All parts of the human body get tired eventually–except the tongue.
Konrad Adenauer
Bahasa Lidah: Syibolet dalam Kekristenan
Bahasa lidah (glossolalia, speaking in tongues) pada masa kini telah menjadi sebuah syibolet di dalam kekristenan modern, khususnya di kalangan Protestantisme. Kata syibolet muncul di dalam tragedi perang antara suku Efraim dan orang-orang Gilead pada masa pemerintahan Yefta (Hak. 12:4-6).
Ketika penduduk Efraim kalah dalam perang itu, mereka berusaha lari dengan menyeberangi Sungai Yordan, padahal orang-orang Gilead menjaga tempat-tempat penyeberangan sungai itu. Kepada setiap orang yang hendak menyeberang, para penjaga dari kelompok Gilead memaksanya berkata syibolet (yang artinya: “arus yang mengalir”). Orang-orang Efraim memang memiliki dialek yang tidak memungkinkan mereka untuk mengatakan syibolet namun sibolet (yang artinya: “kuping jagung”). Jika seseorang mengatakan syibolet (artinya, ia bukan orang Efraim), selamatlah ia. Namun, jika orang itu mengatakan sibolet (artinya, ia seorang Efraim), disembelihlah ia.
Kitab Cinta Kasih kita mencatat, “Pada waktu itu tewaslah dari suku Efraim empat puluh dua ribu orang” (ay. 6). Kini, kata syibolet menjadi sebuah penanda linguistik untuk menentukan identitas seseorang–siapa “kami” dan siapa “mereka.”
Bahasa lidah agaknya juga sudah menjadi syibolet di dalam kekristenan. Dulu, ketika pentakostalisme mulai muncul, mereka yang berbahasa lidah dianggap sesat; kini bahasa lidah dipergunakan justru oleh orang-orang pentakostal dan karismatik untuk mengklaim bahwa mereka yang tidak bisa berbahasa lidah bukanlah orang Kristen yang sejati.
Di kalangan pentakostal sendiri sesungguhnya banyak pandangan yang beragam sehubungan dengan pertanyaan, apakah bahasa lidah “wajib” dimiliki orang-orang Kristen yang telah mengalami “baptisan Roh.” Sebagian besar menyatakan bahwa bahasa lidah (atau mereka menyebutnya “bahasa Roh”) merupakan tanda pasti bagi baptisan Roh (misalnya di dalam pengakuan iman GBI). Sebagian kecil mulai mengambil sikap lunak dengan menyatakan bahwa mereka percaya pada “baptisan Roh Kudus yaitu kepenuhan Roh Kudus dengan tanda berkata-kata dalam berbagai bahasa sebagaimana diilhamkan oleh Roh Kudus dan diterima oleh orang percaya, bertobat dan lahir baru” (Pengakuan Iman GpdI), dengan menyuratkan bahwa “berbagai bahasa itu” mencakup bahasa lidah. Sebagian malah sama sekali tidak mencantumkan bahasa lidah dalam pengakuan iman mereka (misalnya GSJA).
Dengan semangat untuk menghindari s[y]iboletisme ini, bagaimana GKI perlu memahami isu bahasa lidah? Bagaimana Alkitab memberi kesaksian mengenai gejala ini? Mempertanyakan fenomena bahasa lidah dalam terang Alkitab merupakan cara awal terbaik untuk mengambil sikap atas fenomena ini.
GLOSSOLALIA: STUDI KATA
Kata Yunani glossolalia merupakan gabungan dua kata glossa (lidah) dan laleo (berbicara). Kata laleo sendiri di dalam Alkitab tidak pernah dipergunakan terlepas dari glossa. Kata Yunani glossa (pl. glossais) muncul di dalam Alkitab sebanyak 50 kali hanya untuk dua arti saja, yaitu organ tubuh manusia di dalam mulut (biologis) dan bahasa yang dipakai oleh sebuah kelompok budaya (linguistik). Ketika dipakai dalam pengertian kedua, maka selalu yang dimaksud adalah bahasa yang dikenali di dunia ini.
Untuk menjelaskan kata kerja “berbicara” secara umum Alkitab memakai kata lain, seperti lego, eiro, apangello, anangello, diegeomai, exegeomai, dan sebagainya. Jadi, memang, laleo secara khusus dimaksudkan sebagai kata yang digabungkan dengan glossa (menjadi glossolalia) untuk menunjuk pada fenomena bahasa lidah. Kata laleo itu sendiri muncul dalam literatur Yunani non-Alkitab untuk menunjuk pada percakapan yang santai dan tak jelas (inarticulate chatting).
