Dalam sebuah kesempatan perjumpaan saya dengan Pdt. Joas Adiprasetya di sebuah seminar beberapa tahun lalu, ia menyebutkan pernyataan menarik yang dikembangkannya dari kata-kata Henry Nouwen sebagai berikut:
I am what I do
I am what I have
I am what people say about me
Identitas dan harga diri manusia modern saat ini ditentukan oleh hal hal yang berkaitan dengan itu.
I AM WHAT I DO
I am what I do adalah upaya umat manusia untuk bisa menjadi yang terbaik dengan apa yang dilakukannya. Manusia masa kini diajak untuk membuktikan kemampuan terbaiknya. Semua didorong untuk mencapai limit kemampuan, bahkan tak jarang ditarik lebih jauh untuk melampaui batasnya, yang dicapai dengan segala cara (halal maupun haram).
Hal ini tentu baik, tetapi sangat sering kita melihat bahwa upaya tersebut kemudian menjadi komoditi yang dipamerkan kepada orang lain. Makin ia mampu melakukan sesuatu, makin ia dipandang eksis di dunia ini. Makin ada tindakan spektakuler yang dikerjakannya, makin orang lain akan memandangnya sebagai orang yang hebat dan luar biasa. Hal ini bisa dibuktikan di ruang media sosial. Banyak orang memamerkan kemampuan mereka, dan menunjukkan kemampuan mereka dalam menghasilkan uang. Akhirnya semua tindakan itu hanya berujung pada segala sesuatu yang mengarah pada mamon.
I AM WHAT I HAVE
Dunia akan memandang seseorang berhasil dan sukses ketika ia ‘memiliki’ sesuatu. Budaya flexing sangat kuat saat ini. Memamerkan apa yang dimiliki (harta benda) menjadi tren baru yang sangat populer. Hal ini bisa diamati di media sosial. Orang orang berlomba menunjukkan bahwa diri mereka tidak miskin. Kalau pun miskin, harus ditutupi. Mereka mengunggah video jalan-jalan ke sana ke mari untuk menunjukkan kepemilikan uang yang mampu membeli kesempatan dalam bepergian, membeli ini dan itu, dan sebagainya.
Atas dasar itulah banyak orang akhirnya tertarik untuk memperkaya diri dan berusaha mengejar harta dengan segala cara. Kita bisa mengetahui bahwa kesederhanaan menjadi sebuah tantangan tersendiri di masa kini. Orang yang sederhana kadang kala dianggap miskin dan kurang terpandang di tengah masyarakat. Orang hanya mengarahkan diri pada mamon, mamon, dan mamon.
I AM WHAT PEOPLE SAY ABOUT ME
Jumlah like, comment, dan subscribe menjadi sangat penting di dunia media digital. Engagement orang lain pada laman-laman medsos kita menjadi ukuran keberhasilan seseorang. Sebenarnya apa yang bisa kita petik dari hal tersebut? Hal ini menunjukkan bahwa komentar orang lain menjadi sangat penting. Makin banyak orang terikat pada seseorang, menunjukkan bahwa orang tersebut bisa dipercaya. Makin banyak komentar positif atau disukai, merupakan anggapan bahwa orang tersebut berhasil di dalam kehidupan. Benarkah?
SOAL KESAHAJAAN
Menurut beberapa sumber, ‘kesahajaan’ dapat memiliki beberapa arti. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyatakan bahwa kesahajaan berarti kesederhanaan atau kewajaran. Beberapa kamus atau thesaurus memberikan pengertian kepolosan, tidak aneh aneh, dan tidak berlebihan.
Berkaitan dengan ketiga ‘I am what …’ tadi, kita bisa didorong untuk melihat beberapa saran demi menghidupi kesahajaan dalam keseharian.
