Dalam satu kebaktian beberapa minggu yang lalu, sang pembawa Firman memulai khotbahnya dengan memberikan pertanyaan di atas kepada para Jemaat yang hadir.
Mendengar pertanyaan itu, sejenak saya merenung, karena bagi saya kalau pertanyaannya adalah apakah saya beragama Kristen?, tidak sulit bagi saya untuk membuktikannya. Agama Kristen jelas tertera di KTP saya, saya juga memiliki surat baptis dan sidi dari GKI Panglima Polim, saya merasa yakin saya juga bisa meminta surat keterangan tentang keanggotaan saya di GKI Pondok Indah ke kantor gereja, dan kalau perlu saya bisa minta rekomendasi dari Pdt. Agus Susanto yang telah menikahkan saya di GKI Pondok Indah.
Tapi karena pertanyaannya adalah apakah saya benar orang Kristen?, yang artinya adalah pengikut Kristus, apalagi kalau ditambah dengan apakah saya benar pengikut Kristus, di hadapan mata-Nya?, bagi saya jawaban dan pembuktiannya menjadi sangat tidak mudah. Saya jadi berpikir lebih lanjut lagi, karena hal ini merupakan hal yang penting bagi saya – yaitu bahwa di mata Tuhan Yesus saya memang benar orang Kristen dan berhak menjadi anak Allah, bukan hanya sekadar beragama Kristen.
Berkaitan dengan itu, saya jadi teringat ayat yang tertulis dalam kitab Yoh 14:6 tentang pernyataan Yesus bahwa Dialah jalan dan kebenaran dan hidup, dan tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Dia. Ayat ini ditulis dalam kaitan dengan pernyataan Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya bahwa Dia akan pergi untuk menyediakan tempat bagi kita dan nanti akan datang kembali untuk membawa kita ke sana (tempat di sini diinterpretasikan sebagai surga). Nah, seringkali berdasarkan ayat ini dianggap bahwa hanya orang Kristen yang bisa masuk surga; walaupun hal ini juga ditentang oleh sebagian orang yang menganggap bahwa pendapat tersebut adalah satu interpretasi teologi yang sempit.
Saya kebetulan sudah dua kali ikut berdiskusi mengenai hal ini dengan pendeta di GKI Pondok Indah, yaitu Pdt Joas dan Pdt Purboyo, dalam kesempatan yang terpisah. Diskusi yang menarik dan sangat bermanfaat bagi saya walaupun saya belum dapat menemukan titik temu bagi beberapa pendapat kami yang berbeda. Akan tetapi, rupa-rupanya Tuhan mengerti akan pergumulan saya ini, di majalah Kasut bulan Agustus 2002 (baru saya baca di website bulan Februari 2005), di rubrik Pastoralia, Pdt Rudianto mendapatkan pertanyaan: Apakah Orang Kristen Pasti Masuk Surga?.
Di dalam jawaban beliau, ada satu kalimat yang menarik buat saya, yaitu Jadi bukan agama Kristennya yang menyelamatkan tetapi semata kasih dan anugerah Allah yang anda terima di dalam Yesus Kristus. Jadi bisa disimpulkan bahwa yang penting memang bukan agama Kristennya, melainkan Tuhan Yesusnya. Dialah yang bisa menyelamatkan kita dan membuat kita menjadi anak Allah yang berhak memanggil Bapa kepada-Nya. Karena itulah, menjadi penting artinya apakah saya benar pengikut Kristus di mata Tuhan Yesus sendiri? Apakah saya layak menjadi anak-Nya dan menerima keselamatan yang hanya bisa diberikan oleh Dia?
Karena penasaran, saya berusaha untuk mencari informasi lebih lanjut dalam Alkitab. Di kitab Roma 8:14-17, saya mendapatkan beberapa ciri orang Kristen, atau di sini disebut sebagai anak Allah, di mata Tuhan Yesus yang tertulis di Alkitab. Saya yakin ada banyak ayat-ayat lain, baik di kitab Roma maupun di kitab yang lainnya, yang juga membahas hal yang sama, akan tetapi pada waktu itu, yang saya baca dan renungkan adalah ayat-ayat dari Roma 8:14-17 ini;
- Ayat 14, Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah.
- Ayat 15, Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: “”ya Abba, ya Bapa!’’
- Ayat 16, Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.
- Ayat 17, Dan jika kita adalah anak, maka kita juga adalah ahli waris, maksudnya orang-orang yang berhak menerima janji-janji Allah, yang akan menerimanya bersama-sama dengan Kristus, yaitu jika kita menderita bersama-sama dengan Dia, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia.