Pemunculan bahasa lidah di dalam Perjanjian Baru hanya ada di dalam Kisah Para Rasul 2:4, 11, 26; 10:46; 19:6 dan 1 Korintus 12-14. Ia muncul sekali lagi di dalam Markus 16:17, “berbicara dalam bahasa-bahasa yang baru” (glossais lalesousin kainais), namun ayat ini termasuk ke dalam penutup Injil Markus yang ditambahkan di kemudian hari, yang tidak terdapat di dalam naskah-naskah yang lebih kuno.
Jadi, singkatnya, bahasa lidah menjadi fenomena gereja perdana di dalam Kisah Para Rasul dan menjadi kasus yang melibatkan perpecahan jemaat Korintus.
Patut dicatat bahwa istilah atau frasa “bahasa Roh” tidak pernah muncul di teks asli Alkitab berbahasa Yunani. Namun, Terjemahan Baru LAI memang memilih untuk menerjemahkan “bahasa lidah” (glossolalia) dengan “bahasa Roh.”
PERISTIWA PENTAKOSTA DAN BAHASA LIDAH
Bahasa lidah sebagai karunia rohani pertama kali dijumpai di dalam kisah Pentakosta, sebagaimana dicatat di dalam Kisah Para Rasul 2. Untuk itu, mari kita lihat lebih dalam Kisah Para Rasul 2:3-11.
[3] dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah (glossai) seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing. [4] Maka penuhlah mereka dengan Roh Kudus, lalu mereka mulai berkata-kata dalam bahasa-bahasa lain (heterais glossais), seperti yang diberikan oleh Roh itu kepada mereka untuk mengatakannya. [5] Waktu itu di Yerusalem diam orang-orang Yahudi yang saleh dari segala bangsa di bawah kolong langit. [6] Ketika turun bunyi itu, berkerumunlah orang banyak. Mereka bingung karena mereka masing-masing mendengar rasul-rasul itu berkata-kata dalam bahasa (dialekto) mereka sendiri. [7] Mereka semua tercengang-cengang dan heran, lalu berkata: “Bukankah mereka semua yang berkata-kata itu orang Galilea? [8] Bagaimana mungkin kita masing-masing mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa (dialekto) kita sendiri, yaitu bahasa yang kita pakai di negeri asal kita: [9] kita orang Partia, Media, Elam, penduduk Mesopotamia, Yudea dan Kapadokia, Pontus dan Asia, [10] Frigia dan Pamfilia, Mesir dan daerah-daerah Libia yang berdekatan dengan Kirene, pendatang-pendatang dari Roma, [11] baik orang Yahudi maupun penganut agama Yahudi, orang Kreta dan orang Arab, kita mendengar mereka berkata-kata dalam bahasa kita sendiri (auton tais hemeterais glossais) tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah.”
Jelaslah bahwa prototipe dan paradigma utama bahasa lidah dalam peristiwa Pentakosta adalah bahasa asing yang dikenali di dunia ini. Para murid, orang-orang sederhana itu, kini diberi karunia rohani oleh Roh Kudus yang satu dalam bentuk lidah-lidah api yang majemuk (ay. 3), hingga mereka dapat berbicara “tentang perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” yang satu itu (ay. 11) kepada banyak bangsa, sesuai dengan bahasa mereka masing-masing. Bahkan, mereka yang berasal dari bangsa dan dengan bahasa yang sama, namun dengan dialek yang berbeda (Frigia dan Pamfilia) dapat mendengarkan dan memahami Injil di dalam dialek lokal mereka.
Singkatnya, karunia bahasa lidah diberikan kepada para murid dalam rangka pemberitaan Injil kepada segala bangsa, sebagaimana yang diperintahkan oleh Yesus sendiri sebelum Ia naik ke surga, “Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan di seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi” (Kis. 1:8). Sebagian orang dari “ujung bumi” itu hadir di dalam peristiwa Pentakosta dan mendengarkan kesaksian para murid.
Juga, daftar asal-muasal orang yang hadir saat itu disengaja oleh Lukas (penulis Kisah Para Rasul) untuk menandaskan bahwa bahasa yang keluar dari mulut para murid (bahasa lidah) adalah bahasa yang dikenali, bukan bahasa tak-berstruktur yang selama ini kita dengar berlangsung di banyak kalangan pentakostal.
Singkatnya, glossolalia (bahasa lidah) di dalam peristiwa Pentakosta adalah xenolalia (bahasa asing).
