Kebanyakan jemaat GKI-khususnya sw Jateng-baru dalam beberapa tahun terakhir ini mulai memberi perhatian atas tahun dan kalender gerejawi. Sebelumnya hanya Natal, Jumat Agung, Paska, Mikraj dan Pentakosta saja yang diperhatikan tanggal pelaksanaannya. Oleh karena itu kebanyakan jemaat juga tidak merasa terganggu apa pun ketika merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember. Hal ini telah berlangsung selama puluhan tahun dan agaknya sudah memengaruhi ritme liburan sebagian anggota jemaat. Maksudnya, banyak anggota jemaat yang baru berlibur setelah tanggal 25 Desember dan terus berlanjut hingga awal tahun baru. Bila kita memaksakan kebijakan untuk melarang anggota jemaat (atau tepatnya komisi-komisi) merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember, dikuatirkan akan menimbulkan resistensi.
Diperlukan kesepakatan bersama
Mestinya, memang, perayaan-perayaan Natal diadakan sesudah tanggal 25 Desember. Untuk meminimalkan tingkat resistensi. Sebaiknya dilakukan penjemaatan yang intensif mengenai fungsi kalender dan tahun gerejawi. Baru setelah itu, komisi-komisi atau pengurus wilayah diajak untuk membuat kesepakatan bersama agar jadwal perayaan Natal diadakan setelah tanggal 25 Desember. Bila itu lahir dari kesepakatan bersama, biasanya hasilnya akan lebih baik.
Pdt. Mungki A. Sasmita
GKI Sangkrah, Solo
Natal sebelum 25 Desember? Why not?
Tanggal 25 Desember hanyalah salah satu hari dalam satu tahun yang disepakati oleh sebagian besar umat Kristen dunia untuk merayakan hari kelahiran-Nya. Mengingat hadirat Allah yang tak mungkin dibatasi oleh ruang dan juga waktu, mensakralkan 25 Desember secara berlebih sebagai satu-satunya hari di mana kita boleh merayakan kelahiran-Nya, ibarat ingin menempatkan keberadaan-Nya dalam dimensi waktu yang terbatas. Jadi, Natal sebelum 25 Desember? Why not? Sesudahnya? Mengapa juga tidak? Bagi saya, peristiwa kelahiran Tuhan kita boleh diperingati kapan saja, di mana saja, dan tentu oleh siapa saja…
Pdt. Ariel Susanto
GKI Jemursari, Surabaya
Natal pada masa adven tidak pas
Tidak setuju. Berkaitan dengan tahun liturgi, sangat tidak pas jika perayaan Natal dilaksanakan pada masa Adven. Tapi mau bagaimana lagi, mengubah kebiasaan tidaklah mudah. Kalau mau, bikin acara perayaan Adven bukan Natal. Bisakah?
Pdt. Dahlia Vera Aruan
GKI Purwareja Klampok
Sikapi dengan kritis
Sudah menjadi rahasia umum jika tanggal 25 Desember bukan hari kelahiran Yesus yang sebenarnya. Lantas, apakah para pengikut-Nya tidak boleh memperingati peristiwa inkarnasi Allah; sebuah peristiwa yang sangat agung itu? Jujur harus kita akui bahwa jawaban terhadap pertanyaan ini beragam. Ada yang menyatakan dengan tegas bahwa sebagai orang Kristen, kita tidak boleh merayakan Natal pada tanggal 25 Desember, karena itu adalah perayaan agama kafir. Lainnya menyatakan bahwa tidak masalah kita merayakan Natal setiap tanggal 25 Desember, toh kita tahu isi di balik perayaan itu, yakni kita menyambut Yesus, Allah yang menjadi manusia.
Terhadap polemik yang demikian, marilah kita menyikapinya dengan kritis. Pertama-tama, harus kita tegaskan bahwa kelahiran Yesus itu adalah sebuah peristiwa sejarah. Ia tidak bisa disangkali oleh siapa pun juga. Ada banyak catatan sejarah yang menyinggung soal Yesus dari Nazareth. Injil Matius dan Lukas memberitakan kelahiran-Nya. Oleh karena itu, kita yakin dan percaya bahwa kelahiran Yesus itu sunguh-sungguh terjadi. Persoalannya adalah tidak ada orang yang mencatat kapan persisnya Yesus dilahirkan. Lantas, bukan berarti kita tidak bisa mengenang peristiwa itu bukan? Karena pada dasarnya, peristiwa Natal adalah sesuatu yang agung dan tak terselami oleh pikiran manusia. Ia layak dirayakan. Hal yang perlu diingat adalah bahwa fokus perayaan Natal itu justru ada pada diri Yesus, bukan pada tanggal 25 Desembernya. Dengan demikian, tidak menjadi masalah kita merayakan Natal sebelum bahkan sesudah 25 Desember (seperti Gereja Ortodoks), karena esensinya bukan pada tanggalnya, tapi pada peristiwa inkarnasi Allah-nya.