Di ayat 14, saya melihat ciri yang pertama sebagai anak Allah, yaitu dipimpin oleh Roh Allah atau Roh Kudus. Tapi saya jadi bertanya kembali… terus artinya apa? apa artinya dipimpin oleh Roh Kudus? Bagaimana saya bisa tahu kalau saya itu dipimpin oleh Roh Kudus atau tidak? Ketika me-refleksikannya pada diri saya sendiri, sebagai seorang pegawai di tempat saya bekerja, saya melihat bahwa saya adalah seorang pegawai yang mempunyai seorang atasan yang memimpin saya.
Dalam konteks pekerjaan, berarti saya harus mematuhi perintah dan petunjuk dari atasan/pimpinan saya, serta harus bekerja/melakukannya dengan sebaik-baiknya. Pada prinsipnya, apa yang diinginkan dan diminta oleh pimpinan saya akan mengarahkan serta menentukan prioritas kerja saya, apa dan bagaimana saya melakukan pekerjaan saya serta apa keputusan yang saya ambil setiap kali saya menghadapi pilihan. Yang mengherankan, hal ini mudah sekali untuk saya mengerti dan terima di dalam pekerjaan saya sehari-hari, tetapi sukar sekali untuk saya ikuti di dalam kehidupan rohani saya setiap hari, karena seharusnya dengan analog seperti di atas, kalau saya dipimpin oleh Roh Kudus, berarti:
- Pikiran saya harus selalu memprioritaskan hal-hal yang sesuai dengan Roh Kudus
- Hati saya harus selalu mencerminkan kwalitas Roh Kudus ‡ kasih
- Kemauan dan keputusan saya harus selalu didasarkan kepada Roh Kudus
Dalam konteks dan analog di atas, jelas bahwa saya belum dipimpin oleh Roh Kudus. Saya masih seringkali memprioritaskan hal-hal yang menyenangkan hati saya sendiri, hati saya seringkali tidak peka akan kasih terhadap sesama, dan hampir selalu saya mengandalkan pengetahuan dan kemampuan saya sendiri dalam mengambil keputusan di dalam hidup saya sehari-hari. Kalau boleh disimpulkan, kehidupan saya masih terpusat pada kepentingan diri saya sendiri, bahkan ketika kebetulan saya terlibat di dalam pelayanan/kegiatan di gereja.
Tanpa disadari, seringkali terpikir: apa persyaratan minimum yang saya harus lakukan sebagai anak Tuhan …. nah, saya mau di situ saja. Tentunya saya tidak mau kalau sama sekali tidak mengikuti kehendak Tuhan, tetapi juga tidak mau kalau total saya mengikutinya semua. Jadi kira-kira, yang sedang-sedang saja deh… ke gereja setiap Minggu dan ikut beberapa kegiatan gereja, tentunya cukup dong. Apalagi kalau saya sudah ikut aktif sebagai pengurus Komisi dan/atau panitia. Yang penting, saya masih bisa punya sisa waktu untuk melakukan hal-hal lain yang saya inginkan dan perlukan. Saya yakin banyak di antara kita yang sependapat dengan saya. Mungkin kita tidak selalu berani mengatakannya terus terang, tetapi itu tercermin dalam kehidupan kita setiap hari. Tercermin dalam prioritas kegiatan kita.
Ciri kedua yang bisa saya lihat adalah di ayat 17b, yaitu apabila kita sanggup menderita bersama-sama dengan Kristus, supaya kita juga dipermuliakan bersama-sama dengan Dia. Wah, berat betul persyaratannya… demikian pikiran saya ketika membaca ayat ini. Bagaimana saya bisa sanggup menderita bersama–sama dengan Kristus? Memikirkannya saja sudah ngeri… Tapi kemudian saya jadi terus berpikir lebih lanjut, apa iya jadi orang Kristen berarti kita harus selalu menderita. Kalau iya, maksudnya menderita yang bagaimana? tetapi kalau tidak, jadi apa yang dimaksud oleh ayat 17 ini?.
Saya memang ingat ada ayat di Lukas 9:23, bahwa setiap orang yang mau mengikut Tuhan Yesus harus menyangkal dirinya dan memikul salibnya setiap hari, dan juga tentang pernyataan Tuhan Yesus di Markus 10:25, tentang lebih mudah bagi seekor unta untuk masuk ke lubang jarum daripada orang kaya masuk ke surga. Semuanya itu mengingatkan saya bahwa memang Tuhan Yesus sudah mengatakan terlebih dahulu bahwa mengikut Dia bukanlah perjalanan hidup yang bersenang-senang dan ringan, melainkan justru sebaliknya. Namun demikian, naluri manusia saya tetap berusaha menyangkal dan mencari pembenaran bagi saya untuk mengejar/mencari kenikmatan hidup… (sounds familiar?).