Di dalam Kisah Para Rasul 10:42-47, setelah Petrus menerima penglihatan tentang makanan yang halal, dicatat demikian:
[42] Dan Ia telah menugaskan kami memberitakan kepada seluruh bangsa dan bersaksi, bahwa Dialah yang ditentukan Allah menjadi Hakim atas orang-orang hidup dan orang-orang mati… [44] Ketika Petrus sedang berkata demikian, turunlah Roh Kudus ke atas semua orang yang mendengarkan pemberitaan itu. [45] Dan semua orang percaya dari golongan bersunat yang menyertai Petrus, tercengang-cengang, karena melihat, bahwa karunia Roh Kudus dicurahkan ke atas bangsa-bangsa lain juga, [46] sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa roh dan memuliakan Allah. Lalu kata Petrus: [47] “Bolehkah orang mencegah untuk membaptis orang-orang ini dengan air, sedangkan mereka telah menerima Roh Kudus sama seperti kita?”
Jadi, dalam rangka tugas pemberitaan Injil kepada seluruh bangsa (ay. 42), karunia Roh dalam bentuk bahasa lidah diberikan. Ketika Roh Kudus turun pada saat itu (ay. 44), persis ketika peristiwa Pentakosta terjadi, orang-orang Yahudi yang bersunat takjub melihat kenyataan bahwa karunia Roh diberikan juga kepada bangsa-bangsa lain (ay. 45), “sebab mereka mendengar orang-orang itu berkata-kata dalam bahasa Roh” (ay. 46). Mereka mengenali bahasa lidah tersebut, karena mereka percaya bahwa orang-orang non-Yahudi itu “telah menerima Roh Kudus sama seperti kami” (ay. 47), sama seperti yang mereka alami saat peristiwa Pentakosta perdana.
Kita bisa menyimpulkan bahwa, [1] di dalam Kisah Para Rasul, bahasa lidah adalah bahasa asing yang dikenali di dunia dan dapat dideteksi oleh orang yang memiliki bahasa tersebut. Selain itu, [2] bahasa lidah secara jelas muncul selalu dalam kaitan dengan kehadiran Roh Kudus, yaitu ketika seseorang dipenuhi oleh Roh Kudus. Selanjutnya, [3] bahasa lidah muncul dalam konteks pekabaran Injil. Akhirnya, [4] bahasa lidah di dalam dua teks Kisah Para Rasul menghasilkan pujian kepada Allah; mereka memuji Allah untuk “perbuatan-perbuatan besar yang dilakukan Allah” (Kis. 2:11) dan mereka “memuliakan Allah” (Kis. 10:46).
Kasus ketiga di dalam Kisah Para Rasul muncul di 19:6, “Dan ketika Paulus menumpangkan tangan di atas mereka, turunlah Roh Kudus ke atas mereka, dan mulailah mereka berkata-kata dalam bahasa roh dan bernubuat.” Sekali lagi, bahasa lidah dikaitkan dengan kehadiran Roh Kudus. Dan sama seperti kedua teks sebelumnya, kita bisa menyimpulkan bahwa [5] bahasa lidah berfungsi untuk menegaskan, memvalidasi atau membuktikan kuasa dan kehadiran Roh Kudus, bukan untuk mengajar atau membangun iman.
BAHASA LIDAH DI JEMAAT KORINTUS
Bahasa lidah dibahas oleh Paulus baru pada pasal 12 di suratnya yang pertama kepada jemaat di Korintus. Yang menarik, saat jemaat ini dibentuk (Kis. 18) tidak ada catatan sama sekali tentang terjadinya fenomena bahasa lidah. Suasana perpecahan jemaat akibat persaingan spiritual di antara anggota jemaat Korintus sangat kental terasa sejak awal surat ini.
[10] Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir. [11] Sebab, saudara-saudaraku, aku telah diberitahukan oleh orang-orang dari keluarga Kloe tentang kamu, bahwa ada perselisihan di antara kamu. (1Kor. 1:10-11)
Persaingan spiritual itu mewujud ke dalam beberapa bentuk konflik, misalnya, mempertandingkan pemimpin mereka masing-masing (kelompok Paulus, kelompok Apolos, dan lain-lain) atau mempertandingkan karunia rohani yang mereka terima, khususnya antara karunia yang tampaknya supranatural (bahasa lidah, menyembuhkan dan sebagainya) dan karunia yang tampaknya natural (menasihati, memimpin dan sebagainya).
Parahnya keadaan jemaat Korintus agaknya mencerminkan parahnya kota Korintus secara umum. “Korintus” berasal dari kata Yunani Korinthiazomai yang berarti “mempraktikkan perzinahan.” Korintus adalah kota perdagangan dan pelabuhan yang besar yang sekaligus menjadi pusat penyembahan Venus dan Afrodit, dengan ribuan pelacur sakralnya. Praktik penyembahan dewa-dewi ini, menurut banyak ahli, menjadi latar-belakang ditekankannya bahasa lidah di jemaat Korintus, sebab penyembahan dewa-dewi tersebut juga mempraktikkan orakel-orakel bagi para dewa-dewi, baik oleh imam laki-laki maupun imam-imam perempuan (bdk. 1Kor. 12:2).
