Berjuang, Tabah dan Berserah

Berjuang, Tabah dan Berserah

Belum ada komentar 6358 Views

“Mereka membuang empat sauh di buritan, dan kami sangat berharap mudah-mudahan hari lekas siang” (Kisah Para Rasul 27:29b)

Paulus berlayar ke Roma (27:1-13)

Perjalanan Rasul Paulus menuju kota Roma dipaparkan secara rinci oleh Lukas sesuai dengan apa yang disaksikannya. Lukas, yang juga ikut sebagai pembantu Paulus, bukan seorang pelaut, melainkan seorang dokter. Karena itu apa yang dilaporkan tentunya seperti sebuah uraian jurnal dan bukan tulisan buku harian.

Kisah pelayaran Rasul Paulus ini suatu kisah yang menegangkan karena penuh dengan risiko, tapi sekaligus juga melalui kisah ini kita dapat menyaksikan kesetiaan Allah yang menyertai orang-orang yang setia memegang janji-janji-Nya, yang berpegang pada sauh-sauh firman-Nya yang kekal. Melalui kisah ini pula kita dapat belajar bagaimana menghadapi badai dalam kehidupan yang sering kali datang tanpa terduga dan tidak terkendali.

Posisi Paulus dalam perjalanan ini bukan sebagai pemberita Injil, melainkan sebagai tawanan yang akan diadili di kota Roma. Paulus diangkut ke Roma bersama sejumlah narapidana lain. Tidak sulit bagi kita untuk membayangkan kehidupan seorang narapidana dalam perjalanan yang serba tidak menyenangkan ini. Petugas penjara mempunyai kewenangan atas Paulus, selain nahkoda kapal. Polisi penjara tahu bahwa jika seorang narapidana melarikan diri, maka petugas yang mengawal narapidana itu akan dihukum mati (die Apostlegeschicte des Lukas, hl.458).

Pelayaran dimulai dengan menyusuri pantai sampai ke Sidon (kota ini merupakan suatu pelabuhan pesisir Fenisia (sekarang Libanon). Letaknya kira-kira 110 kilometer di sebelah utara Kaiserea. Angin yang bertiup saat itu adalah angin barat. Angin ini bertiup begitu kencangnya sehingga tidak memungkinkan kapal berlayar langsung ke tujuan.

Karena cuaca yang tidak baik, pelayaran mereka banyak mengalami hambatan, sampai-sampai Paulus dan rombongannya dipindahkan ke kapal lain yang juga akan menuju ke Italia (ayat 6). Setelah berberapa hari berjuang melawan angin, kapal ini berlindung di balik Pulau Kreta (pulau yang cukup besar di Laut Tengah) dan tiba di sebuah pelabuhan kecil yang disebut Pelabuhan Indah.

Perjalanan semakin berbahaya, karena itu dengan berbagai pertimbangan (ayat 7-9), Paulus memberanikan diri untuk memberi peringatan kepada Yulius, perwira yang mengawalnya, supaya menunda keberangkatan mereka. Sayang, ternyata perwira itu lebih percaya kepada pendapat juru mudi, nakhoda dan ‘kebanyakan dari mereka,’ karena menganggap mereka lebih tahu dan berpengalaman berlayar di laut dalam keadaan seperti itu ketimbang Paulus (ayat 11-12). Lagi pula kondisi pelabuhan itu tidak baik untuk ditinggali selama musim dingin (ayat 12), sehingga rombongan tersebut akhirnya melanjutkan pelayaran mereka.

Berjuang Menghadapi Badai (ay.14-26)

Suatu pertimbangan yang logis jika perwira itu memilih untuk mengikuti suara mayoritas daripada mengikuti nasihat Paulus, seorang tahanan yang bukan pelaut. Namun Paulus adalah orang yang hidup dekat dan ‘bergaul’ dengan Tuhan. Ia yakin bahwa perwira itu telah keliru membuat keputusan dengan meninggalkan perairan yang lebih tenang di pantai Kreta menuju bahaya di lautan terbuka. Pelayaran yang awalnya sulit itu semakin mengarah kepada perjalanan yang membahayakan. Lukas mencatat: “Tetapi tidak berapa lama kemudian turunlah dari arah pulau itu angin badai, yang disebut angin ‘Timur Laut.’ Kapal itu dilandanya dan tidak tahan menghadapi angin haluan. Karena itu kami menyerah saja dan membiarkan kapal kami terombang-ambing” (Kis.27:14-15)