Padahal tidak saja harus memikul salib, tetapi Tuhan Yesus juga mengatakan bahwa kita harus menyangkal diri kita sendiri, yang dalam pemahaman saya berarti kita harus melawan keinginan daging kita. Melawan keingingan duniawi kita yang membuat kita menomorduakan Dia. Salah satu ayat yang sangat berkesan dalam kehidupan saya adalah ayat yang terkenal dari Matius pasal 6 ayat 33, tentang mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya, dan semuanya akan ditambahkan kepada kita. Kalau kita baca ayat-ayat sebelumnya, yang dimaksud semuanya itu adalah semua hal yang selalu kita kuatirkan atau kita inginkan dalam kehidupan kita sebagai manusia, sandang, pangan dan mungkin juga papan dan kenikmatan lainnya.
Tuhan Yesus mengatakan, jangan kuatir tentang semuanya itu, fokus pada hal yang utama yaitu mencari Kerajaan Allah dan kebenarannya di dalam kehidupan kita.
Bagi saya, ini mudah untuk mengatakannya tetapi sangat sukar untuk menerapkannya. Itu sebabnya saya masih selalu merasa kekurangan waktu untuk beribadah, untuk terlibat dalam pelayanan dan bersaat teduh dengan Dia. Itu sebabnya saya masih berkonsentrasi untuk membina karir, rumah tangga dan keluarga, menabung sebanyak-banyaknya dan memprioritaskan waktu senggang saya untuk berekreasi dsb.
Bagaimana saya bisa ikut memikul salib dan menderita dengan Tuhan Yesus? Masih banyak hal lain yang harus saya lakukan sebagai bentuk tanggung jawab saya kepada keluarga dan masyarakat. Itu kan juga yang Tuhan mau kita lakukan.
Suatu ketika, saya mendengar Firman yang dibawakan dari kitab Lukas 21:1-4 tentang seorang janda miskin yang memberikan dua peser ke dalam peti persembahan dan Tuhan Yesus menyatakan bahwa dia memberikan jauh lebih banyak daripada persembahan yang diberikan oleh orang-orang kaya di situ. Karena janda miskin itu memberikan dari kekurangannya sementara orang-orang kaya itu memberikan dari kelimpahan mereka. Tiba-tiba saya tersentak, atau kalau bahasa Jakartanya ”dijedotin”, dan saya melihat bahwa di sini kata kuncinya adalah ”pilihan”.
Baik orang-orang kaya tersebut maupun sang janda miskin, masing-masing memiliki pilhan pada saat itu. Pilihan bagi orang-orang kaya tersebut lebih mudah dan straight forward, yaitu antara tidak memberikan persembahan atau memberikan persembahan berupa sebagian kecil (walaupun nilai absolutnya besar) dari kekayaannya. Mudah bukan? Tidak usah dipikir juga kita semua tahu. Beri saja persembahan yang besar, toh itu tidak mengganggu keuangan/kehidupan mereka sama sekali. Namun sebaliknya dengan janda miskin tersebut, pilihannya benar-benar sangat sulit yaitu antara memberikan persembahan dan berarti hari itu mungkin dia dan keluarganya tidak makan, atau tidak memberikan persembahan dan hari itu ada makanan di rumahnya. Janda miskin tersebut memilih untuk tetap memberikan persembahan dan Tuhan Yesus melihat serta sangat menghargainya.
Kalau saya pasti akan memilih yang sebaliknya dan akal sehat saya akan mengatakan bahwa saya memiliki pembenaran yang sangat kuat untuk pilihan tersebut.
Saya tahu pasti itu, karena dalam konteks yang berbeda saya sudah sering melakukannya. Saya sudah mengambil pilihan seperti itu ketika saya memutuskan untuk tidak ikut acara di gereja karena sudah lelah bekerja atau masih harus bekerja lagi malam itu, atau ketika saya tidak mau terlibat membantu kegiatan pelayanan karena kesibukan saya dalam meniti karir di pekerjaan, atau ketika saya pulang duluan dari kebaktian gereja karena harus menghadiri acara lain dan masih banyak lagi. Dan untuk setiap pilihan tersebut, saya punya justifikasi atau pembenaran yang sangat kuat secara akal sehat saya.