Di dalam 1 Korintus 12:8-10, Paulus mendaftarkan sembilan karunia rohani. Akan tampak dengan jelas bahwa bahasa lidah menempati urutan yang paling akhir, bersama dengan karunia menafsirkan bahasa lidah. Ini menunjukkan kurang pentingnya karunia bahasa lidah untuk pembangunan jemaat Allah. Hal ini makin tampak, jika kita membandingkannya dengan daftar karunia yang diberikan Paulus di dalam Roma 12:6-8, yang sama sekali tidak mencantumkan bahasa lidah. Hal ini mengindikasikan bahwa memang tak ada anggota jemaat di kota Roma yang memperoleh karunia bahasa lidah; atau, bisa juga ada kemungkinan fenomena bahasa lidah sudah hilang pada waktu itu. Selain itu, di 1 Korintus 12:28, Paulus menetapkan fungsi-fungsi di dalam jemaat dengan skala dari yang terpenting sampai yang tidak penting.
Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang. Tetapi kepada tiap-tiap orang dikaruniakan penyataan Roh untuk kepentingan bersama. (1Kor. 12:4-7) | Sebab sama seperti pada satu tubuh kita mempunyai banyak anggota, tetapi tidak semua anggota itu mempunyai tugas yang sama, demikian juga kita, walaupun banyak, adalah satu tubuh di dalam Kristus; tetapi kita masing-masing adalah anggota yang seorang terhadap yang lain. (Ro. 12:4-5) | Memang ada banyak anggota, tetapi hanya satu tubuh… Kamu semua adalah tubuh Kristus dan kamu masing-masing adalah anggotanya. (1Kor. 2:20, 27) |
1 Korintus 12:8-10 | Roma 12:6-8 | 1 Korintus 12:28 |
|
|
|
Dari daftar di atas kita melihat bahwa memang bahasa lidah merupakan karunia yang khas di jemaat Korintus, itu pun dengan prioritas terendah. Tak ada indikasi bahwa jemaat-jemaat lain yang didirikan Paulus mendapatkan bahasa lidah atau bermasalah dengan karunia ini. Menarik juga untuk dipahami bahwa setiap kali Paulus berbicara mengenai kemajemukan dan keberagaman karunia, Ia meletakkannya dalam konteks kesatuan jemaat dan manfaat karunia-karunia itu bagi pembangunan tubuh Kristus. Kini, mari kita teliti lebih dalam pandangan Paulus mengenai bahasa lidah di dalam 1 Korintus 12-14.
1 Korintus12: Bahasa Lidah di Tempat Terbawah
Pasal 12 membahas bahasa lidah hanya di dua bagian yang sudah dibahas di atas, yaitu saat Paulus memasukkannya ke dalam daftar sembilan karunia rohani (ay. 8-10) dan daftar fungsi jemaat (ay. 28). Di dalam kedua daftar itu, bahasa lidah menempati urutan kepentingan paling akhir.
Patut diberi catatan khusus bahwa di ayat 10 dan 28, Paulus sebenarnya memakai frasar gene glosson, yang berarti “bermacam-macam bahasa.” Hal ini makin menandaskan keyakinan kita bahwa bahasa-bahasa lidah di jemaat Korintus juga adalah bahasa-bahasa yang dikenal di dunia, bukan serangkaian ucapan yang tak dapat dipahami, sebagaimana dipraktikkan oleh banyak orang Kristen masa kini. Ada banyak bahasa di dunia ini (gene glosson), namun semua adalah bahasa, sama seperti ada banyak jenis (genus) burung, namun semuanya adalah burung. Namun, “burung besi” alias pesawat terbang tidak termasuk ke dalam keluarga burung, bukan?
1 Korintus13: Bahasa Lidah Berakhir
Pasal 13 menjadi kunci untuk memahami fenomena bahasa lidah. Inti pasal ini bukan bahasa lidah, namun kasih. Paulus mulai dengan menegaskan bahwa “sekalipun” (Paulus membuat sebuah pengandaian di sini) ia bisa berbicara dengan semua bahasa manusia dan bahkan bahasa malaikat, semuanya sia-sia tanpa adanya kasih. Paulus sama sekali tidak menyamakan bahasa lidah dengan bahasa malaikat. Bahkan, dalam Kitab Suci, bahasa malaikat pun bisa dipahami oleh manusia, karena memang tugas utama malaikat, sesuai namanya (aggelos), adalah menjadi pembawa warta. Pesan utama Paulus dengan ayat ini sebenarnya adalah, semua bahasa itu sia-sia tanpa kasih.