Keadaan menjadi semakin tidak terkendali ketika badai bertambah dahsyat, “Mereka mulai membuang muatan kapal ke laut,” sampai akhirnya mereka terpaksa membuang keluar katrol kapal, sehingga kapal tidak dapat dikendalikan lagi. Bahkan dituliskan, selama beberapa hari lamanya, baik matahari maupun bintang-bintang tidak kelihatan. Ini menyiratkan betapa buruknya cuaca di laut itu, siang dan malam langit ditutupi awan yang dibawa badai, sehingga orang-orang di kapal itu tidak dapat melihat matahari dan bintang-bintang untuk menentukan arah kapal. Pada zaman itu tidak ada kompas atau alat penunjuk arah lainnya, sehingga mereka tidak dapat mengetahui di mana mereka berada dan ke mana arah mereka. Yang akhirnya terpikir hanya tinggal keselamatan nyawa mereka. Perjuangan melawan badai deras ternyata tidak kunjung berhenti.

Dalam situasi yang sulit itu Rasul Paulus berkata: “Tetapi sekarang, juga dalam kesukaran ini, aku menasihatkan kamu, supaya kamu tetap bertabah hati, sebab tidak seorang pun di antara kamu yang akan binasa, kecuali kapal ini.” (ay.22) Kata-kata bertabah hati diterjemahkan dari satu kata kerja Yunani yang berarti, “supaya kalian jangan kehilangan semangat,” atau “supaya kalian menjadi kuat dalam pikiran kalian.” Mengapa demikian? Melalui peristiwa yang sulit dan mengerikan ini, Rasul Paulus ingin menyaksikan rencana dan sekaligus kuasa Allah yang menyertainya, bahwa Allah itu hidup dan dapat dipercaya. Ia berkata: “Karena tadi malam seorang malaikat dari Allah, yaitu dari Allah yang aku sembah sebagai milik-Nya, berdiri di sisiku, dan ia berkata: ‘Jangan takut, Paulus! Engkau harus menghadap Kaisar; dan sesungguhnya oleh karunia Allah, maka semua orang yang ada bersama-sama dengan engkau di kapal ini akan selamat karena engkau.” (ay.23 dan 24). Kata jangan takut diterjemahkan dari kata-kata Yunani yang berarti, “Berhentilah merasa takut,” atau “jangan takut lagi, Paulus!”

Jadi jelas Paulus tidak perlu khawatir bahwa ia akan mati di laut, sebab Tuhan telah menentukan bahwa ia akan pergi ke Roma dan harus atau pasti akan menghadap Kaisar. Dan hanya karena Allah baik kepada Rasul Paulus, maka Ia pun berkenan menyelamatkan seluruh penumpang kapal. Oleh karena itu, sekali lagi pada ayat yang ke-25 Rasul Paulus menasihatkan seluruh penumpang kapal supaya mereka semua ‘tabah hati,’ jangan kehilangan semangat, jangan putus asa, karena ia percaya bahwa Allah pasti akan melakukan apa yang telah Ia katakan kepadanya.

Pesan inti dari ayat ini sungguh memiliki makna yang sangat mendalam, bahwa ternyata kalau Tuhan mengizinkan terjadi musibah pada orang-orang yang percaya kepada-Nya, Ia memiliki rancangan bagi mereka, karena Ia adalah Allah yang hidup dan campur tangan dalam kehidupan mereka. Hanya mereka harus percaya kepada-Nya dan tetap bersemangat, tidak putus asa dalam menghadapi situasi apa pun, sebab Allah tidak tinggal diam. Ia bisa diandalkan.

