Perhelatan Pilkada Gubernur DKI Jakarta telah lama usai. Namun hawa panasnya masih menyisakan bara sampai saat ini. Meninggalkan luka karena persahabatan retak dan persaudaraan rusak gara-gara pilihan yang berbeda. Belum lagi sikap intoleran yang merebak dan beranak pinak, entah sampai kapan akan pulih seperti sedia kala. Menyimak realita seperti ini, K.H. Mustofa Bisri yang biasa dipanggil Gus Mus ‘berkicau’ di sosial media, demikian:
Ateis dimusuhi karena tidak bertuhan.
Bertuhan dimusuhi karena Tuhannya beda.
Tuhannya sama dimusuhi karena nabinya beda.
Nabinya sama dimusuhi karena alirannya beda.
Alirannya sama dimusuhi karena pendapatnya beda.
Pendapatnya sama dimusuhi karena partainya beda.
Partainya sama dimusuhi karena pendapatannya beda.
Apa kamu mau hidup sendirian di muka bumi untuk memuaskan nafsu keserakahan?
Realita yang tidak bisa kita tolak adalah kita ini beragam dan berbeda, dan disatukan menjadi Indonesia. Oleh karena itu Founding Fathers kita merumuskan Bhineka Tunggal Ika, walau berbeda kita tetap satu, Indonesia. Kalau tidak, negeri ini tidak bakal bisa bertahan selama 72 tahun sampai saat ini. Jikalau ada warga negara yang tidak bisa atau tidak sudi hidup bersama dengan orang yang berbeda, kalimat yang pas buat mereka adalah: Jangan menjadi bangsa Indonesia! Ups… maaf!
Namun masalahnya, saya tidak mempunyai kapasitas yang memadai untuk menulis masalah ‘kebangsaan’. Oleh karena itu saya berbicara saja tentang hidup bersama di dalam satuan terkecil di masyarakat, yaitu keluarga. Dan lebih fokus kepada masalah pernikahan, karena paling tidak saya mempunyai pengalaman tentang hal ini, mengingat umur pernikahan kami sudah menginjak tiga puluh delapan tahun.
Saya dan istri saya mempunyai banyak kesamaan, antara lain: suku Tionghoa, dilahirkan dan dibesarkan sampai lulus kuliah di Jawa Tengah, agama Kristen (GKI). Namun perbedaannya juga banyak, yang jelas beda jenis kelamin. Kalau sama wah repot! Emangnya saya cowok apaan? Secara sosial ekonomi juga beda, saya dibesarkan di desa, sedangkan istri saya dibesarkan di kota. Saya dari keluarga miskin, dia dari keluarga cukup berada. Selera makanan saya masakan Jawa, selera dia chinese food. Pada saat pertandingan bulutangkis memperebutkan piala Thomas disiarkan televisi, saya membela tim Indonesia, dia membela tim China. Repot kan? Walau repot kita harus hidup bersama, iya kan? Proses penyesuaian terjadi terus menerus sepanjang hayat. Salah satu hasilnya, kini istri saya bisa masak ‘lodeh’ dan doyan pecel lele, saya pun doyan ‘capcai’ dan ‘fuyunghai’. Ajaib bukan?
Kami juga dihasilkan dari pohon keluarga yang berbeda. Masa kecil saya banyak dihabiskan bermain di luar rumah. Dari memancing lele di sungai, berburu belalang di hutan, sampai mencari ketam di sawah. Itulah jenis binatang yang sering saya santap, sedangkan bagi istri saya, itu makanan yang ‘menjijikkan’. Sedangkan masa kecil istri saya lebih banyak bermain ‘halma’ di rumah bersama saudara-saudarinya. Hal ini turut memengaruhi pola asuh kami di keluarga saya sekarang. Masalah pamit sebelum pergi dari rumah adalah wajib bagi istri saya, tapi ‘sunah’ bagi saya. Sepele tapi perlu disikapi juga.
Kadang-kadang kita merasa Indonesia dengan memasang profil di sosial media: Saya Indonesia! Namun pertanyaannya, apakah benar kita ini Indonesia banget? Coba sebagai orangtua kita jujur dengan diri sendiri. Seandainya anak kita berpacaran dan merencanakan untuk menikah, apakah kita langsung setuju jika calon menantu kita berbeda ras atau suku walau seiman? Bukankah kita masih menawar, kalau bisa ‘mbok yao’ yang sesuku? Mari kita bercermin. Sebenarnya, kita ini juga masih bersikap diskriminatif, walau tidak vokal dan frontal, tidak sampai mengkafirkan sesama. Amit-amit deh!
Marilah kita belajar dari Yesus tentang bersikap menghadapi perbedaan. Kita ‘curi dengar’ percakapan Yesus dengan perempuan Samaria di Yohanes 4:1-42. Ketika siang hari di sumur Yakub, Yesus bertemu dengan perempuan Samaria. Kaum Samaria dianggap kafir oleh bangsa Yahudi, mereka tidak bergaul dengan kafir. Namun Yesus mematahkan sikap diskriminatif tersebut. Justru Yesus menceritakan misi-Nya di dunia ini, dan perempuan Samaria itu pun menjadi percaya. Perempuan Samaria tersebut dipakai Yesus untuk menyebarkan kabar keselamatan kepada kaum Samaria. Luar biasa bukan?
Tidak kebetulan jika kita diciptakan berbeda dan beragam oleh Tuhan dan diutus di negeri ini, Indonesia. Marilah kita belajar menerima kepelbagaian sebagai anugerah Tuhan. Hidup saling melengkapi dan memperindah. Jiwa yang sehat adalah jiwa yang mempunyai rasa ‘seduluran’ (bersaudara), bersyukur dan akur. Jiwa yang waras bernapas dari kehidupan yang selaras. Jika demikian, pada akhirnya akan ditemukan harmoni, satu Indonesia! Pandanglah pelangi! Di mana indahnya jika berbagai warna yang berbeda itu tidak bersanding bersama?
Salam Persatuan Indonesia! Merdeka!
>> Eddy Nugroho
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.