Tiba-tiba saya melihat ”memikul salib dan menderita bersama dengan Dia” dalam konteks yang berbeda. Saya melihat bahwa jika setiap kali menghadapi pilihan, saya mengambil pilihan yang menomorduakan pekerjaan Tuhan, maka berarti saya tidak menyangkal diri sendiri dan tidak mau memikul salib bersama Yesus. Dan sebaliknya, jika setiap saat saya punya pilihan, dan saya memilih hal yang menyenangkan hati Tuhan, walaupun itu kebanyakan tidak enak buat saya (dari kacamata dunia), pada saat itulah saya sudah turut memikul salib dan menderita bersama dengan Dia.
Saya percaya Tuhan Yesus juga punya pilihan ketika Dia berdoa di Taman Getsemani pada malam Dia ditangkap, dan saya sungguh bersyukur bahwa Dia telah memilih yang sesuai dengan kehendak Bapa kita di Surga untuk menjalani penyaliban, kematian dan kebangkitan-Nya. Dengan demikian maka saya memiliki kesempatan untuk ditebus dosa saya dan layak menjadi anak-Nya.
Oleh karena itu saya berdoa kepada Tuhan agar saya juga dimampukan untuk selalu memilih yang sesuai dengan kehendak dan rencana-Nya, supaya saya mampu untuk menyediakan diri dan hidup saya untuk menyenangkan hati Tuhan dan menjalani rencana-Nya. Dan semoga nantinya saya bisa berkata dengan yakin bahwa saya benar orang Kristen, anak Allah dihadapan-Nya.
Bagaimana dengan anda?
Catatan:
Tulisan ini merupakan salah satu rangkuman dari pergumulan dan pengalaman pribadi yang kiranya boleh menjadi salah satu bahan pemikiran kita semua. Pernyataan dan interpretasi yang dituliskan di sini tentunya masih terus berkembang seiring dengan perjalanan hidup saya.Saya tidak ingin mempermasalahkan atau memperdebatkan interpretasi teologi yang mungkin timbul, karena saya sama sekali tidak berkompeten untuk itu. Harapan saya hanyalah agar tulisan ini bisa bermanfaat di dalam perjalanan pendakian iman kita masing-masing, karena itulah yang saya alami.
Chandra Suria
2 Comments
allfredi ginting
Oktober 10, 2010 - 8:47 amsaya sangat setuju dengan anda yang telah memberikan gambaran orang orang kristen kebanyakan ini dibuktikan dengan banyaknya sekte sekte kristen bermunculan sehingga kebenaran kristen jadi kabur tapi bukan gereja yang benar tapi menjadi pengikut Yesus Yang Benar seperti yang anda sebutkan .
teruslah bersuara agar kebenaran Kristus lebih nyata sehingga kita menjadi Garam dan Terang bagi sesama manusia sehingga kecurigaan agama lain hilang dan kekerasan antar agama dan sesama tidak ada
damailah negriku dan damailah umat manusia di dunia
Anggoro Seto
Desember 4, 2010 - 9:58 amSaya tertarik dengan materi Bible Talk di atas, karena itu saya membacanya. Pergumulan tentang apakah saya benar2 adalah orang Kristen terjawab sudah manakala saya diajak Bible Study oleh seseorang di suatu tempat, dan saya diberikan pengertian yang sejelas2nya, saya percaya orang tersebut , yang kemudian menjadi saudara saya dalam Kristus, adalah orang yang dipilih Tuhan untuk mengabarkan kebenaran yang sejati. Semuanya tertulis jelas di Bible!. Dia bukanlah seorang teolog besar, dia hanya seorang murid Tuhan yang setia, yang jujur apa adanya, yang benar2 mempraktekkan firman dan menghidupinya. Sungguh saya baru tersadar! Selama 31 tahun saya hidup dalam kemunafikan dan ketidaksungguhan, padahal saya adalah seorang aktifis gereja, lembaga dan tidak pernah absen dalam pelayanan.
1. Saya baru tersadar seperti bangun dari tidur, ketika saya membaca Kisah Para Rasul 11 : 26, bahwa esensi hidup Kristen adalah hidup menjadi Murid. Di Antiokhialah murid-murid itu untuk pertama kalinya disebut Kristen. Begitu bermaknanya kata murid jauh lebih penting dibandingkan kata Kristen itu sendiri. Kata Murid jauh lebih sering disebut di Bible hingga lebih dari 200 kali, sementara kata Kristen hanya sebanyak 6 kali saja. Kristen adalah sebutan yang dipakai oleh orang lain yang tidak mengikut Kristus kepada murid-murid yang mengikuti ajaran Kristus. Tetapi esensi pokok bahwa orang yang mengikut Kristus adalah murid dan harus hidup menjadi murid Kristus. Bukankah panggilan Kristus kepada orang yang percaya pertama kali adalah panggilan menjadi murid?Matius 4 : 17. Amanat agung Tuhan kepada setiap orang percaya adalah hidup menjadi murid dan memuridkan.