Membuang/Menurunkan Empat Sauh di Buritan (ay.27-44)

Dengan terus tabah dan bertahan dalam perjuangan hidup dan mati itu, akhirnya Lukas menulis: “Malam yang keempat belas sudah tiba dan kami masih tetap terombang-ambing di laut Adria. Tetapi kira-kira tengah malam anak-anak kapal merasa, bahwa mereka telah dekat daratan” (27:27). Hal itu menuntun pada serangkaian peringatan kepada orang-orang tentang kemungkinan kapal itu bisa kandas. Jadi, “Mereka membuang empat sauh di buritan, dan kami sangat berharap mudah-mudahan hari lekas siang.” (27:29b)

Akhirnya mereka membuang (menurunkan) sauh (jangkar). Sauh adalah benda berat (biasanya dari besi), yang diturunkan ke dasar laut untuk menjaga agar kapal tetap di tempat tertentu dan tidak hanyut dibawa angin dan arus sehingga dapat kandas di tempat yang berbatu karang. “Membuang empat sauh di buritan (bagian belakang kapal),” menunjukkan prosedur yang tidak lazim. Biasanya sauh diturunkan dari haluan atau bagian depan kapal, sehingga kapalnya akan berputar dan haluannya menghadap angin. Namun dalam keadaan mereka, lebih baik kalau haluan tetap menghadap ke daratan di depan, sehingga kapal siap untuk didamparkan atau supaya kapal terapung di tempat. Akhirnya orang yang berada dalam kepanikan ini hanya dapat bertumpu pada empat sauh yang dibuang di buritan, yaitu sauh pengharapan yang tarik-menarik melawan kekuatan gelombang yang menghantam kapal itu.

Pengalaman seperti ini pernah saya alami 12 tahun yang lalu, ketika bersama dengan beberapa mahasiswa melakukan perjalanan ke Kupang dengan menumpang sebuah kapal ‘Dobon Solo’ yang penuh sesak dengan manusia dan barang dagangan. Walaupun dari dermaga Denpasar kapal itu kelihatan sangat tinggi seperti hotel tingkat 10 (seperti gambaran kapal pesiar ‘Costa Concordia’ yang kandas dan miring, di lepas pantai barat Italia pada 16 Januari baru-baru ini 2012), tetapi berlayar di samudera yang luas membuat ukuran kapal itu terlihat amat kecil. Kurang lebih pada hari kedua dari pelayaran yang akan memakan waktu tujuh hari itu, kami mendapati diri kami di pusat sebuah badai yang mengamuk dengan puncak gelombang mencapai hampir 15 meter tingginya. Semua orang berkumpul di tengah-tengah buritan kapal dan tiba-tiba saja masing-masing orang yang tadinya tidak saling kenal dan acuh tak acuh, bersama-sama menaikkan doa untuk memohon keselamatan dari Tuhan.

Badai di lautan terbuka selalu membahayakan. Meskipun pada akhirnya kami tiba di pantai dengan selamat, namun pengalaman mengerikan itu tidak pernah terlupakan. Saking takutnya, tanpa disadari hal pertama yang dilakukan adalah mohon pengampunan dosa terhadap apapun yang tidak berkenan di hadapan Tuhan. Kemudian saya teringat akan beberapa lagu pujian yang saya lantunkan dengan sangat keras, tidak peduli pada orang lain yang juga melakukan hal yang sama dengan cara mereka masing-masing. Kemudian saya juga mencoba mengingat ayat-ayat firman Tuhan yang menguatkan dan menenangkan jiwa, dan rasanya saat itulah saya sungguh mengimani setiap firman yang teringat di benak saya dan terus menyerukan dengan suara lantang agar Tuhan mengingat akan janji-Nya itu.

Kala badai hadir dalam kehidupan kita, maka kepanikan akan menguasai dan membuat kita cemas. Apa yang akan kita lakukan ketika mendadak upaya kita, yang telah dirintis selama bertahun-tahun, mengalami kerugian atau musibah sehingga hancur luluh berantakan, dan kegagalan demi kegagalan menimpa kehidupan kita, sehingga untuk menghadapi hari esok pun rasanya sudah tidak sanggup lagi? Bagaimana kita dapat melanjutkan kehidupan ini?

Apa yang akan Anda lakukan jika pasangan hidup Anda pergi, dan Anda ditinggalkan sendirian? Bagaimana jika Anda menjalani kehidupan sebagai akibat buruk dari konsekuensi perbuatan Anda sendiri bulan demi bulan, bahkan tahun demi tahun? Apa yang Anda lakukan ketika kehidupan menjadi suram?

