi layanan kuratif sekaligus juga preventif, agar masyarakat lebih mampu mencegah penyakitnya sehingga tidak sampai harus berulang-ulang kambuh—selain penyakit baru yang mungkin menjangkiti, tidak perlu muncul—dalam upaya menekan klaim BPJS yang terus menggunung.
Hemat kita, berapa pun suntikan dikucurkan untuk menyelamatkan BPJS, kalau kondisi masyarakat masih tetap lebih banyak yang belum mampu membatalkan setiap kemungkinan jatuh sakitnya, dan belum semua melek hidup sehat, kantong BPJS masih akan terus jebol.
Di sisi lain, sungguh kurang bijak kalau hanya karena status kondisi tekor begini, BPJS—untuk solusi kelangsungan hidupnya—memilih menekan pihak provider, yakni dokter dan rumah sakit. Kita menyaksikan, tanpa beban BPJS saja bobot kerja dokter dan rumah sakit sudah sangat menumpuk. Bagaimana mungkin layanan medis masih profesional melihat rendahnya penghargaan, bahkan dokter dan rumah sakit diposisikan sebagai “kerja bakti” terhadap layanan yang menyangkut kemanusiaan ini. Tidak salah kalau rakyat merasakan layanan medis BPJS yang diterimanya mungkin bukan layanan medis kelas satu. || DR HANDRAWAN NADESUL
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.