Dengan tegas Paulus menyatakan bahwa beberapa karunia rohani akan lenyap (bahasa lidah, nubuat, pengetahuan [spiritual]), yaitu ketika yang sempurna tiba (ay. 8-9). Hal ini sangat wajar, seperti juga perkembangan seorang manusia dari kanak-kanak menjadi dewasa (ay. 10). Pembedaan anak-anak dan dewasa, bagi Paulus, adalah bahwa orang dewasa hidup bagi orang lain (bdk. 1Kor. 14:20). Dengan kata lain, mengejar dan mengutamakan yang tak utama (bahasa lidah) adalah tanda ketidakdewasaan!
Pertanyaannya, apakah yang dimaksud dengan sempurna (teleios: utuh, tak memerlukan hal-hal lain lagi)? Pandangan para pengguna bahasa lidah adalah bahwa yang sempurna itu menunjuk pada “kedatangan Yesus yang kedua.” Pandangan ini bermasalah, sebab dipaksakan (inference) masuk ke teks yang sama-sekali tidak berbicara tentang kedatangan Kristus.
Pandangan kedua menyatakan bahwa yang sempurna itu adalah lengkapnya kanon Alkitab. Namun, ini pun tidak diberi pendasaran cukup kuat di dalam teks 1 Korintus 13.
Pandangan ketiga, yang lebih saya sepakati, adalah bahwa yang sempurna atau utuh itu dikatakan oleh Paulus pada ayat 13, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
Artinya, ketiga hal yang paling penting (“tinggal ketiga hal ini”) adalah iman, harap dan kasih. Seseorang disebut Kristen karena ketiga hal mendasar ini. Sebaliknya, seseorang tetap bisa menjadi Kristen tanpa harus bernubuat atau berbahasa lidah.
Dan yang paling besar dari ketiganya adalah kasih! Maka, menyombongkan bahasa lidah dan menyatakan orang lain yang tidak bisa berbahasa lidah sebagai orang Kristen yang tidak beriman, justru berlawanan dengan kasih yang salah satu cirinya adalah “tidak memegahkan diri dan tidak sombong” (ay. 4).
1 Korintus 14: Pengaturan Bahasa Lidah
Di dalam pasal 14, Paulus bahkan mengatur pemakaian bahasa lidah. Sudah sangat jelas, pertama-tama, bahwa bagi Paulus karunia nubuat (yang juga akan berakhir) itu lebih penting daripada karunia berbahasa lidah (ay. 1, 5-6, 39). Ukurannya jelas: bernubuat dapat membangun jemaat (ay. 3-5, 12, 26). Bahasa lidah bisa membangun jemaat hanya jika ada yang menafsirkannya, entah orang lain atau dia yang berbahasa lidah itu sendiri (ay. 5, 13, 26-28).
Itu sebabnya, Paulus mengatur pemakaian bahasa lidah di dalam pertemuan jemaat (ay. 27-28), yaitu bahwa [1] hanya dua atau tiga orang yang berbahasa lidah, [2] bergantian, serta [3] harus ada yang menafsirkan. Juga, [4] jika tak tersedia penafsir, maka mereka yang berbahasa lidah harus berdiam diri.
Prinsip dasarnya jelas sekali, yaitu semuanya harus membangun jemaat, tidak menimbulkan kekacauan namun damai sejahtera (ay. 33) dan bahwa pertemuan jemaat “harus berlangsung dengan sopan dan teratur” (ay. 40).
Ada dua catatan penting di sini. Pertama kata “menafsir” atau “penafsir” tidak boleh dipahami sebagai tindakan atau seseorang yang “menemukan makna” dari bahasa lidah (to expound), namun “menerjemahkan” (to interpret, to translate).
Jadi karunia menafsirkan bahasa lidah adalah karunia menerjemahkan dari satu bahasa asing yang diucapkan seseorang ke bahasa yang dipakai oleh jemaat. Itu sebabnya, jika seseorang mengucapkan sebuah bahasa asing di tengah-tengah jemaat dan tak seorang pun menerjemahkannya, maka ucapannya tak dimengerti (ay. 2, 9-11, 19).
Hal ini makin menguatkan pendirian kita bahwa bahasa lidah di dalam jemaat Korintus adalah bahasa asing yang dikenal di dunia, bukan “bahasa lidah” yang banyak dipraktikkan di masa kini. Secara khusus, Paulus mengungkapkannya di dalam ayat 10-11,
[10] Ada banyak–entah berapa banyak–macam bahasa di dunia; sekalipun demikian tidak ada satupun di antaranya yang mempunyai bunyi yang tidak berarti. [11] Tetapi jika aku tidak mengetahui arti bahasa itu, aku menjadi orang asing bagi dia yang mempergunakannya dan dia orang asing bagiku.