Pdt. Natanael Setiadi, GKI Kayu Putih
Disarikan dari Natanael Setiadi, Pelangi Natal: Menikmati Keindahan Natal A-Z (Yogya: Gradien Books, 2006), h. 23-25.
Sabar, jangan mau segera natalan
Saya termasuk yang tidak setuju kalau kita merayakan Natal sebelum tanggal 25 Desember. Alasan yang mendasar bukan karena hal ini menyangkut ajaran melainkan lebih sebagai pembelajaran iman dan kehidupan. Selama empat minggu, sebelum 25 Desember, gereja merayakan dan menghayati masa Adven, masa penantian akan kedatangan Tuhan. Masa penantian ini mengajak kita untuk belajar menanti dan tidak segera atau secara instan memasuki kegembiraan (apalagi pesta) Natal. Di tengah merebaknya “budaya instan” yang juga merasuk dalam kehidupan beragama, kita perlu belajar untuk memasuki proses yang lebih lama namun penuh makna yaitu menanti sebelum mengalami dan menikmati cinta Allah. Tengoklah betapa banyak orang beragama saat ini yang cenderung untuk segera (instan) menerima penyembuhan, pertolongan dan kesuksesan. Hanya sedikit yang bersedia belajar menerima suka dan duka kehidupan serta memasuki proses bersama Tuhan dan sesama.
Bila sikap pembelajaran iman dan kehidupan ini mau kita kembangkan, masa Adven perlu dipahami lebih dalam dengan mempersiapkan kegiatan-kegiatan yang harus dianggap sama pentingnya dengan acara-acara Natal. Hal ini bukan usaha yang gampang karena selama ini kita sudah terlanjur “menomorsatukan” upacara, acara dan pesta Natal. Padahal, kalau mau main kata-kata, Upacara, Acara dan Pesta itu adalah 3 kata yang diawali dengan U, A dan P: UAP. Jangan-jangan yang terjadi juga begitu. Natalan yang secara instan tanpa lewat masa adven dan terjebak dalam sekedar upacara, acara dan pesta akan segera menjadi UAP, menguap setelah semuanya selesai.
Sabar, jangan mau segera Natalan… Sabar dan belajar menanti akan memberi kesempatan kepada kita untuk bergembira di dalam hati dan bukan di luar hati. Selamat merayakan Adven!
Pdt. Widi Artanto
Pendeta Tugas Khusus Sinode untuk LPPS
Tujuan untuk bersukacita dan berkumpul bisa terkendala
Bagi saya perayaan Natal adalah waktu khusus untuk bersama dengan saudara-saudara dalam sebuah persekutuan untuk bersukacita dan menghayati kembali kelahiran Yesus. Suasana yang diharapkan terbangun adalah untuk berkumpul dan bersuka hati, sehingga perayaan Natal dapat dilakukan sebelum tanggal 25 Desember. Seringkali Perayaan Natal yang dilakukan antara “hari Natal” (25 Desember) s/d. Tahun Baru (1 Januari) membuat banyak saudara dalam persekutuan tidak dapat menghadirinya. Biasa deh, banyak yang mengambil cuti atau memanfaatkan hari “kejepit.” Kalau sudah begini tujuan untuk bersukacita dan berkumpul menjadi terkendala. Bila Natal dilaksanakan sebelum 25 Desember saya kira akan membuat Natal dapat dihadiri oleh sebanyak mungkin anggota persekutuan. Kalau mungkin juga mengapa tidak sesudah 1 Januari?
Pdt. Bonnie Andreas
GKI Ciledug Raya
Ketidakpedulian dengan minggu-minggu adven
Kita perlu memberikan penghargaan pada setiap makna dari tahun gerejawi. Karena itu, jelas perayaan Natal sebelum tanggal 25 Desember, dalam artian sebelum selesainya minggu adven yang ke-4, kurang saya setujui. Persoalan utamanya bukan sekedar pada tanggal 25-nya, tetapi pada menghayati perayaan minggu-minggu Advennya yang ada empat itu. Setahu saya, selama ini alasan perayaan dan kebaktian Natal yang diselenggarakan sebelum tanggal 25 Desember adalah karena persoalan praktis-teknis (biasanya karena kerepotan, keramaian, tenaga yang terbatas pada hari libur dan lain-lain). Dan dari alasan itu nampak ketidakpedulian atau malah tidak ingat lagi dengan perayaan minggu-minggu adven.
Pdt. Handi Hadiwitanto
Dosen Fak. Theologia UKDW
3 Comments
timoty shores
Juni 30, 2009 - 5:46 pmAdanya artikel apa kata para pdt GKI tentang Natal sebelum tanggal 25 Desember,ini membuktikan bahwa adanya kerinduan pada banyak orang Kristen yang ingin mengetahui kebenaran sejarah tentang kelahiran Yesus Kristus.
