Judul ini diambil persis sama dengan judul satu perikop di Alkitab Perjanjian Lama, tepatnya di Amos pasal enam. Amos, bukan dari keluarga nabi, bukan pendeta, bukan pula nazir/pejabat gerejawi/majelis. Ia adalah seorang awam/anggota jemaat, saleh dan pemberani yang bekerja sebagai peternak/gembala domba dan petani/pemungut buah ara hutan, demikian kira-kira pengakuan Amos di depan Amazia, imam di Betel (Amos 7:14). Orang setia ini dipanggil dan diutus Allah untuk memperingatkan bangsa Israel (baca: bangsa yang dikasihi Allah) yang telah menjauhi ketetapan-ketetapanNYA dan melanggar kekudusanNYA, supaya segera bertobat (Amos 2:4b,7b).
Memang Amos tidak sepopuler rekannya/nabi sezamannya yaitu YUNUS di mana sebagian besar dari kita sudah mengetahui ceritanya sejak kecil, sejak di sekolah minggu; si Yunus yang ditelan ikan besar karena tidak mau dan takut untuk mengemban tugas kenabiannya. Kitab Amos ini terutama merupakan seruan kenabian atas pelanggaran Israel terhadap standar-standar KEADILAN dan KEBENARAN ALLAH.
Apa yang tejadi di kerajaan Utara (bangsa Israel) waktu itu? Mari kita lihat lebih dalam keadaan bangsa Israel dalam pasal-pasal berikut ini.
Bangsa-bangsa di sekeliling Israel di antaranya: Damsyik, Gaza, Tirus, Edom, Amon dan Moab, mereka penyembah berhala, kejam, fasik, dursila dll (baca Amos 1:3 – 2:3). Lama kelamaan gaya hidup bangsa-bangsa itu mempengaruhi keadaan dalam negeri Israel, kehidupan sosialnya, kehidupan sehari-hari, termasuk kehidupan rohaninya. Terima suap, korup, kebejatan moral merajalela, sekelompok masyarakat hidup mewah secara berlebihan, sistim peradilan rusak, sudah ipuh atau pahit. Orang nazir sudah ikut-ikutan mabuk anggur, nabi pun ada yang dapat dan mau dilarang bernubuat (Amos 2:4-16).
Di tengah-tengah kebobrokan bangsa Israel zaman itu, suasana keagamaan masih tetap berlangsung, gereja-gereja masih tetap berdiri, direnovasi, dibangun di sana-sini. Masih ada umat yang datang beribadah dan mempersembahkan syukurnya, persepuluhannya. Masih ada umat yang aktif ikut paduan suara, mempersiapkan puji-pujian, berlatih rutin setiap hari tertentu untuk tampil pada saat ibadah nanti, sesuai dengan jadwal. Mereka merasa aman-tenteram, penuh syukur atas keberhasilan kehidupannya, pekerjaannya, karirnya. Bahkan, mereka percaya bahwa keberhasilan material mereka membuktikan bahwa mereka hidup di bawah berkat ALLAH. Itulah yang mereka rasakan, setidak-tidaknya dilihat dari sudut pandang mereka sendiri, sekali lagi: aman-tenteram.
Bagaimana dengan pandangan ALLAH yang mereka puji dan sembah? Amos 5:21-23 membuka mata kita. Aku membenci, Aku menghinakan perayaanmu, Aku tidak senang kepada persekutuanmu. Persembahan syukurmu? Aku tidak suka. Aku tidak mau dengar puji-pujianmu! Wow … ,sungguh ironis …!! Yang satu merasa benar dan aman, Yang dipuja dan dipuji tidak berkenan, bahkan muak! Ada ketidakcocokan antara keduanya, jadi yang merasa benar, sebenarnya salah! Yang merasa tenteram, tenteramnya palsu! Di mana sebetulnya letak ketidak cocokan itu, kok sampai mereka masih merasa dekat dengan Allah, tapi nyatanya …
Itu dulu, zaman baheula, di abad ke-8, sebelum masehi lagi! Jadi bukan 2000 tahun, tapi kira-kira hampir 3000 tahun yang lalu. It’s a long long time ago in … Jerusalem. Rupanya Allah tidak menghendaki kalau hidup keseharian umatNya dipisahkan dengan kehidupan ibadahnya. Gaya hidup hari kerja lain dengan hari Minggu (baca: ibadah). Ada double standard! Dan ini benar-benar tidak berkenan di hadapanNYA.
Dalam Roma 12:2 “janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna”. Mengenal standar ketetapan-ketetapan dan kebenaran Firman Allah, dan memberlakukan dalam hidup sehari-hari di rumah, di tempat kerja, dalam masyarakat dan di mana saja, bukan pada hari Minggu thok tapi juga the other six days, kapan saja. Persembahkan tubuhmu, hidupmu sepenuhnya dalam kekudusan, itu adalah ibadahmu yang sejati (ayat 1). Berarti juga berani menolak aneka macam keduniawian di sekitar kita, seperti keserakahan, mementingkan diri sendiri, iri hati, kebencian, dendam, kecemaran dst.