2. Cara hidup jemaat pertama seperti tertulis di Kisah Para Rasul 2 : 41 – 47, seharusnya juga menjadi gaya hidup murid masa kini dan masa kapanpun. Ciri-ciri jemaat Kristus dimana murid-murid hidup ;
– Mengalami pertobatan yang sungguh-sungguh dan sejati (bukan setengah2) baca Kis 2 : 37 – 40; Kis 2 : 41
– Bertekun (selalu berusaha) dalam pengajaran rasul-rasul.
– Hidup dalam Persekutuan dan selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa (selalu / rutin dan sering bukan sebulan sekali)
– Hidup bersatu dan sama rasa (saling mengenal satu sama lain, tidak cuek. Hidup peduli)
– Rela berkorban dan berbagi
– Tekun sehati sepikir dan bergembira
– Disukai banyak orang dan jumlahnya ditambahkan setiap hari.
3. Saya tersadar bahwa saya belum memenuhi syarat sebagai murid Kristus (Lukas 14 : 25 – 26; Matius 10 : 37 – 38; Matius 6 : 24) Prioritas hidup saya belum untuk Tuhan. Tidak ada perbantahan sama sekali, bahwa kenyataannya saya tidak memprioritaskan Tuhan di atas segalanya. Atas waktu, pikiran, pekerjaan, harta, orang-orang terkasih, dll. Ini bukan soal saya harus meninggalkan semuanya, tetapi tentang prioritas, porsi lebih, keutamaan. Saya bukan murid Tuhan artinya saya bukan Kristen.
4. Memikul salib (Lukas 9 : 23) Tidak ada hal yang mudah untuk menjadi murid Kristus yang sebenar2nya. Bahkan mengalami penderitaan sekalipun.
5. Penyangkalan diri (Lukas 9 : 23) Apa yang Allah kehendaki saya lakukan harus saya lakukan meskipun saya tidak suka, selama ini say aberat sekali melakukan hal-hal yang saya tidak suka lakukan padahal saya tahu bahwa Tuhan menghendaki saya melakukan. Bagaimana dengan ambisi2 hidup saya yang justru seringkali berlawanan dengan kehendak Tuhan, memberikan batasan waktu untuk saya lebih memberi prioritas bagi pelayanan Tuhan.
6. Saya belum hidup seperti Yesus hidup. 1 Yohanes 2 : 6, kalau saya hidup seperti Yesus hidup berarti saya harus pergi menjangkau jiwa-jiwa bukan duduk diam saja. Yesus dari dini hari hingga malam hari selalu berusaha menjangkau jiwa. Bukankah saat ini banyak jemaat Tuhan kehilangan makna kekristenan dimana mereka mengesampingkan tugas missioner di tengah dunia yang tidak benar? bukan tugas segilintir orang, tetapi semua… karena perintah Tuhan sangat jelas, semua bangsa harus menjadi murid! saya kembali tersentak!
Dan pada akhirnya saya menyadari bahwa hidup menjadi murid yang sungguh-sungguh harus segera diputuskan. Saya tidak akan mengerti tentang kebenaran jika saya tidak segera memulai hidup dalam kebenaran bukan kepalsuan. Tidak ada lagi kompromi terhadap dosa apapun, menyadari bahwa keselamatan adalah kasih karunia Allah tetapi kita diberikan kehendak bebas untuk memilih menerima atau menolak, karena kalau menerima berarti hidup kita harus berorientasi kepada kebenaran. Dan tidak ada kamus di dalam hidup kekristenan sejati bahwa orang yang hidup setengah2 akan memperoleh keselamatan. Sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus (1 Petrus 1 : 16), Berusahalah hidup damai dengan semua orang dan kejarlah kekudusan, sebab tanpa kekudusan tidak seorangpun akan melihat Tuhan (Ibrani 12:14).
Saya bersyukur bisa bertemu dengan Saudara saya tersebut… melegakan saya dan membantu saya mengerti posisi saya sebenarnya, sehingga saya bisa mengambil keputusan untuk hidup benar dan menjadi murid Tuhan sungguh-sungguh.