Kedua, banyak pengguna bahasa lidah masa kini mengajukan argumen bahwa bahasa lidah bermanfaat untuk membangun iman secara pribadi. Jadi, apakah memang Paulus memperbolehkan pemakaian bahasa lidah di dalam doa pribadi? Tidak, sama sekali tidak! Paulus memang berkata, “Siapa yang berkata-kata dengan bahasa roh, ia membangun dirinya sendiri” (ay. 4). Namun, kita harus sungguh-sungguh memahami bahwa konteks percakapan dari 1 Korintus 14 adalah pertemuan jemaat.
Jadi, seseorang yang berbahasa lidah–di dalam pertemuan jemaat!–tanpa seorang pun mengerti, hanya akan “membangun dirinya sendiri,” dalam pengertian secara negatif–sebuah sikap memegahkan dan memuliakan diri, yang justru berlawanan dengan cinta-kasih.
Lebih dari itu, Paulus menjelaskan bahwa bahasa lidah merupakan tanda (semeion) bagi orang yang tidak beriman (ay. 22). Yang dimaksud dengan orang yang tidak beriman (apistos) di sini bukanlah orang non-Kristen, namun orang Kristen yang kurang percaya (bdk. pemakaian apistos di dalam teguran Yesus kepada Thomas; Yoh. 20:27).*1
Dengan kata lain, mereka yang mengejar dan mengutamakan bahasa lidah, menurut Paulus, adalah orang-orang yang kurang percaya. Mereka dapat percaya hanya karena (because of) karunia yang spektakular agar dapat percaya. Sebaliknya, mereka yang dewasa akan sungguh percaya sekalipun tidak ada dan terlepas dari (in spite of) tanda spektakular apapun.
Di ayat 23, Paulus justru mempertimbangkan orang yang kurang percaya (yang sangat mungkin tidak memiliki karunia berbahasa lidah) yang justru akan tersandung dan menyebut mereka yang berbahasa lidah sebagai orang gila. Dengan kata lain, Paulus hendak menyatakan bahwa, jauh dari membangun iman jemaat, bahasa lidah justru dapat menjadi penghalang bagi pertumbuhan iman anggota-anggota jemaat.
Kesimpulan Bahasa Lidah di dalam 1 Korintus 12-14
Jadi, dapatlah disimpulkan beberapa hal sehubungan dengan fenomena bahasa lidah di dalam surat 1 Korintus.
- Bahasa lidah adalah bahasa asing yang dikenali di dunia ini, bukan rentetan suara tanpa makna secara linguistik.
- Ia merupakan salah satu dari banyak karunia, bahkan ia adalah karunia yang paling tidak penting.
- Ia hanya bisa dipraktikkan dengan berbagai pengaturan yang ketat, seperti: demi pembangunan jemaat, dibatasi jumlah dan gilirannya, harus ada penafsir/penerjemah (harus dihentikan jika tidak ada penafsir/penerjemah), dan sebagainya.
- Bahasa lidah di 1 Korintus akan lenyap, ketika iman-harap-kasih tiba dan menjadi identitas Kristiani.
- Bahasa lidah di jemaat Korintus adalah salah satu alasan dan sumber perpecahan jemaat.
- Bahasa lidah tidak boleh dipraktikkan secara pribadi, namun selalu di dalam pertemuan jemaat.
- Bahasa lidah dapat menjadi tanda ketidakdewasaan rohani seseorang, bahkan bisa menghalangi pendewasaan rohani orang lain.
BAGAIMANA SEBAIKNYA SIKAP KITA?
Bagaimana seharusnya kita bersikap terhadap fenomena bahasa lidah modern? Lampiran 7 Tata Gereja GKI berisi “Pegangan Ajaran GKI mengenai Gerakan Pentakosta Baru (Karismatik)” yang di butir A-nya berbicara mengenai bahasa lidah. Sayang, isinya hanya uraian pandangan Paulus saja. Tidak ditunjukkan sikap tegas GKI terhadap fenomena bahasa lidah modern. Jika demikian, bagaimana kita mengambil sikap yang lebih jelas, tegas dan bertanggung jawab? Saya menawarkan beberapa hal.
- Agaknya kita harus mulai dengan sebuah penyimpulan mendasar bahwa fenomena bahasa lidah masa kini sama sekali berbeda dengan dengan fenomena bahasa lidah di zaman Alkitab. Bahasa lidah di zaman Alkitab adalah bahasa asing (xenolalia) yang dikenali di dunia dan dapat diverifikasi oleh ahli bahasa. Sedang bahasa lidah modern adalah penyuaraan serentetan bunyi tanpa makna semantik sama sekali.