Talenta memang harus dikembangkan. Kemampuan memang perlu ditingkatkan. Namun, istilah ‘jangan berpuas diri’ menjadi hal yang perlu dikritisi. Ketika kita membaca Matius 25:14- 30, kita akan menemukan bahwa awal pengembangan talenta itu bukan karena tidak puas. Orang yang tidak puas diri justru menyia-nyiakan talenta dengan menguburnya. Puas diri diperlukan dalam arti mensyukuri apa yang dimiliki. Dalam kesadaran tentang keadaan aktual kemampuan dirinya, seseorang akan terdorong untuk memiliki rasa syukur bahwa kemampuannya adalah anugerah dari Tuhan. Justru karena ia memiliki rasa syukur yang besar, ia akan mendapat kekuatan dari Roh Allah untuk memanfaatkan kemampuannya dengan efektif dan efsien, mengembangkannya bukan untuk pamer, melainkan demi membangun manfaat bagi kemanusiaan dan keutuhan ciptaan. Rasa syukur itu pun akan menjauhkan diri kita dari pride (kesombongan) dan (iri hati), salah dua dari tujuh dosa maut. Berlebihan, kemewahan, dan neko neko lahir karena kita terpusat pada diri sendiri.
Rasa cukup lahir dari rasa syukur pada penyertaan Allah. Ibrani 13:5 meminta kita untuk mencukupkan diri kita dengan apa yang ada pada kita. Yesus berkata dalam Lukas 3:14 agar setiap kita mencukupkan diri kita dengan gaji kita. Rasa cukup ini adalah dasar dari kehidupan yang sederhana. Palungan juga adalah simbol rasa cukup. Tidak perlu mengada-adakan boks bayi. Cukuplah palungan yang tersedia dengan lampin yang dimiliki oleh hampir semua orang pada saat itu. Rasa cukup menjauhkan kita dari greed (ketamakan) dan gluttony (kerakusan), dua hal dari tujuh dosa maut.
Menjadi kaya bukanlah merupakan hal yang salah. Berusaha memiliki lebih dari yang kita punya tidaklah salah. Namun cara dan tujuan menjadi kaya itulah yang paling penting.
Thomas Aquinas menyatakan, “Jika engkau menerima lebih dari apa yang kau butuhkan, engkau wajib memberikan kelebihanmu kepada orang lain.”
Menjadi kaya bukan sekadar mengumpulkan, melainkan dalam setiap kelebihan dan kekayaan kita tercermin tanggung jawab sosial bagi pemeliharaan kehidupan bersama. Menjadi kaya bukan soal seberapa banyak yang kita punya, melainkan seberapa yang kita bagikan kepada sesama.
Tidak selamanya vox populi, vox dei (suara terbanyak adalah suara Tuhan), tetapi bisa saja vox populi, vox diaboli (suara mayoritas adalah suara iblis). Soal bagaimana pendapat orang, sering kali membuat seseorang berperilaku berlebihan. Jutaan mahasiswa Indonesia terjebak pinjaman online untuk kebutuhan penampilan, agar dapat dilihat hebat oleh orang lain. Kita perlu kritis terhadap pandangan orang kepada kita.
Petrus ditegur Yesus dengan bahasa keras, ‘Enyahlah engkau iblis’ dalam Matius 16:23. Pendapat Petrus adalah pendapat yang tidak sesuai dengan kehendak Allah. Yesus tidak terpengaruh pada hal itu. Saat orang banyak mengeroyok Stefanus dan melemparinya dengan batu (Kis. 7), kita bisa menjumpai bahwa suara mayoritas itu menjadi suara iblis.
PENUTUP
Allah dan bumi ini adalah pihak yang boros. Borosnya Allah dan bumi ini bukan untuk diri sendiri, melainkan merupakan bentuk dukungan kehidupan penuh kepada manusia. Manusia diajak sebagai partner Allah untuk bersama-sama mengelola dunia ini dan membangun kesejahteraan semesta. Thomas Merton mengingatkan kita untuk membangun hubungan dalam keadilan dan kesejahteraan. Kasih Allah cukup untuk semua. Bumi ini cukup untuk ditinggali dan cukup menghidupi seluruh ciptaan-Nya. Kalau memang ada yang akhirnya tidak bisa hidup, berarti ada yang harus kita perbaiki dalam distribusi berkat dan anugerah. Kesahajaan adalah salah satu upaya kita membangun keadilan dalam distribusi berkat Allah. Mau bersahaja?•
|Pdt. Bonnie Andreas
Komentar Anda
Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Kolom dengan tanda (**) wajib diisi.