Kita biasanya tidak tahu atau tidak mengenal orang-orang yang melintasi rumah kita setiap hari, seperti para pemulung yang memungut barang-barang bekas di bak-bak sampah untuk didaur ulang sebagai barang komoditas. Sampah, yang merupakan masalah di kota-kota besar, justru merupakan sumber penghasilan bagi mereka. Di manakah mereka tinggal dan seperti apa kehidupan mereka?
Hari Rabu 9 Mei itu masih pagi, namun rumah Ibu Evie Wullur-Kamil sudah terlihat sibuk mempersiapkan kotak-kotak makanan berisi nasi dan lauk-pauk bagi sekitar 65 orang pemulung di kawasan Rempoa. Kantong-kantong plastik merah berisi beras dan mi instan tampak berjajar rapi di lantai. Semua ini merupakan sumbangan dari Persekutuan Doa Pagi GKI PI, Ibu LRP dan beberapa anggota jemaat yang tergerak hati untuk berbagi berkat. Bu Evie bahkan ingat untuk menukarkan dana yang diterimanya dengan lembaran-lembaran uang lima ribuan yang sudah dimasukkannya ke dalam kantong-kantong plastik untuk ditempelkan di setiap kotak makanan. Pasti sudah dapat dibayangkan betapa senang hati para pemulung memperoleh kejutan yang membahagiakan itu!
Sekitar pukul 9.40 rombongan berangkat dengan tiga kendaraan ke tempat tujuan. Setelah melalui Jl. Veteran-Bintaro, di ujung jalan kami belok kiri dan tidak jauh dari sana, di antara pagar tembok, ada sebuah jalan kecil untuk memasuki sebidang tanah yang luas. Segera tampak onggokan-onggokan karung plastik di salah satu sudutnya. Setelah memarkir mobil, kami lalu berjalan ke balik onggokan itu dan bertemu dengan sebuah gudang kayu yang juga berfungsi sebagai rumah, dengan halaman yang dipenuhi karung plastik dan barang bekas. Kami disambut dengan ramah oleh bos pemulung, Pak Indra, beserta istri dan dua anaknya yang masih kecil. Juga Gendut atau Hanung, perempuan pemulung yang biasa tinggal di gerobak yang diparkir di tanah kosong depan studio Achmad Dani, serta beberapa pemulung lain yang berkeliling sampai ke Pondok Indah. Sebagian pemulung itu beragama Kristen. Ada yang beribadah di Pontiku-Bintaro, tetapi ada juga yang lebih suka bergereja di Tanah Abang. Di samping gudang kayu itu ada jalan kecil yang menuju ke Kampus II Universitas Moestopo-Bintaro. Para pemulung tinggal di pondokan sederhana di kawasan itu. Pada sore hari, jumlah mereka lebih dari seratus orang, karena semuanya pulang untuk beristirahat.
Setelah sambutan singkat dari Pak Indra dan balasan sambutan dari Pnt. Agus Hamdani yang mewakili GKI PI, Sdr. Novian memimpin doa makan bagi para pemulung, kemudian semua sumbangan dibagikan. Beberapa bingkisan diantarkan ke pemulung-pemulung yang berbaring sakit, dan ada juga yang disimpan bagi mereka yang saat itu sedang pergi. Sekitar pukul 10.30 rombongan pun pulang meninggalkan tempat itu.
Masalah tempat rupanya akan menjadi persoalan besar yang dihadapi para pemulung ini pada waktu mendatang, karena sekilas Pak Indra bercerita bahwa pemilik tanah seluas 1,5 hektar yang mereka tempati saat ini, sedang berusaha untuk menjualnya. Ke mana mereka kelak pergi? Inilah masalah sosial yang kompleks dan tidak mudah dipecahkan di ibukota ini.
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.