- Apakah, dengan demikian, kita harus berkata bahwa itu bukan dari Roh Kudus? Tentu kita semua tahu bahwa, di satu sisi, karya Roh Kudus yang bebas itu tidak bisa dibatasi. Tetapi, di sisi lain, kita juga belajar bahwa kita harus menguji roh-roh (1Yoh. 4:1-2). Pengujian roh-roh (discretio spirituum) ini juga menjadi salah satu karunia yang Paulus cantumkan tepat di atas bahasa lidah (1Kor. 12:8-10).Dalam surat Yohanes itu, salah satu batu ujinya adalah “setiap roh yang mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia, berasal dari Allah.” Namun–penting sekali!–saya tidak mengatakan bahwa jika demikian bahasa lidah adalah karya ROH KUDUS. 1 Yohanes 4:1-2 tidak berbicara tentang Roh Kudus sebagai Pribadi ilahi, namun “setiap roh” sebagai “ajaran dasar.”Atas dasar ini, saya hendak menyatakan bahwa sejauh ajaran dasar dari gereja-gereja yang mempraktikkan bahasa lidah tetap menyatakan pengakuan imannya pada Yesus Kristus, maka gereja-gereja tersebut tidak bisa kita tolak dan malah harus diakui sebagai saudara di dalam iman. Itu tidak berarti kita tidak perlu menolak praktik bahasa lidah mereka, yang ternyata tidak sama, bahkan terkadang berlawanan, dengan apa yang dicatat di dalam Alkitab.
- Lalu, apakah mungkin Roh Kudus mengerjakan bahasa lidah modern yang berbeda dengan yang dicatat di Alkitab? Sangat mungkin. Berbeda tidak sama dengan berlawanan. Namun, masalahnya, kita tidak memiliki alat-bantu untuk melakukan verifikasi selain Alkitab. Itu sebabnya, sebagian besar gereja arus utama mengambil sikap moderat, yang ditawarkan oleh A.W. Tozer: seek not, forbid not (jangan dicari, jangan ditolak). Namun, nasihat Tozer ini harus diperlengkapi dengan sebuah catatan khusus, yaitu bahwa apa yang “jangan dicari dan jangan ditolak” itu adalah bahasa lidah yang sama dengan yang dicatat di dalam Alkitab, bukan bahasa lidah yang asing dari deskripsi Alkitab.
- Anda bisa juga mengambil sikap lebih tegas lagi, demi kemaslahatan umat, yaitu menolak sepenuhnya paham bahwa bahasa lidah masih terjadi. Ini pun memiliki landasan biblis yang sangat kuat, selain bahwa sikap ini juga dianut oleh banyak bapa gereja, bahkan sejak abad-abad pertama kekristenan. Sikap ini kerap disebut cessationisme. Argumen dasar mereka lazimnya adalah bahwa bahasa lidah diberikan Roh Kudus untuk memberitakan Injil (kasus Kisah Para Rasul), agar para murid yang sederhana itu bisa mewartakan Injil ke semua bangsa tanpa mempelajari bahasa-bahasa asing tersebut.Pada masa kini, bahkan tak satu pun gereja yang mempraktikkan bahasa lidah yang tidak mendidik para misionaris mereka yang akan bekerja di wilayah lain dengan bahasa asing yang bakal mereka pakai.
- Jadi, seandainya bahasa lidah modern memang bukan manifestasi Roh Kudus, tidak perlu secara otomatis kita simpulkan bahwa bahasa lidah berasal dari si jahat (sekalipun kemungkinan itu tetap harus dibuka). Ia bisa saja menjadi ekspresi kejiwaan/psikis manusia atau tindakan yang disadari oleh manusia (memutuskan untuk mengucapkannya atau meniru orang lain mengucapkannya). Kita perlu mengingat bahwa di dalam Alkitab seekor keledai (milik Bileam) pun bisa diberi karunia berbahasa asing (bahasa manusia) (Bil. 22).Juga, ternyata fenomena bahasa lidah, baik yang mirip dengan yang digambarkan di dalam Alkitab maupun yang mirip dengan fenomena modern itu, berlangsung di agama-agama lain.
- Akhirnya, yang terpenting, adalah capailah “jalan yang lebih utama lagi” (1Kor. 12:31) yaitu iman, harap dan kasih (1Kor. 13:13; Rm. 5:2; 1Tes. 5:8). Bahasa kasih adalah bahasa yang terutama dalam hidup semua orang percaya.
Dan tampaklah kepada mereka lidah-lidah seperti nyala api yang bertebaran dan hinggap pada mereka masing-masing.
(Kis. 2:3)
Pdt. Joas Adiprasetya
Makalah dengan topik Bahasa Lidah, pernah diangkat pada Forum Diskusi Teologia (FDT) GKI Pondok Indah, 7 Februari 2011.