Demikian juga dengan Matius 7:21-23 (bandingkan dengan Amos 5:21-23) yang berbunyi: Bukan setiap orang yang berseru kepada-KU: Tuhan, Tuhan! akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga, melainkan dia yang melakukan kehendak BapaKU yang di sorga. Pada hari terakhir banyak orang akan berseru kepadaKU: Tuhan, Tuhan, bukankah kami bernubuat demi namaMU dan mengusir setan demi namaMU, dan mengadakan banyak mukjizat demi namaMU juga? Pada waktu itulah Aku akan berterus terang kepada mereka dan berkata: “Aku tidak pernah mengenal kamu! Enyahlah dari padaKU, kamu sekalian pembuat kejahatan!”
Bagaimana dengan zaman sekarang. Pada abad 21, khususnya bagi bangsa kita sendiri Indonesia! Secara Nasional, jujur saja, ada kesamaannya dengan bangsa Israel zaman Amos tersebut (meskipun mungkin kadarnya nggak persis sama). Negara kita sudah tidak asing lagi kesuwur dengan korupnya. Suap di sana-sini untuk memperlancar urusan. Kejahatan di sepanjang jalan: ya kapak merah ya pungli. Penipuan dengan segala cara dan bentuk: apa aja dioplos: ya minyak ya beras, sihir, tepuk bahu dll. Jabatan jadi kesempatan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. Hidup selingkuh jadi berita menarik dan utama di layar-kaca. Lembu-lembu Basan zaman Amos?? Tidak perlu diimport, sudah ada produk dalam negeri, bahkan kualitasnya nggak kalah! Memburu hantu?? Wow … dan masih banyak lagi hal-hal yang aneh-aneh. Keadilan dapat dibeli dengan uang, artinya Keadilan milik orang kaya! Kebenaran? Sudah diinjak-injak oleh mereka yang …
Bencana alam terjadi di mana-mana entah itu banjir, gempa bumi ataupun tanah longsor. Musibah di darat, laut dan udara semuanya sudah dialami. Amos 5 ayat 8b berbunyi: DIA yang memanggil air laut dan mencurahkannya ke atas permukaan bumi. Bahasa Inggrisnya: who calls for the waters of the sea, and pours them out on the surface of the earth. The Lord is His name (New American Standard). Dan bahasa milleniumnya: Tsunami! Benarkah??
Jakarta?? Memang Jakarta tidak mengalami bencana dan musibah seperti di Aceh, Jogja atau Sidoarjo. Yah … paling kena banjir di sebagian area, belum sampai terbenam seluruhnya. Namun, apakah itu berarti kita layak berpuas diri dan menganggap Jakarta adalah kota yang masih berkenan di hadapan-NYA? Ataukah seharusnya kita bercermin melalui kisah Amos ini?
Bagaimana dengan gereja-gereja di Indonesia? Sudah terkontaminasikah oleh situasi dari dalam negeri, seperti yang dialami oleh bangsa Israel dulu? Gereja, sudahkah menjadi organisasi dunia yang disusun rapi sesuai dengan standar-standar duniawi untuk menjadi organisasi yang sukses. Atau menjadi sebuah “perusahaan” yang dikelola berdasarkan pelayanan dan kasih, sehingga dengan mudah mengupah karyawannya cukup dengan UMR bahkan di bawahnya?? Masihkah persembahan jemaat disukai BAPA, puji-pujian dari pada Paduan Suara masih didengar? Persekutuan-persekutuan masih disenangiNYA? Bagaimana kita dapat mengetahuinya? Adakah Amos Indonesia menyuarakan suara BAPA? Atau musibah dan bencana yang terjadi sudah mewakilinya?
Saudara-saudaraku! Tulisan ini sangat terbatas, isinya pun jauh dari sempurna. Bila memang saudara ingin menggali lebih dalam, bacalah kitab AMOS seluruhnya, berulang-ulang sampai, saya yakin saudara akan menjumpai bukan saja Amos bangsa Israel zaman dulu, bukan saja Amos Indonesia zaman sekarang, tapi: ajakan dan seruan BAPA, Anak dan Roh Kudus untuk kembali pada ketetapan-ketetapan-NYA, menyempurnakan kehidupan pribadi dan keluarga kita (saya dan anda) serta bangsa Indonesia secara umum. Menyempurnakan rasa aman-tenteram kita, umat dan jemaatNya, menjadi Aman yang sesungguhnya, Tenteram yang sebenarnya.
Selamat menjumpai Amos! Selamat bertemu dengan ketetapan-ketetapanNya dan memberlakukan dalam kehidupan sehari-hari! Selamat meninggalkan aman-tenteram palsu, tinggal dalam Damai dan SejahteraNYA yang sejati!
Nia Gatugapan
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.