Namun dari komentar yang ada tidak ada satupun dari pdt.GKI tersebut itu, yang membahas apa ,mengapa,dan siapa yang menetapkan tanggal 25 Desember merupakan kelahiran Yesus Kristus, padahal itu bisa dilihat dari kitab Lukas pasal 1 sampai pasal 2 dan sedikit tinjauan sejarah kelahiran Mesias, komentar para pendeta-pendeta tersebut hanya berkisar tentang makna Natal itu,tanpa adanya kerinduan untuk membahasnya benar tidaknya tanggal 25 Desember dari sudut pandang sejarahnya.
Sejarah membuktikan bahwa tanggal 25 Desember yang tidak berdasarkan Alkitab itu, merupakan ketetapan manusia dan manusia itulah yang bernama Constantine kaisar Roma.
Permasalahan yang akan muncul adalah kalo sebelum tanggal 25 Desember lalu tanggal berapa? dan dasarnya apa?
Memang untuk merayakannya tanggal berapapun bisa saja,namun mendewakan tanggal 25 Desember itu yang salah total, lebih parah lagi kalo sudah menekankan makna fakta sejarah juga diabaikan,ini membuat hari-hari raya Krsisten seperti cerita-cerita dongeng yang nggak jelas kejungtrungannya.
bila benar-benar ingin mengetahui kapan lahirnya Yesus Kristus bisa dipelajari dari &7 (tujuh) hari raya (kitab Imamat)yang ditetapkan oleh Bapa Surgawi,maka Yesus Kristus lahir pada hari raya Sukkot/Tabernacle/ hari raya Pondok Daun yang jatuh pada tanggal 15 bulan Tishri pada kalendar Ibrani, dan pada tahun ini (kalender Gregorian),15 Tishri 5770 jatuh pada tanggal 3 Oktober 2009 yang akan datang.
Perlu adanya penelitian ulang tentang hari-hari raya Kristen yang sekarang ini,seperti Natal 25 Desember,/Easter/Paskah pakai telur,hari raya Minggu dsb apakah ini yang diajarkan oleh Bapa Surgawi seperti dalam Alkitab? dan mengapa bisa terjadi seperti sekarang ini.
Ini dimaksudkan kalo umat Kristen merayakan hari-hari rayanya yang berdasarkan Alkitab akan itu akan memberikan pngertian yang sesungguhnya, baik maknanya maupun sejarahnya dan justru dari hari-hari raya yang Alkitabiah itu memberi kesaksian bagi dunia bahwa Yesus Kristus itu adalah Tuhan, Raja dan sang Messias yang sudah datang dan yang sekarang sedang bekerja dalam Roh Kudus dan yang akan datang kembali untuk menjemput umat pilihanNya…HalleluYah.
Timoty S
Isaac John
Juli 12, 2009 - 6:03 pmketemu artikel di internet yang mungkin bisa bantu saudara timoty dalam pencariannya:
http://www.noelnoelnoel.com/trad/dec25.html
buat saya sih yang menarik adalah cuplikan berikut:
“First off, they didn’t exactly keep birth records of the common folk in 0 or 1 or 2 AD (not to say that Jesus was common, but… well, you know the story.) Secondly, even if they did, there’s the problem of leap year. Every four years the powers that be add an extra day to compensate for a less than perfect rotation of the earth. The Romans even didn’t know about that, convoluting time and calendars even more.
Plus some people back then used a lunar calendar and some used the solar version that we use today. Finally, the authors of the Gospels (Mathew and Luke particularly) either didn’t know or didn’t think it was important enough to mention the date of Jesus’ birth. Who even knows if they recognized birthdays in ancient Judea?”
semoga membantu buat referensi Anda.
salam damai selalu
Miya
Agustus 2, 2009 - 6:58 pmSetelah membaca cuplikan dari sdr.Isaac John,saya berpendapat bahwa
a.Saat Yesus Kristus lahir,sistim kalender yang ada hanya calendar Ibrani (tertua di dunia) sedangkan sist.Gregorian belum ada spt.sekarang ini jadi dapat dimaklumi kalo tanggal berapa Tuhan Yesus lahir tidak diketahui dalam sist.Gregorian.
b. Tidak tertulis didalam ke-4 injil kapan Yesus Kristus lahir bukan berarti mereka (para penulis Injil) tidak tahu,mereka pasti tahu karena mereka orang Ibrani yang taat pengajaran Tuhan,yang selalu menghormati hari-hari yang ditetapkan Tuhan,salah satunya ialah hari raya Pondok Daun,mereka bukan merayakan H U Tnya Yesus Kristus
c.15 Tishri 5770 (Ibrani) itu pada tahun 2009 ini jatuh tanggal 3-Oktober,namun bukan berarti Tuhan Yesus lahir tanggal 3 Oktober, tapi range tanggalnya bisa ditelusuri yaitu akhir September sampai awal Oktober namun tanggalnya tetap 15 Tishri (Ibrani).tanggal Gregoriannya pasti berubah-ubah tiap tahunnya
GBU