*1 Juga terdapat pemakaian tiga kali kata idiotes di pasal 14 ini, yang oleh LAI diterjemahkan dengan tiga kata yang semuanya berbeda: “orang biasa” (ay. 6), “orang luar” (ay. 23) dan “orang baru” (ay. 24). Namun, ini masalah lain yang bisa dibicarakan di kesempatan lain.
6 Comments
waris hari satriya
Juli 5, 2011 - 11:19 amBahasa lidah adalah merupakan suatu karunia yang berasal dari Tuhan, menurut hemat saya, lebih baik kita melihat secara positif maanfaat dari karunia ini, jangan sampai memberikan penafsiran yang akan membuat jemaat makin bingung, terus terang saja saat ini banyak sekali jemaat yang belum mengeti bahkan tidak mengerti , mereka masuk di denominasi mana, namun saya hanya melihat ketekunan mereka dalam mejalani ibadah.
Kim Hong Nathan
Agustus 4, 2011 - 3:17 amAnda berkata: Pandangan ketiga, yang lebih saya sepakati, adalah bahwa yang sempurna atau utuh itu dikatakan oleh Paulus pada ayat 13, “Demikianlah tinggal ketiga hal ini, yaitu iman, pengharapan dan kasih, dan yang paling besar di antaranya ialah kasih.”
Artinya, ketiga hal yang paling penting (“tinggal ketiga hal ini”) adalah iman, harap dan kasih. Seseorang disebut Kristen karena ketiga hal mendasar ini. Sebaliknya, seseorang tetap bisa menjadi Kristen tanpa harus bernubuat atau berbahasa lidah.
*Pernyataan Anda di atas memberi ruang dan waktu bahasa lidah masih berlangsung hingga kini. Penilaian Anda akan bertentangan dengan pendapat Anda, bagaimana sebaiknya sikap kita di point 4: “Anda bisa juga mengambil sikap lebih tegas lagi, demi kemaslahatan umat, yaitu menolak sepenuhnya paham bahwa bahasa lidah masih terjadi. Ini pun memiliki landasan biblis yang sangat kuat, selain bahwa sikap ini juga dianut oleh banyak bapa gereja, bahkan sejak abad-abad pertama kekristenan. Sikap ini kerap disebut cessationisme.”
??
Joas Adiprasetya
Agustus 7, 2011 - 6:19 amSdr. Kim Hong Nathan yg baik.
Terima kasih untuk responsnya. Paragraf awal sub bagian “BAGAIMANA SEBAIKNYA SIKAP KITA?” sebenarnya sudah cukup jelas menunjukkan bahwa ada beberapa tawaran yang saya sajikan. Jadi pembaca sila memilih sikap yang menurut mereka lebih sesuai. Masing-masing sikap tidak perlu konsisten satu dengan yang lain, namun masing-masing bisa dipertanggungjawabkan.
Kim Hong Nathan
Agustus 10, 2011 - 12:00 amSdr Joas Adiprasetya, kalau demikian, sesudah Anda memberikan tawaran kepada sidang pembaca, dan dari ribuan pembaca pasti akan memilih satu di antaranya, dan tidak ada satu pun yang tidak terpilih dari jutaan umat yang berlainan dalam memandang bahasa roh, pandangan manakah yang menjadi pilihan Anda? Dan bagaimana hubungannya dengan pendapat Anda bahwa YANG SEMPURNA ITU “iman, pengharapan dan kasih?”
Kim Hong Nathan
Agustus 24, 2011 - 11:45 amSdr Joas, pernyataan Anda, “Masing-masing sikap tidak perlu konsisten satu dengan yang lain, namun masing-masing bisa dipertanggungjawabkan,” membingungkan akal budi. Bagaimana bisa mempertanggungjawabkan 2 hal atau lebih yang tidak konsisten satu dengan yang lainnya?
Ibarat Anda menyuruh memilih apa rasa cabe? Asem, manis, pahit, atau pedas? Jika seseorang memilih selain pedas bisakah dikatakan pilihannya sudah konsisten dan bisa dipertanggungjawabkan dengan rasa buah cabe?
Alan
Juni 1, 2012 - 2:50 pmYang teramat sangat dibutuhkan Gereja saat ini adalah suatu kesatuan. Bukan perdebatan satu sama lain. Banyak hal yang harus kita kerjakan dari pada berdebat. Banyak jiwa-jiwa yang sangat butuh kasih Kristus dalam kehidupan kita. youk saya mengajak kita semua Gereja-gereja Tuhan untuk bersatu !! dan melaksanakan amanat Agung menjadikan semua bangsa murid Tuhan… Gbu all