Mungkin badai yang mengamuk mulai memasuki kehidupan Anda. Langit kesuksesan jangka panjang yang tadinya cerah, sekarang terlihat gelap menakutkan. Anda merasa bahwa yang terburuk akan terjadi. Apakah yang akan Anda lakukan?

Firman Tuhan dalam bacaan kita mengajarkan–buanglah sauh Anda. Buanglah keempat sauh Anda. Sauh-sauh itu akan memegang Anda dengan kuat (Theologisher Handkomentar zum Neuen Testament: Die Apostelgeschicte des Lukas, hl. 457ff; Charles R. Swindoll, Paulus Seorang yang Penuh Kasih Karunia dan Tegar, 393 ff).

Yang pertama, Anda membutuhkan sauh “stabilitas” (baca Kis.Rasul 27:20-26). Sauh stabilitas terpancang kuat ketika sistem navigasi Anda gagal berfungsi. Ketika Anda mudah sekali kehilangan arah di dalam badai. Ketika masalah-masalah yang tak terduga muncul.

Saat kita mencapai titik putus harapan adalah saat yang mengerikan. Tetapi di saat sulit itu Allah berkata, “Jangan takut, Aku mempunyai sebuah rencana.” Orang-orang yang menghadapi penderitaan hebat merasa sulit untuk memfokuskan diri pada hal lain kecuali gelombang yang tinggi dan angin yang kencang. Paulus dengan tegas mengatakan, “Bersukacitalah… Kami telah mendengar dari Tuhan bahwa tidak ada seorang pun akan binasa.”

Kita menemukan stabilitas dalam badai melalui apa yang Allah katakan. Kecenderungan kita adalah berpaling pada sumber kekuatan lain selain firman Allah. Jangan pergi ke sana! Satu-satunya sauh stabilitas yang akan memegang Anda dengan kuat, tidak peduli betapa hebat angin badai itu, adalah firman Allah yang tertulis. Karena itu berserahlah. Sebab firman-Nya: “Jangan takut, Aku memanggil engkau dengan namamu.” (baca juga Yesaya 43: 1-2)

Yang kedua, Anda membutuhkan sauh “kesatuan” (Kis. Rasul 27:27-32). Paulus tahu bahwa tetap bersama-sama adalah rahasia agar mereka dapat bertahan hidup. Ada godaan kuat untuk meninggalkan kapal dan membiarkan setiap orang menjaga diri masing-masing. Tidak ada cara untuk bertahan di dalam badai. Ketika air bertambah dangkal, rasa takut bahwa kapal itu akan kandas semakin meningkat. Tetapi Paulus memperingatkan bahwa jika orang-orang menyelamatkan diri mereka sendiri, itu berarti bahwa mereka akan berhadapan dengan kematian.

Kecenderungan kita dalam kesulitan yang mengerikan adalah lebih baik menghindari masalah ketimbang menghadapinya. Sifat manusiawi kita ingin mundur ke suatu tempat di mana kita bisa sendirian, mengunci pintu, dan menutup gorden. Apabila kita menyendiri, kita semakin tenggelam di dalam depresi. Tragisnya, beberapa orang berpaling kepada minuman keras, obat-obatan terlarang, dan yang lebih buruk lagi, pada senjata api. Dalam situasi yang sulit, kita memerlukan dukungan keluarga, teman-teman, dan khususnya umat Allah. Jangan coba-coba melarikan diri dari persoalan. Tetaplah berhubungan dengan orang-orang yang paling mencintai Anda, yang akan berada bersama Anda, bagaimanapun keadaan Anda.

Yang ketiga, Anda membutuhkan sauh “pembaharuan” (Kisah Rasul 27:33-36). Dapatkah Anda membayangkan memerangi badai selama dua minggu dan sama sekali tidak makan? Itulah yang dialami oleh orang-orang yang berada di kapal bersama Paulus. Yang lebih menakjubkan, dengan cara seperti itulah sebagian besar orang merespons badai kehidupan. Kita membuat tangki kita kering karena kita berperang sendirian, dan akhirnya kita lemah secara fisik, kekeringan secara rohani, dan tidak bisa tidur. Sauh pembaharuan menjaga kita dari penipisan anatomis seperti itu. Sebaliknya, Paulus mendorong orang-orang itu untuk makan dan diperbarui. Tetapi pertama-tama ia berdoa. Mereka semua berdoa.

Dapatkah Anda membayangkan cerita itu? Badai mengamuk, sementara hampir 300 orang menundukkan kepala di dalam doa ketika Paulus bersyukur untuk makanan yang sedikit, kemudian semua orang di kapal itu makan bersama-sama. Dalam situasi yang sulit, apabila Anda tidak berdoa bersama-sama, maka Anda akan menemukan diri Anda kekeringan secara rohani. Meningkatnya ketidakstabilan emosi dipadu dengan turunnya pembaruan rohani bisa fatal bagi iman Anda. Pembaharuan rohani khususnya datang melalui doa. Carilah tuntunan-Nya. Jangan berhenti sampai Anda yakin Anda telah mengerti apa maksud Allah. Itulah yang dicontohkan Paulus di geladak kapal.

Di tengah-tengah badai dahsyat yang Anda alami, Anda membutuhkan sauh yang keempat yaitu sauh “realitas” (Kisah Para Rasul 27:41-44).

Sauh realitas berkata, “Melompatlah sekarang. Jangan pasif. Ikutlah bertindak!” Satu-satunya cara mereka keluar dari badai dengan selamat adalah, mereka semua harus masuk ke dalam air dan berenang ke pantai. Realitas itu meliputi kapal yang mulai pecah. Realitas memaksa mereka untuk mengambil tindakan. Semua yang ingin melalui badai perlu terlibat dalam proses. Tidak seorang pun dijanjikan untuk memperoleh kelepasan secara ajaib.

Rencana terbaik untuk bertahan di tengah badai adalah persiapan. Tidak satu pun nelayan berpengalaman atau kapten kapal yang bertanggung jawab akan melintasi lautan terbuka tanpa memiliki pengetahuan menyeluruh tentang peralatan kapal dan tanpa memastikan segala sesuatunya bekerja sebagaimana mestinya. Jarang sekali mereka berangkat tanpa terlebih dahulu menghabiskan waktu yang cukup banyak untuk memperhatikan tabel navigasi–mempelajari pola-pola cuaca dan jalan-jalan yang berbahaya. Dan mereka tidak pernah meninggalkan pelabuhan tanpa sauh. Itu pasti. Tidak ada seorang pun ingin mengalami karam kapal. Tetapi realitasnya, itu terjadi, bukan hanya di lautan terbuka, tetapi juga dalam kehidupan.

Rahasia untuk tetap bertahan hidup adalah apa yang Anda lakukan sebelumnya di perairan yang lebih tenang. Jika kehidupan Anda bebas dari badai, ambilah manfaat dari keadaan tenang ini. Luangkanlah waktu untuk mendalami firman Tuhan dan menjadikannya sebagai bagian dari kehidupan Anda. Kita sangat perlu memegang janji-janji Allah, tempat kita menyandarkan diri dengan tenang.

“Sekiranya engkau memperhatikan perintah-perintah-Ku, maka damai
sejahteramu akan seperti sungai yang tidak pernah kering, dan kebahagiaanmu akan terus berlimpah seperti gelombang-gelombang laut yang tidak pernah berhenti.”

(Yesaya 48:18)

Pdt. Tumpal Tobing

Komentar Anda

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.

Arsip kategori Bible Talks
  • Pelayanan yang Panjang
    Kisah Para Rasul 19:1-41
    Kisah Para Rasul merupakan buku kedua yang dituliskan oleh Lukas kepada Teofilus, dengan tujuan mencatat apa yang dilakukan oleh...
  • KASIH PERSAHABATAN
    Kasih adalah salah satu tema terpenling di da/am kekristenan. Di dalam 1 Korinlus 13:13, Paulus menegaskan bahwa dari seluruh...
  • WHAT WENT WRONG?
    Yosua 7-8
    Seandainya Anda mengalami kegagalan, akankah Anda berdiam diri dan bertanya, “Apa yang salah?” Setelah kemenangan di Yerikho dengan sangat...
  • Menghidupkan Semangat Dan Hati
    Yesaya 57:15
    Seseorang gadis berusia 18 tahun dan berpenampilan menarik berjalan masuk ke dalam ruang konseling. Dia sering menjuarai berbagai kompetisi...